Opini

Guru Cerdas di Era Milenial

NU Online  ·  Ahad, 25 November 2018 | 03:30 WIB

Guru Cerdas di Era Milenial

Guru-guru Ma'arif NU Sukoharjo

Oleh M. Ilhamul Qolbi

Beberapa hari yang lalu, penulis menyempatkan diri mendaftar dalam kegiatan Guru Digital yang diadakan oleh salah satu kampus di Jakarta. Kampus tersebut bekerja sama dengan perusahaan nasional berbasis teknologi informasi. Pada intinya, kedua lembaga tersebut mempunyai tujuan yang sama, yaitu ingin memberikan bekal kepada guru menyambut datangnya era digital sekarang ini. Apa itu era digital? Lantas, mengapa harus guru yang terlibat dalam menyongsong era itu? 

Meninjau peradaban yang berkembang sampai hari ini, setidaknya ada siklus sejarah yang bisa mengantarkan manusia hingga era digital seperti saat ini. Secara berturut-turut masyarakat hidup berkembang dari masyarakat primitif, masyarakat agraris, masyarakat industri, dan kemudian pada perkembangan lanjut menjadi masyarakat informasi. Sebagaimana pernah diproyeksikan oleh Alvin Toffler bahwa abad informasi akan semakin jauh meninggalkan faktor lahan, tenaga kerja, dan juga modal biaya sebagai kekayaan dan sumber produksi sebagaimana pada tiga era sebelumnya, yakni era nomaden, era pertanian, dan era industri (Cho dan Moon, 2003: 209).

Makna kekayaan pun didefinisikan berbeda-beda setiap zamannya. Masyarakat primitif memahami bahwa kekayaan itu dimiliki oleh orang yang paling kuat. Kekuatan itu ditampilkan secara fisik dengan mengikuti kaidah rimba, siapa yang kuat, dialah yang berkuasa. Selanjutnya berkembang menjadi masyarakat agraris. Masyarakat ini meyakini bahwa siapa yang paling mempunyai banyak lahan, dialah orang yang kaya. Era ini memunculkan sistem feodalisme dan munculnya istilah tuan tanah. Berkembang menjadi masyarakat industri, ternyata pemahaman kekayaan juga berubah. Era industri sudah mengenal teknologi. Orang kaya di era ini didefinisikan sebagai orang yang tetap mengedepankan lahan, tetapi sudah menggunakan mesin untuk memudahkan pekerjaan dengan mengedepankan prinsip efektif dan efisien. Namun, era industri ini masih mengenal lahan, tenaga kerja, dan juga modal biaya sebagai kekayaan dan sumber produksinya. 

Bob Gordon dari Universitas Northwestern, seperti dikutip Paul Krugman (2013), mencatat, telah terjadi tiga revolusi industri. Pertama, ditemukannya mesin uap dan kereta api (1750-1830). Kedua, penemuan listrik, alat komunikasi, kimia, dan minyak (1870-1900). Ketiga, penemuan komputer, internet, dan telepon genggam (1960-sampai sekarang). Versi lain menyatakan, revolusi ketiga dimulai pada 1969 melalui kemunculan teknologi informasi dan komunikasi, serta mesin otomasi (dikutip dari A. Tony Prasentiantono, Kompas 10 April 2018, hal. 1). Setelah tiga revolusi industri itu, muncul revolusi industri 4.0 atau disebut sebagai revolusi digital.

Istilah Industri 4.0 pertama kali diperkenalkan pada Hannover Fair 2011 yang ditandai revolusi digital. Revolusi industri gelombang keempat adalah tren terbaru teknologi yang sedemikian rupa canggihnya, yang berpengaruh besar terhadap proses produksi pada sektor manufaktur. Teknologi canggih tersebut termasuk kecerdasan buatan (artificial intelligent), perdagangan elektronik, data raksasa, teknologi finansial, ekonomi berbagi, hingga penggunaan robot. Era macam inilah yang sedang kita hadapi dan diperbincangkan.

Sebagai masyarakat informasi, kekayaan tidak lagi harus mempunyai lahan yang luas, tenaga kerja yang melimpah, dan modal biaya yang besar. Saat ini, kita sedang berada di era di mana perusahaan ojek, tidak mempunyai kendaraan. Toko baju, elektronik, dan sebagainya, tetapi sebagai penjual tidak perlu mempunyai atau stok barang-barang tersebut. Modal dan biaya produksi di era informasi sudah berubah. Artinya, orang kaya saat ini bisa dimiliki oleh orang yang hanya perlu sedikit lahan, sedikit tenaga kerja, dan juga modal biaya yang juga sedikit. Era inilah yang disebut sebagai era digital atau era informasi. Era yang memunculkan pemuda enterpreuner seperti Nadiem Makarim, CEO Gojek, Ahmad Zaky, CEO Bukalapak, Abdul Wahab CEO Santri Online, dan sebagainya. Era ini akrab dengan penghuninya, yaitu generasi milenial. Di tangan Milenial, dunia berubah: dari tangan Mark Zuckerberg yang kini berumur 32 tahun, Facebook lahir dan menjelma menjadi salah satu media sosial terbesar paling berpengaruh yang pernah ada.

Seperti dikutip dari artikel Tirto, Generasi Milenial, yang juga punya nama lain Generasi Y, adalah kelompok manusia yang lahir di atas tahun 1980-an hingga 1997. Mereka disebut milenial karena satu-satunya generasi yang pernah melewati milenium kedua sejak teori generasi ini diembuskan pertama kali oleh Karl Mannheim pada 1923. Dalam esai berjudul The Problem of Generation, sosiolog Mannheim mengenalkan teorinya tentang generasi. Menurutnya, manusia-manusia di dunia ini akan saling memengaruhi dan membentuk karakter yang sama karena melewati masa sosio-sejarah yang sama. Maksudnya, manusia-manusia zaman Perang Dunia II dan manusia pasca-PD II pasti memiliki karakter yang berbeda, meski saling memengaruhi. Berdasarkan teori itu, para sosiolog—yang bias Amerika Serikat—membagi manusia menjadi sejumlah generasi: Generasi Era Depresi, Generasi Perang Dunia II, Generasi Pasca-PD II, Generasi Baby Boomer I, Generasi Baby Boomer II, Generasi X, Generasi Y alias Milenial, lalu Generasi Z.

Analis sosial-cum-demograf Mark McCrindle dari grup peneliti McCrindle adalah orang pertama yang membuka topik ini: tentang nama generasi yang lahir di abad 21. Dalam makalah Beyond Z: Meet Generation Alpha, ia mengungkapkan, generasi berikutnya akan dinamai sesuai abjad. Itu sebabnya mereka yang lahir setelah Generasi Z akan dipanggil Generasi A alias Generasi Alfa. Tahun kelahirannya dimulai dari 2010. Menurut McCrindle, Generasi Alfa—yakni anak-anak dari Generasi Milenial—akan menjadi generasi paling banyak di antara yang pernah ada. Sekitar 2,5 juta Generasi Alfa lahir setiap minggu. Membuat jumlahnya akan bengkak menjadi sekitar 2 miliar pada 2025. Generasi ini juga akrab disebut dengan istilah Google Kids

Tiga generasi ini – Generasi Y atau Milenial, Generasi Z atau Digital Native, dan Generasi Alfa atau Google Kids- yang secara serius sedang menghadapi era revolusi digital. Karakter generasi ini memiliki kecenderungan jauh lebih tinggi terhadap teknologi dari generasi sebelumnya. Bisa dikatakan, teknologi menjadi sebuah ketergantungan. Lalu, apakah masyarakat kita sudah siap menyambut hal itu? Pertanyaan itu sudah selayaknya dilayangkan kepada pendidikan. 

Sekolah merupakan pintu menuju hidup bermasyarakat. Itulah kiranya yang diungkapkan oleh Direktur Pendidikan Yayasan Sukma Victor Yasadhana dalam tulisannya di Media Indonesia pada Senin, 5 November 2018. Namun, realitasnya disparitas antara Generasi X dengan tiga generasi sesudahnya masih muncul jurang pemisah. Guru yang didominasi oleh generasi sebelum milenial masih meyakini bahwa hal-hal yang pernah mereka dapatkan di masa pendidikannya dahulu bisa menjadikan mereka sebagai orang yang berhasil. Asumsi yang melekat seperti itu membuat pola berpikir lingkungan sekolah terpenjara oleh teknologi itu sendiri, sedangkan sekolah seharusnya menjadi miniatur masyarakat dengan segala macam bentuknya. Padahal, sahabat Ali bin Abi Thalib RA pernah berpesan: “Wahai kaum muslimin, didiklah anak-anakmu sesuai dengan zamannya karena mereka hidup bukan di zamanmu”.

Saat ini, memang sekolah sudah seharusnya menyiapkan kedatangan revolusi digital itu. Ada sedikit cerita dari penulis yang diambil dari satu kasus yang diceritakan oleh seorang guru Matematika di sekolah swasta tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) di daerah BSD City. Guru tersebut kiranya dikenal di kalangan sekolah sebagai guru yang cukup memperhatikan tentang inovasi model pembelajaran. Beberapa penghargaan diraih dari mulai guru filosof, guru terasik, guru tergaul, guru ramah, dan sebagainya.

Singkat cerita, pada suatu hari ketika ia masuk kelas, seperti biasa, ia menanyakan terlebih dahulu apakah anak-anak sudah siap menerima pelajaran yang akan disampaikan. Namun, guru itu cukup terhentak dengan adanya interupsi dari seorang murid. Murid itu bernegosiasi kepada sang guru bahwa pada pertemuan itu, ia tidak mau belajar dengan sang guru di kelas. Ia lebih memilih belajar di aplikasi Ruang Guru yang ada di ponsel mereka. Fenomena itu, kiranya adalah satu kasus yang lambat laun akan dihadapi oleh guru di dalam kelas. Dari kasus tersebut, apakah mungkin tesis bahwa guru akan digantikan oleh teknologi akan terjadi?

Jika guru tidak mempersiapkan kedatangan revolusi digital itu, bukan hanya dikalahkan oleh teknologi, guru juga akan dikalahkan oleh anak didiknya. Lihatlah kedekatan generasi Z dan Alpha dengan teknologi. Dari sejak dalam kandungan, mereka sudah akrab dengan kamera ibu yang hobi swafoto. Bahkan, ketika anak mereka lahir, anak-anak itu sudah dibuatkan akun media sosial untuk menyimpan foto-foto dan beberapa hal lainnya. Hasilnya, fenomena kecanduan gawai sudah tidak asing lagi. Anak-anak lebih memilih curhat dengan media sosialnya daripada dengan orang tuanya. Bahkan, anak-anak lebih mendengarkan gawai daripada omongan orang tuanya.

Pertanyaan yang muncul, bagaimana seorang guru bersikap dalam menghadapi era milenial seperti saat ini? Guru dan institusi pendidikan harus mempersiapkan kedatangan generasi baru itu. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 4 hal yang perlu diperhatikan pendidikan dalam menyambut generasi digital. Pertama, kenali siswa lebih dalam. Kedua, inovasi paradigma pembelajaran. Ketiga, inovasi manajemen kelas. Keempat, menciptakan ekosistem yang literat.

Pertama, mengenal siswa lebih dalam adalah dasar dari seorang guru. Dengan membaca tentang fenomena munculnya generasi dari Baby Boomers sampai generasi Google Kids di atas, hal itu sudah menjadi langkah awal untuk mengetahui bahwa zaman berubah. Pendidik sudah seharusnya mengetahui karakteristik siswa abad 21. Kita tidak bisa memaksakan siswa untuk kembali ke masa di mana guru dilahirkan dan ditempa. Guru yang sepatutnya memiliki karakter guru abad 21 mengikuti perkembangan zaman siswanya. Keterampilan abad 21 yaitu mampu memahami dan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (ICT Literacy Skills) yang terdiri dari (1) melek teknologi dan media; (2) melakukan komunikasi efektif; (3) berpikir kritis; (4) memecahkan masalah; dan (5) berkolaborasi. 

Kedua, inovasi paradigma pembelajaran yang dapat dilakukan yaitu pengembangan pembelajaran otentik. Merujuk pengertian pembelajaran dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003 mendefinisikan bahwa: “Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar”. Lingkungan belajar abad 21 perlu dikembangan melalui sistem instruksional yang harus mempertimbangkan konteks lingkungan eksternalnya yang lebih luas dari sekedar lingkup kelas atau sekolah. Artinya, guru di sekolah harus menciptakan tujuan pembelajaran yang mampu membangun kompetensi peserta didik yang sesuai dengan kebutuhan di masa depan. 

Jika sebelumnya kita mengenal model pembelajaran Contextual Teaching Learning (CTL) yaitu belajar dari hal-hal yang nyata, kali ini siswa perlu kita ajak untuk belajar dari kenyataan, bukan hanya hal-hal yang nyata saja. Hal itu karena revolusi digital tidak hanya dalam bentuk fisik, tetapi juga cara berpikir, yaitu melakukan hal-hal baru dengan cara-cara baru yang sepenuhnya memanfaatkan kekuatan teknologi dan media. Belajar bukan berdasarkan mata pelajaran, tetapi berbasis masalah. 

Ketiga, perlu adanya redefinisi manajemen kelas. Paradigma pendidikan era milenial mendorong kesetaraan antara guru dan siswa dalam hal mengelola informasi pembelajaran. Jika saat ini masih berkeyakinan bahwa guru sebagai sumber belajar, itu salah besar. Mungkin benar guru akan digantikan oleh teknologi, tetapi tidak sepenuhnya. Teori Benyamin S. Bloom yang masih digunakan di Indonesia sampai saat ini yaitu kategori kognitif, afektif, dan psikomotorik belum sepenuhnya dapat diajarkan oleh teknologi. Afektif dan psikomotorik menjadi kategori yang masih dan akan tetap perlu ‘tangan’ seorang guru.

Jika dahulu guru dianggap sebagai fasilitator, sepertinya saat ini guru harus bertransformasi menjadi pemimpin dalam proses pendidikan di kelas. Walaupun kalah dengan mesin dan anak-anak didiknya sendiri, namun ada yang tidak bisa digantikan dari peran seorang guru, yakni sikap keteladanan beserta turunannya, seperti: empati, kasih sayang, kepedulian, dan sifat-sifat terpuji lainnya. Dari keteladanan inilah guru masih bisa mempengaruhi dan mampu mendidik siswa. Siswa bisa berkembang dengan diberi kepercayaan dan kesempatan untuk memimpin. Maka kepemimpinan guru sebagai inti dari manajemen kelas 3.0 adalah kemampuan untuk berbagi tanggung jawab kepemimpinan dengan semua murid-muridnya.

Keempat, budaya literasi menjadi prasyarat Abad 21 yang perlu diperhatikan. Pembentukan SDM yang literat merupakan usaha pokok untuk memperbesar kapasitas seseorang untuk melakukan produksi berbasis informasi. Menurut H.A.R. Tilaar (1990: 275), pengembangan SDM ini bukan hanya sekedar peningkatan produktivitas manusia sebagai alat atau sarana ekonomi, tapi juga mobilisasi serta pemanfaatan seluruh potensi manusia dalam segala aspek yang menyeluruh dalam rangka peningkatan taraf hidup yang lebih berkualitas. 

Generasi milenial mempunyai rasa ingin tahu yang besar dan juga rasa ingin berbagi yang besar pula. Hal itu terlihat dari maraknya persebaran hoaks di masyarakat yang sudah merusak tatanan masyarakat. Motif seseorang menyebarkan hoaks pada dasarnya ingin memberi tahu kepada orang lain tentang informasi baru dan ia ingin menjadi orang pertama yang menyebarkan informasi itu. Namun, jika tidak dibarengi dengan budaya literasi yang baik, maka nalar kritis siswa tidak berfungsi.

Terkait dengan literasi, Tajuk Rencana Kompas mengutip dari data Badan Pusat Statistik mencatat ada penurunan jumlah buta aksara pada usia 15-59 tahun. Pada tahun 2004 masih ada 15,4 juta penduduk yang buta aksara atau 10,2 persen dari jumlah penduduk, sedangkan pada 2010 jumlahnya turun menjadi 7,54 juta jiwa atau 5,02 persen dari jumlah penduduk. Pada tahun 2017, jumlah ini turun lagi menjadi 3,4 juta jiwa atau 2,04 persen dari jumlah penduduk. Masalahnya, hasil penelitian Perpustakaan Nasional tahun 2017 menunjukkan, frekuensi membaca orang Indonesia hanya 3-4 kali per minggu dengan lama waktu membaca per hari 30-59 menit. Tidak sampai satu jam. Waktu membaca ini jauh di bawah UNESCO, yakni 4-6 jam per hari. Adapun jumlah buku yang ditamatkan masyarakat Indonesia hanya 5-6 buku per tahun.

Kenyataan di atas begitu memprihatinkan. Di saat teknologi berkembang sangat cepat, sangat cepat pula penyebaran hoaks dan ujaran kebencian yang diakibatkan karena penggunaan teknologi yang tidak bijak. Oleh karena itu, ekosistem literasi perlu dibangun bukan hanya di sekolah, tetapi keluarga dan masyarakat. Membangun ekosistem yang literat meliputi masyarakat yang peduli, sekolah bersinergi, dan didukung keluarga yang harmonis. Implementasi sekolah berbasis masyarakat menjadi landasan berpikir dalam membangun budaya literat ini. Saat dunia tengah berubah menuju era kehidupan berbasis kecerdasan artifisial, maka literasi, dalam artian yang luas, merupakan kecakapan untuk bertahan menghadapi tantangan disrupsi total yang diprediksi akan terjadi pada dekade ketiga abad ke-21.

Pada akhirnya, usaha-usaha yang dilakukan di atas mengharapkan agar jangan sampai pendidikan sebagai teknik dipercanggih, tetapi pendidikan sebagai etik diterbelakangkan. Guru, sebagai pilar keteladanan bagi siswa tidak dapat digantikan oleh teknologi, karena pendidikan bukan hanya mencetak generasi yang berperadaban, tetapi juga generasi yang berkeadaban. Berkeadaban inilah sosok guru diperlukan sebagai mata air keteladanan. Karena guru yang baik bukan yang sekedar pintar, tapi yang mampu memberi inspirasi. Selamat Hari Guru Nasional. Selamat menjadi guru cerdas di era milenial.

Wallahu A’lam.


Penulis merupakan guru di SMA Dharma Karya Jakarta Selatan, Aktivis Sekolah Guru Indonesia (SGI) Literat XXXI dan Alumni Pondok Pesantren Mahadut Tholabah Babakan Lebaksiu Tegal.