Opini

Gus Dur, Pahlawan HAM

NU Online  ·  Selasa, 26 Juli 2005 | 10:57 WIB

Oleh: ASVI WARMAN ADAM*

Banyak cara untuk melihat dan menilai mantan Presiden Abdurrahman Wahid yang akrab di sapa Gus Dur. Salah satunya dari perspektif hak asasi manusia. Gus Dur boleh dikatakan pahlawan HAM.

<>

Gus Dur membuka paradigma barudengan menerobos tembok-tembok pemikiran lama. Ia ingin setiap orang diperlakukan setara dalam hukum, tanpa membedakan warna kulit, etnis, agama/ideologinya. Gus Dur menghargai mereka sesama manusia dan warga negara.

Membuka cakrawala
Ia membubarkan  Bakorstranas—lembaga ekstrayudisial penerus Kopkamtib—yang memiliki kewenangan luas untuk menindas. Ia juga menghapus penelitian khusus (litsus) yang selama ini digunakan untuk “menakuti” pegawai negeri agar tidak bersikap kritis. Gus Dur membuka cakrawala masyarakat agar lebih toleran terhadap ajaran atau paham politik mana pun.ini ditunjukanya dengan usulan mencabut Tap MPRS No. XXV/1966 soal pembubaran Partai Komunis Indonesia dan pelarangan penyebaran ajaran marxisme, dan leninisme.


Selama Orde Baru, Tap MPRS telah menjadi sandaran berbagai peraturan perundangan yang diskriminatif. Penduduk diatas usia 60 tahun di DKI mendapat KTP seumur hidup. Kebijakan itu diambil agar tidak merepotkan warga lanjut usia. Namun, bagi mereka yang tersangkut G30S, ketentuan itu tidak berlaku.
Untuk pemilihan anggota legislative (berlaku mulai tahun 2009), pasal diskriminatif yang melarang mereka yang tersangkut G30S untuk dicalonkan dicabut Mahkamah Konstitusi.Namun, di tempat lain masih berlaku seperti dalam Undang-undang Pemilihan Presiden, bahkan dalam pemilihan perwakilan desa.


Gus Dur ingin membangun Indonesia yang baru yang damai tanpa prasangka, bebas dari kebencian. Untuk itu, masa lalu yang kejam,kelam, dan tidak toleran harus diputus. Partisipasi masyarakat harus dibangun. Dengan kesetiakawanan yang luas dan menyeluruh, kita baru bisa membangun Indonesia yang kuat. Untuk itu Gus Dur tidak keberatan meminta maaf kepada korban 1965 yang diserang banser NU.


Meski Gus Dur mengatakan bahwa Ia juga memiliki kerabat yang terbunuh dalam peristiwa Madiun 1948, tetapi balas dendam tidak ada gunanya. Kita tidak akan mampu mewujudkan rekonsiliasi tanpa menghilangkan stigma atau kecurigaan terhadap suatu kelompok. Masih ada yang percaya, suara bekas tapol adalah upaya cuci tangan atau kebangkitan kembali komunisme.
Langkah pertama dalam mereparasi masa lalu adalah mendengarkan suara korban. Untuk itu, Gus Dur mengutus Menteri Kehakiman Ysril Ihza Mahendra ke Eropa, mendengarkan ratusan eksil, yang setelah peristiwa1965 dicabut paspornya oleh KBRI di berbagai negara. Padahal, sebagian mereka adalah mahasiswa “duta ampera” yang dikirim pemerintah untuk belajar di negara-negara sosialis. Sayang, tindak lamjut pertemuan itu tidak terwujud hingga kini.

Hilangkan diskriminasi
Gus Dur menghilangkan diskriminasi terhadap etnis Tionghoa dengan Inpres No. 6/2000 tanggal 17 januari 2000, mencabut Inpres 14/1967 tentang agama,kepercayaan,dan adat istiadat China. Pada masa Orde Baru, orang takut bersembahyang di Klenteng atau melakukan acara budaya Tinghoa lain. Namun, sejak pemerintahan Gus Dur, tahun baru Imlek diperingati disertai pertunjukan barongsai.


Saya teringat malam kesenian yang diadakan Perhimpunan Inti (Indonesia-Tionghoa), 17 Agustus 2004 di Graha Sarbini, Jakarta. Ketika acara dimulai, muncul Sallahudin Wahid yang saat itu calon Wakil Presiden (pasangan Wiranto), disusul Hasyim Muzadi yang juga calon Wakil Presiden (bersama Megawati). Pertunjukan berlangsung terus. Ketika Gus Dur masuk ruangan bersama istrinya, tanpa komando seluruh hadirin berdiri, memberi rasa hormat. Sebelumnya, 10 Maret 2004, Gus Dur diberi gelar “bapak Tionghoa” di Klenteng Tay Kak Sie, Semarang.


Sebagai manusia, ia tak luput dari kekurangan. Namun, untuk mewujudkan kesetaraan antarsesama warga negara, ia memiliki komitmen amat tinggi. Mantan Presiden yang duduk di kursi roda ini adalah pahlawan HAM. 

       *Ahli peneliti Utama LIPI

(dikutip dari Kompas/18-07-2005)