Opini

FIQH SOSIAL : Upaya Pengembangan Madzhab Qauli dan Manhaji

Kam, 26 Juni 2003 | 05:28 WIB

Oleh : KH. Dr. M. A. Sahal Mahfudh

Pendahuluan
Bagian Pertama

<>

Suatu pemikiran tidak pernah lahir dari ruang hampa. Ia muncul ke permukaan sebagai refleksi dari setting social yang melingkupinya. Sedemikian besar pengaruh kondisi sosial berpengaruh terhadap pemikiran seseorang, sehingga wajar jika dikatakan bahwa pendapat atau pemikiran seseorang dan bahkan kebijakan-kebijakan yang lahir dari suatu otoritas politik merupakan buah dari zamannya.

Proposisi di atas mungkin benar jika kita menggunakannya untuk melihat kasus perkembangan hukum positif yang memang lahir dari dan untuk masyarakat atau lahir dari suatu otoritas politik untuk masyarakat. Namun dalam melihat fiqh, percaya sepenuhnya akan kebenaran proposisi di atas akan membuat kita terjebak dalam pola pemahaman yang menempatkan fiqh sejajar dengan ilmu-ilmu sekular lainnya. Pada hal, fiqh baik pada masa-masa pembentukan maupun pengembangannya tidak pernah bisa terlepas dari interfensi "samawi". Inilah yang membuat fiqh berbeda dengan ilmu hukum umum. Fiqh menjadi suatu disiplin yang unik, yang mampu memadukan unsur "samawi" dan kondisi aktual "bumi", unsur lokalitas dan universalitas serta unsur wahyu dan akal pikiran. Oleh karena itu, memahami sejarah
perkembangan fiqh dengan hanya mengandalkan paradigma ilmu-ilmu sosial tidak akan sampai pada kesimpulan yang benar.

Namun demikian, melihat fiqh hanya sebagai sesuatu yang sakral juga merupakan tindakan yang tidak bijaksana. Cara demikian merupakan bentuk pengingkaran terhadap kenyataan sejarah. Kenyataan bahwa pada awal perkembangannya terdapat fiqh Iraq dan fiqh Madinah, atau bahkan Qaul Qadim dan Qaul Jadid yang lahir dari Imam al-Syafii, membuktikan bahwa faktor sosial budaya, disamping faktor kapasitas keilmuan masing-masing mujtahid, memberikan pengaruh cukup kuat terhadap perkembangan fiqh.

Dengan gambaran di atas, jelas bahwa upaya apapun yang dilakukan untuk tujuan pengembangan fiqh menuntut kita (para pengembang) memiliki wawasan tentang watak bidimensional --dimensi kesakralan dan keduniawian--fiqh. Penglihatan serta penempatan kedua dimensi ini harus dilakukan secara proporsional agar pengembangan fiqh benar benar sejalan dengan watak aslinya. Fiqh tidak menjadi produk pemikiran "liar" yang terlepas dari bimbingan wahyu dan pada saat yang bersamaan fiqh juga tidak menjadi produk pemikiran yang kehilangan watak elastisitasnya. Dengan demikian faktor teologis maupun etika harus menjadi dasar pertimbangan dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam mengembangkan fiqh, disamping sudah barang tentu faktor perubahan masyarakat.itu sendiri.

Pembacaan terhadap realitas sosial akan menghantarkan pada satu kesimpulan bahwa pengembangan fiqh merupakan suatu keniscayaan. Teks al-Qur'an maupun Haditsh sudah berhenti, sementara masyarakat terus berrubah dan berkembang dengan berbagai permasalahannya. Banyak permasalahan sosial budaya, politik, ekonomi dan lainnya yang muncul belakangan perlu segera mendapatkan legalitas fiqh. Sebagai bentuk paling praktis dari Syari at, wajar jika fiqh dianggap yang paling bertangung jawab untuk memberikan solusi agar perubahan dan perkembangan masyarakat tetap berada dalam bimbingan atau koridor Syari at.

Untuk tujuan pengembangan fiqh, para mujtahid masa lalu sebenarnya sudah cukup menyediakan landasan kokoh sebagaimana tergambarkan dalam kaidah-kaidah ushuliyah maupun fighiyah. Hingga kini, nampaknya belum ada suatu metodologi (manhaj) memaham Syari'at yang sudah teruji (mujarrab) keberhasilannya dalam mengatas berbagai permasalahan sosial selain apa yang telah dirumuskan oleh para ulama terdahulu. Bahkan fiqh dalam pengertian kompendiun yurisprudensi pun banyak yang masih relevan untuk dijadikan rujukan dalam mengatasi berbagai permasalahan aktual. Terdorong oleh keyakinan inilah, dalam upaya mengembangkan fiqh, penulis akan berangkat dari hasil rumusan para ulama terdahulu baik dalam kontek metodologis (manhaji) maupun kumpulan hukum yang dihasilkan (qauli)

Secara qauli pengembangan fiqh bisa diwujudkan dengan melakukan kontekstu