Opini

Fenomena Dai dan Hijrah di Kalangan Selebriti

Jum, 12 April 2019 | 11:15 WIB

Tanggal 8 April kemarin, salah seorang tim program dari stasiun tv swasta meminta saya untuk jadi salah satu panelis di salah satu program dengan tema “Artis yang Hijrah dan Menjadi Dai”.

Tema ini sangat menarik, mengingat di tanah air sedang trend artis memadati program-program religi. Kalau sekadar menjadi entertainer pada rangkaian program religi tersebut, itu wajar. Tapi jika sudah mengambil alih peran dai, maka perlu dikaji.

Kata hijrah merupakan bahasa keagamaan yang telah banyak mengalami reduksi makna, yaitu, ketika penekanan hijrah lebih pada simbol ketimbang subtansi, ketika life-style lebih diutamakan.

Kesalehan dalam perspektif kolektif lebih penting daripada kesalehan individual maupun tataran epistemologi. Kata hijrah menjadi identik pada berhijab atau pergi ke tanah suci untuk menutupi keglamoran, hedonisme dan kebejatan moral.

Munculnya istilah jilboobs adalah cerminan bahwa fungsi jilbab tidak dipahami dengan benar. Fungsinya untuk menutup lekuk tubuh dan warna kulit menjadi terabaikan, berubah menjadi simbol dan gaya hidup.

Fenomena artis hijrah adalah kabar baik sekaligus tantangan. Kabar baiknya bahwa kesadaran beragama menjadi semakin meningkat, tapi tantangannya juga luar biasa.

Bagi yang hijrah, hendaknya lebih giat menuntut ilmu agama (tafaqquh fid din). Perlu bersabar untuk berkomentar tentang hal-hal keagamaan. Jangan terperdaya untuk mudah berkomentar karena merasa diri sebagai public figure. Ini sangat membahayakan.

Perlu otoritas keagamaan untuk berfatwa maupun berdakwah. Tidak serta merta orang yang populer dan bisa ngomong langsung bicara agama dengan bebas. Setiap orang harus tahu kapasitasnya. Harus otoritatif dan referensional.

Jangan sampai ada artis mendadak jadi “ustadz”, pelawak jadi penceramah atau dai. Dua hal yang sangat kontras. Dua panggung yang berbeda. Artis menghibur untuk kenikmatan sensor duniawi–tidak berkaitan dengan iman. Sedangkan dai bertanggung jawab atas keselamatan umat–dunia maupun akhirat.

Dai berhubungan dengan hal yang paling krusial, maka tidak boleh sembarangan. Pengetahuan yang tidak mumpuni bisa menyesatkan. Dai bisa membawa umat untuk melakukan kerusakan massal hanya dengan membungkus kepentingan-kepentingannya dengan agama. 

Mereka bisa dengan mudah mengklaim kebenaran absolut, serta menafikan semua yang berbeda dengannya. Dakwah ibarat pisau, di tangan orang baik digunakan untuk memotong buah dan sayur. Di tangan orang jahat akibatnya bisa fatal.

Bicara soal otoritas, kita perlu mencontoh para ulama tempo dulu. Imam Abu Hanifah, misalnya, mengakui keilmuan Rasulullah dan para sahabatnya yang mengatakan, “Apa yang datang dari Rasulullah SAW, kami junjung tinggi, apa yang datang dari para sahabat RA, kami seleksi, apa yang datang dari tabi’in, maka [tidak begitu saja kami terima, karena] mereka dan kami sama-sama tokoh.”

Jika tidak cermat, seolah-olah perkataan Imam Abu Hanifah ini menunjukkan bahwa siapa saja boleh mengeluarkan pendapat (fatwa). Boleh menjadi mujtahid. Mereka tidak ingat bahwa Imam Abu Hanifah adalah salah satu dari Tabi’in, maka wajar jika ia mengatakan demikian, karena ia memiliki kedudukan yang sama dengan para tabi’in lainnya. Ia cukup tahu diri, pandai menilai dan menempatkan diri sesuai dengan derajat dan kualifikasinya.

Ini berbeda dengan orang-orang yang belum layak berijtihad atau berdakwah, lalu berpretensi menjadi mujtahid atau dai.

Seseorang yang berhak menyampaikan pendapat adalah mereka yang memenuhi syarat, kualifikasi tertentu sebagai mujtahid/ mufassir. Ia harus memiliki sanad keilmuan yang jelas.

Ibnu al-Mubarak dalam Kitab Al-Majruhin minal Muhadditsin karya Ibnu Hibban mengatakan, 

حدثنا محمد بن عبد الرحمن, قال: حدثنا الحسين بن الفرج, قال: حدثنا عبدان بن عثمان ,قال سمعت ابن المبارك يقول: الاسناد من الدين, لولا الاسناد لقال من شاء ما شاء

Artinya, “Sanad adalah bagian dari agama, kalau tidak ada keharusan untuk menyebutkan sumber-sumber yang otoritatif, maka setiap orang akan mengatakan segala sesuatu semaunya,”  (Lihat Ibnu Hibban, Al-Majruhin minal Muhadditsin, [Riyadh, Darus Shami’I lin Nasyri wat Tauzi’], cetakan pertama: halaman 30).

Bukan karena semata-mata tahu bahasa Arab, apalagi sekadar hafal beberapa ayat Al-Qur’an/ hadits lantas dapat berpretensi sebagai mujtahid, mufassir atau dai. Umar bin Al-Khattab RA mengakui bahwa ada kalimat-kalimat dalam Al-Qur’an yang sulit untuk dipahami sehingga ia sering menanyakannya kepada Ibnu Abbas RA yang terkenal otoritatif menafsirkan makna kata-kata dan kalimat tertentu dalam kitab Allah.

Kompetensi ilmu agama ini penting bagi seorang dai agar kemuliaan dakwah dan sakralitas agama tetap terjaga. Semoga yang hijrah semakin getol mempelajari ilmu agama, teguh beragama dan semakin menyejukkan melalui kerendahan hatinya. Wallahu a‘lam.


Ustadz Sukron Makmun, Wakil Ketua PWNU Banten.