Opini Muktamar Ke-34 NU

Di Balik Muktamar NU yang Teduh

Sel, 28 Desember 2021 | 12:30 WIB

Di Balik Muktamar NU yang Teduh

Pimpinan Sidang Pleno H Masduki Baidlowi, Prof H Nadirsyah Hosen, Prof H Muhammad Nuh, H Asrorun Niam Sholeh, Prof H Masykuri Abdillah (kiri ke kanan di bagian depan) dan Abdullah Muhdi (belakang)

Muktamar Ke-34 Nahdlatul Ulama berhasil dilaksanakan di Lampung pada 22-24 Desember 2021 lalu. Peserta Muktamar menyepakati KH Miftachul Akhyar sebagai Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan KH Yahya Cholil Staquf sebagai Ketua Umum Tanfidziyah PBNU.


Persiapan yang sangat pendek tidak menghalangi semangat panitia dalam menyukseskan forum tertinggi dalam tubuh organisasi NU itu. Sejak Surat Keputusan (SK) ditandatangani pada 27 Oktober 2021, terhitung panitia hanya bekerja kurang dari dua bulan untuk menggelar perhelatan 'mahabesar' kelas internasional itu.


Terlebih dinamika sudah mulai terasa mulai penentuan tanggal penyelenggaraan ditetapkan saat Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar (Konbes) Nahdlatul Ulama di Hotel Sahid Jakarta pada 25-26 September 2021 lalu.


Panitia berikhtiar agar penyelenggaraan muktamar berlangsung guyub, teduh dan sejalan dengan makna muktamar sebagai wadah permusyawaratan tertinggi organisasi. Idealnya, sebagai wadah permusyawaratan, maka muktamar harus berjalan sesuai dengan spirit musyawarah; ada kebersamaan, ada penghargaan terhadap perbedaan dengan penuh respek, membangun harmoni, dan penuh ukhuwwah.


Sebesar mungkin mencari titik temu dan menghindarkan diri dari perselisihan, pertentangan, dan syiqaq. Jika memang ada perbedaan yang tidak bisa disatukan, maka ada penghormatan atas dasar tafahum (saling memahami) dan tasamuh (mentoleransi). 


Dalam praktiknya, hal ideal tersebut bisa terkesampingkan karena faktor kepentingan subjektif yang bersifat kelompok. Bahkan, hasil muktamar tidak jarang membawa luka, duka, perselisihan, dan perpecahan. Ini yang terus dijaga dan dihindari oleh panitia. Spirit kebersamaan terus menjadi tema utama dalam rapat-rapat, baik formal maupun informal.


SC berupaya untuk mengidentifikasi beberapa titik kritis yang potensial menjadi masalah krusial dan memicu perdebatan selanjutnya diurai dan dicarikan jalan keluar, dengan jalan al-jam' wa al-taufiq. Hal tersebut dalam rangka upaya untuk terus merawat dan mengikhtiarkan agar muktamar berjalan sesuai semangat dan spiritnya, yakni musyawarah dengan guyub dan rukun.


Ada beberapa titik kritis yang teridentifikasi antara lain; (i) penentuan validasi kepesertaan, (ii) penyusunan jadwal dan lokasi sidang-sidang, (iii) penentuan pimpinan sidang; (iv) pelaksanaan laporan pertanggungjawaban, (v) penentuan Ahlul Halli wal Aqdi dan mekanismenya, (vi) pemilihan midformatur; serta (vii) teknis pemilihan ketua imum.


Untuk mengurainya, SC melalui kepemimpinan Prof Muhammad Nuh dan KH Asrorun Niam Sholeh membangun komunikasi dengan berbagai pihak, khususnya yang menjadi “tim inti” calon ketua umum. Pertemuan antar “Juru Runding” ini dilaksanakan beberapa kali di beberapa tempat.


Dari ketujuh masalah tersebut, tiga masalah berhasil disepakati di pertemuan pertama, sedangkan empat masalah masih alot dan ditunda. Pertemuan berikutnya, menyepakati satu hal dan satu hal krusial, yaitu kepesertaan, dimandatkan kepada wakil-wakil sekjen untuk menuntaskan. Sementara persoalan validasi kepesertaan serta teknis pemilihan merupakan dua masalah yang akhirnya “lepas” dan memicu diskusi cukup panjang di forum sidang pleno pertama.


Diskusi terbatas tersebut tidak jarang dilaksanakan dengan tensi tinggi, tetapi tetap terkendali dan terkonsolidasi. "Prinsipnya, lebih baik panas di dalam, tapi terselesaikan, atau setidaknya terkomunikasikan," ujarnya pada Selasa (28/12/2021).


Mengawal materi 

Bukan hanya komunikasi informal untuk mengantisipasi jalannya sidang-sidang muktamar yang menjadi konsentrasi, SC juga mengawal materi yang sudah ditugaskan kepada masing-masing penanggung jawab komisi. 


Rapat-rapat konsolidasi dilaksanakan. Awalnya, salah seorang pimpinan komisi muktamar menyatakan bahwa SC itu biasanya sebagai pengarah aja, terima laporan kalau sudah beres. Namun, SC sekarang ini hadir mengawal dan benar-benar mengarahkan. Bahkan memfasilitasi rapat-rapat hingga konsinyasi.


Pelaksanaan konsinyasi selama tiga hari untuk finalisasi materi pun dihadiri secara penuh oleh sekretaris SC. Bahkan kegiatan difasilitasi oleh SC, tanpa membebani panitia pelaksana. Rapat-rapat konsolidasi antara SC dengan komisi yang ditugaskan dilaksanakan, termasuk memberikan linimasa.


Secara internal, SC juga membagi diri dalam tanggung jawab bidang koordinasi. Namun, ternyata tidak efektif. Ada yang jalan dan ada yang tidak. Maka, rapat-rapat koordinasi dan konsolidasi langsung dipimpin Ketua dan Sekretaris SC.


Strategi dan dinamika persidangan

Sidang Pleno pertama molor hampir lima jam, yang berdampak pada pergeseran agenda-agenda berikutnya. Jika tidak diantisipasi, maka muktamar dipastikan molor. Dampak lanjutannya adalah soal komitmen terhadap protokol kesehatan. 


Usai sidang pleno pertama, Rabu (22/12/2021), jam 23.45, SC konsolidasi untuk mengatur ulang jadwal persidangan. Kiai Niam secara khusus rapat virtual dengan Tim Persidangan, dari penginapan masing-masing. Prinsipnya, agenda harus terus dijalankan dan Muktamar tidak boleh molor. Harus ada strategi khusus.


Akhirnya disepakati skenario; (i) rapat LPJ disampaikan dengan pembatasan waktu; (ii) sidang tabulasi Ahwa dilakukan secara paralel dengan sidang-sidang komisi; (iii) sidang pleno Komisi dilaksanakan secara paralel dengan sidang Ahwa.


Solusi ini bisa mengifisienkan waktu yang luar biasa tanpa memotong agenda masing-masing sidang. Demikian, solusi ini berdampak efisiensi waktu, tanpa mengurangi waktu pembahasan yang sudah dijadwalkan masing-masing.


Skenario berjalan mulus. Tindak lanjutnya adalah mengkomunikasikan kepada OC untuk menyiapkan teknis dan perangkat pendukungnya. Hal ini berhasil meski pada mulanya tersendat. Jadwal tabulasi Ahwa yang semula terjadwal pukul 13.00, mundur karena belum tuntasnya kepastian kepesertaan yang sebelumnya sudah dibahas, juga soal saksi proses tabulasi.


Setelah proses diskusi, akhirnya tabulasi dimulai pukul 15.00, dengan menerima seluruh saksi yang akan berpartisipasi. Solusi lanjutannya, tabulasi dilakukan dengan paralel di lima majelis, masing-masing dihadiri oleh saksi minimal tiga orang.


Dengan demikian, pelaksanaannya bisa lebih singkat. Sebelum maghrib sudah bisa dituntaskan. Bersamaan dengan itu, sidang komisi yang membahas masalah organisasi, program, rekomendasi, dan bahtsul masail waqiiyah, maudluiyyah, dan qanuniyah berhasil merampungkan pembahasannya.


Bahkan, komisi bahtsul masail memulai pembahasan paralel dengan sidang pleno laporan pertanggungjawaban. Simpel dan efisien, tanpa mengamputasi waktu dan mengurangi makna pembahasan. 


Kamis malam (23/12/2021), pukul 19.30 dilaksanakan Sidang Pleno pengumuman hasil tabulasi Ahwa yang berasal dari usulan PW/PC/PCI serta penetapan sembilan nama Ahwa. 


Setelah penetapan, pleno meminta Ahwa untuk melaksanakan sidang untuk menentapkan Rais Aam PBNU dengan musyawarah mufakat. Di sela- sela persidangan Ahwa, dilaksanakan sidang pleno laporan hasil sidang komisi. 


Sidang Pleno II yang sedianya dimulai Rabu (22/12/2021) pukul 20.00 digeser ke Kamis (23/12/2021) pukul 9.00. Begitu waktu menunjukkan pukul 9.00 tepat, sidang dimulai meski peserta belum kuorum.


Setelah itu, sidang diskors, hingga akhirnya, penyampaian LPJ dilaksanakan 9.40. Penyampaian LPJ dan pandangan umumnya dibatasi hingga jam 12.00 dan berjalan tepat sesuai rencana. 


Manajemen waktu dan kekompakan

Salah satu rahasia kesuksesan penyelenggaraan muktamar ke-34 NU Lampung ini, di samping soal komunikasi informal yang dibangun oleh SC sejak awal untuk mendiskusikan berbagai masalah krusial yang berpotensi menjadi titik kritis dengan para pihak, juga soal kekompakan serta kesdisiplinan pimpinan sidang.


Prof Nuh sebagai Ketua Sidang memiliki kematangan emosional yang luar biasa, dengan pendekatan akomodasi. Sementara, Sekretaris Sidang Kiai Niam mampu merumuskan berbagai pandangan dengan memberi alternatif jalan keluar yang bisa diterima para pihak; dan menyodorkan dalam bentuk redaksi yang sudah jadi, termasuk penempatannya dalam ayat atau pasal. Kiai Niam juga tidak jarang membisiki dan memberi referensi kepada Ketua Sidang terkait dengan aturan yang sudah disepakati dalam AD/ART atau Tata Tertib, jika ada peserta yang hendak menyampaikan pandangan tetapi tidak sejalan dengan aturan.


Keduanya juga disiplin soal waktu selama persidangan. Pleno pertama terjadwal jam 15.30. Pada jam tersebut, keduanya sudah duduk di meja pimpinan sidang. Sidang molor, baru selesai jam 23.45. itupun akhirnya dilanjutkan konsoldiasi untuk membuat skenario lanjutan agar jadwal persidangan tidak molor.


Rapat konsolidasi ini berdampak pada jam tidur Ketua dan Sekretaris SC.  Paginya, jam 9.00, sudah harus kembali mempimpin sidang. Di hari kedua, sidang pleno ke-2, dijadwalkan mulai jam 9.00. Tepat jam 9.00 sidang pleno dibuka oleh pimpinan Sidang, dalam hal ini Niam.


Prof Nuh dapat mengendalikan forum dengan pendekatan komunikasi publik yang baik dengan berbagai pertimbangan rasional tentang pentingnya kekompakan, dilengkapi Kiai Niam dengan diksi-diksi keagamaan yang menyentuh sisi emosional dan spiritualitas peserta.


Di sidang pertama yang sempat agak memanas dijadikan refleksi bagi pimpinan sidang untuk mengambil pelajaran. Sebelum masuk ke sidang pleno kedua, kedua pimpinan itu berdiskusi. Mereka bersepakat, berita media yang mengulas tentang memanasnya sidang pleno pertama dikompilasi dan ditampilkan. Niam segera menscreenshoot berita-berita tersebut dan meminta tim asistensi untuk menampilkan ke layar besar. 


Prof Nuh, sebelum mempersilakan ketua umum PBNU untuk menyampaikan laporan pertanggungjawaban, mengulas secara reflektif gambar-gambar dan berita media terkait muktamar, yang diambil saat pleno pertama. Ternyata hasilnya efektif, muhasabah untuk terus memperbaiki diri.


Salah satu kunci kelancaran muktamar ke-34 NU adalah panitia penyelenggaran yang berdedikasi. Panitia pelaksana memberikan support yang luar biasa, dan imparsial. Panitia pengarah yang kompak dan saling menguatkan, di dalam dan di luar persidangan. Prof Nuh dan Kiai Niam merupakan dua sosok yang sangat dedikatif untuk sukses muktamar, netral, dan imparsial. 


Kombinasi tokoh senior yang matang dalam mengendalikan emosi peserta, dan tokoh muda yang cerdik membaca dinamika forum dengan rumusan-rumusan alternatif. Ditambah stamina yang luar biasa. Saya yang mendampingi keduanya dibuat “terkapar” di waktu penghitungan akhir, saat keduanya masih setia mengawal hingga akhir.


Kekompakan dan saling isi antara keduanya berlanjut hingga akhir sidang pleno, yaitu penetapan Ketua Umum PBNU dan penetapan mide formatur yang merupakan sidang pleno terakhir sebelum dilaksanakan Penutupan.


Semoga dicatat sebagai amal jariyah, bagian dari khidmah jam’iyyah dan mengantarkan muktamar benar-benar sebagai forum musyawarah, dengan penuh ukhuwwah.


Abdullah Muhdi, Koordinator Tim Asistensi Panitia Pengarah (SC)