Opini

Faktor-faktor Ekstremisme dan Upaya Menangkalnya

Sab, 5 Mei 2018 | 05:30 WIB

Oleh Rohmatul Izad

Sebagian besar gerakan ekstremisme di Indonesia dalam dekade terakhir ini adalah berasal dari gerakan organisasi Islam trans-nasional yang melibatkan berbagai negara dalam jejaring yang luas dan strategis. Misi mereka hanya satu, ingin menampilkan dunia dan hukum-hukum sosial dengan hukum Tuhan, di tengah kemajuan modernisme yang mereka anggap mengancam dan berbahaya. 

Islam sebagai agama yang selama ini menjadi korban dari keganasan ekstremisme yang mengatasnamakan hukum Tuhan, begitu dirugikan dan banyak pandangan tentang Islam menjadi semakin sempit. Hal ini tentu saja merupakan sebuah pereduksian terhadap ajaran Islam yang begitu mengedepankan nilai-nilai perdamaian dan toleransi. 

Kaum ekstremis, paling getol dalam memaknai ayat-ayat perang sebagai sebuah intrumen yang mereka anggap dapat melahirkan nilai-nilai instrumental dalam menghadapi tantangan zaman. Padahal, apa yang mereka lakukan adalah tak lebih dari kecenderungan barbarisme yang diliputi oleh rasa kebencian dan penuh dendam. 

Liberalisme dan sekularisme memang bukanlah jalan terakhir, orang-orang di zaman modern sekarang mencoba memproyeksikan seluruh potensi sistem untuk mencapai suatu kemakmuran, kemerdekaan, dan yang lebih penting adalah tercapainya hak-hak asasi manusia secara universal di mana setiap orang berhak untuk memegang prinsip sesuai dengan koridor individualisme yang dimiliki. 

Sejak negara Indonesia didirikan, para funding father telah sepakat bahwa Indonesia adalah negara hukum yang berbasis pada demokrasi. Dalam Pancasila sila pertama disebutkan “Ketuhanan Yang Maha Esa”, sila ini mengindikasikan bahwa Indonesia tidak akan pernah berdiri atas nama agama tertentu, semua agama (yang telah diresmikan) dapat hidup subur dan berdampingan satu sama lain. 

Kita telah sepakat, bahkan sejak negara ini berdiri, bahwa Islam tidak akan pernah menjadi dasar negara, arti filosofis yang paling mendasar dari sila pertama adalah bahwa negara dan Pancasila sebagai ideologi, menjamin rakyatnya untuk beragama, berkeyakinan dan memiliki prinsip yang teguh terhadap nilai-nilai transendental. Nilai-nilai inilah yang kemudian menciptakan suasana harmoni, kesejukan dan kedamaian bagi sesama. 

Sikap toleran sebenarnya telah mengakar kuat dalam psikologi bangsa Indonesia, gerakan ekstremisme trans-nasional hanyalah bentuk dari kegagalan cara berfikir dalam beragama yang justru akan merusak agama dari dalam. 

Kita bisa melihat beberapa kasus pengeboman di Indonesia dalam dua dekade terakhir yang dilakukan oleh kelompok Islam tertentu, cara beragama mereka tidak khas Indonesia, mereka tidak memiliki sikap nasionalisme dan cinta tanah air, mereka hanya berpikir bahwa sesuatu yang tidak “Islami” layak untuk dibumi hanguskan. 

Meski begitu, perlu disadari bahwa gerakan ekstremisme di Indonesia sebenarnya telah tumbuh begitu subur, seperti pepatah “hilang satu tumbuh seribu” dan “patah tumbuh hilang berganti”. Penumpasan terhadap gerakan ekstremisme tidak lantas membuatnya hilang begitu saja, ia seringkali muncul lagi secara tidak terduga, cepat dan pemerintah melalui aparatusnya sering kecolongan dalam menelusuri embrio-embrio baru dari kelahiran ekstremisme ini. 

Dapat dipahami bahwa sebenarnya gerakan ekstemisme ini tidak bisa dibayangkan sebagai suatu tindak kekerasan atas nama agama yang dilakukan oleh kelompok atau pelaku tertentu. Ekstremisme lebih merupakan sebuah gerakan ideologis, sebentuk keyakinan terhadap nalar ketuhanan yang diproyeksikan untuk merupah semua tatanan menjadi sejalan dengan kehendak Tuhan. Sebagai ideologi, ekstremisme lebih tepat disebut sebagai sistem, sebuah sistem yang datang dari langit. 

Mereka menolak misalnya, seluruh sistem partikular yang lahir di bumi. Itu artinya bahwa hukum positif, sekularisme, demokrasi, dan modernisme yang lahir dari pergolakan umat manusia sepanjang sejarah dan menemukan momentum puncaknya di era kontemporer ini, oleh kelompok ekstremis dianggap menyalahi kodrat Ilahi. Dengan demikian, sistem ideologis gerakan ekstremisme ini begitu sulit untuk ditumpas.

Mengapa Ekstremisme Muncul?

Jika ditelusuri secara historis, hubungan antara agama dan kekerasan memang begitu dekat. Bahkan bisa dikatakan bahwa usia jenis ekstremisme ini juga seumuran dengan agama itu sendiri. Begitu banyak darah mengalir akibat perang atas nama agama, ini sesungguhnya terjadi hampir di semua agama di dunia. Namun demikian, sejauh ini, Islam yang paling dianggap dekat dengan aksi-aksi kekerasan atas nama agama. 

Dalam konteks gerakan ekstremisme Islam, sebenarnya ada beberapa teori yang dapat menjelaskan; pertama, kegagalan umat Islam dalam menghadapi arus modenisme yang dianggap banyak menyudutkan umat Islam. Dalam konteks ini, mereka banyak menentang modernisme dengan seluruh sistem yang ada di dalamnya, dengan mencari dasar-dasar agama melalui dalil yang baku, dan bentuk pencarian yang paling radikal tertuju pada arus ekstremisme atau kekerasan. 

Kedua, kecenderungan gerakan ekstremisme ini berdasar pada solidaritas atas sesama umat Islam. Seperti tragedi yang menimpa umat Islam di Palestina, Irak dan banyak negara di Timur Tengah yang dianggap menjadi korban dari kebijakan salah kaprah Amerika dan Zionis Israel. Dalam konteks ini, paling tidak, gerakan mereka diproyeksikan untuk menetang seluruh kekuasaan politik ketika Islam sebagai umat dan negara telah terancam dari luar. 

Ketiga, mereka menganggap bahwa hanya hukum Tuhan yang layak dan tepat untuk menerapkan seluruh sistem yang ada di muka bumi ini. Mereka mendirikan organisasi dan kekuatan politik berbasis Islam untuk menyatukan ide-ide keislaman dan menolak seluruh sistem yang tidak Islami. Dalam konteks ini, mereka percaya bahwa jika Islam tidak membangun kekuatan politik, maka Islam bisa kapan saja hancur, baik dari dalam atau dari luar. 

Keempat, dalam konteks Indonesia, gerakan ekstremis ini sudah tidak percaya lagi dengan pemerintah atas banyaknya fenomena ketidakadilan, ketimpangan sosial dan korupsi yang begitu akut. Mereka percaya bahwa dengan menerapkan sistem syari’at Islam, Indonesia akan terselamatkan dari kondisi-kondisi akut ini. 

Namun demikian, karena cara beragama mereka begitu sempit dan tidak bisa melihat betapa beragam dan pluralnya masyarakat di Indoensia, pada akhirnya mereka justru terjebak pada problem epistemologis, khususnya dalam menghadapi kompleksitas masalah yang dihadapi oleh bangsa Indonesia.

Usaha Penangkalan

Islam sebagai agama yang dipercaya dapat merumuskan nilai-nilai instrumental dalam menghadapai tatangan zaman, tidak begitu saja dapat diterapkan sebagai sebuah sistem negara. 

Memang harus diakui bahwa sistem demokrasi di Indonesia sekarang ini belumlah mapan atau sempurna, ada banyak hal yang perlu diperbaiki, namun demikian bukan berarti penggantian sistem negara menjadi keharusan, kita sebenarnya tidak memiliki cara lain selain demokrasi ini, mengingat kultur bangsa ini sangat dekat dengan nilai-nilai demokrasi. 

Sikap toleransi dan pluralis sebagai kepanjangan dari demokrasi tersebut, juga telah tertanam kuat di tubuh bangsa Indonesia. Jika dilihat para taraf jangka panjang, nampaknya demokasi inilah yang dapat membahwa bangsa ini pada cita-cita luhurnya, yakni kesejahteraan dan kemerdekaan bagi sesama. Ini adalah cita-cita bersama yang harus dipelihara dan diwujudkan tidak atas nama golongan dan agama tertentu, tetapi atas nama kemanusiaan dan atas nama keindonesiaan. 

Penanggulangan terharap gerakan ekstremisme ini memang tidak mudah dan tidak bisa dipandang sebelah mata. Kekuatan ideologis, haruslah dilawan dengan kekuatan ideologis. Pancasila sebagai ideologi paripurna yang dapat menyatukan seluruh keragaman dan perbedaan haruslah menjadi gerda depan bagi ternamanya nilai-nilai nasionalisme yang kuat. 

Tidaklah cukup jika menumpas gerakan ekstremisme ini hanya dengan membunuh atau menumpasnya dengan cara-cara menghilangkan atau membungihanguskan, karena mereka akan terus hidup dan ini lagi-lagi bukan soal pelaku siapa dan di mana. 

Jadi kekuatan ideologis seperti Pancasila haruslah lebih dikedepankan. Pemerintah sebagai otoritas tertinggi yang memiliki tanggungjawab dalam stabilitas negara, harus benar-benar bisa memastikan rakyatnya tidak terjerumus dalam ekstremisme. Seringkali gerakan ini tumbuh subur di lingkungan pendidikan dan tempat-tempat ibadah serta majelis Ilmu. 

Para perekrutnya biasanya mencari anak-anak muda yang masih pada taraf pencarian terhadap jati diri, itulah kenapa lembaga pendidikan dan tempat ibadah begitu subur menjadi tempat perekrutan.

Pemerintah juga harus terus sigap terhadap seluruh kondisi yang ada, misalnya, lebih melakukan penjagaan ketat terhadap universitas, masjid, dan tentu saja setiap figur publik seperti dai-dai harus dipastikan bahwa pemahaman mereka tidak keluar dari koridor nasionalisme. 


Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Filsafat UGM Yogyakarta.