Opini

Haji dalam Sastra Sunda

Rab, 21 Agustus 2019 | 07:30 WIB

Haji dalam Sastra Sunda

Ilustrasi: Jemaah haji Indonesia tahun 1948 tiba di Tanjung Priok. (Foto: KITLV)

Oleh Abdullah Alawi
 
Haji juga manusia. Ya, mereka manusia pada umumnya, meski sudah menginjak tanah suci, menciu Hajar Aswad dan berziarah ke Tanah Suci Makkah. Di dalam literatur klasik Islam pun ada haji mabrur dan mardud. Artinya, ada orang yang setelah berhaji perangai dan ibadahnya makin baik, ada yang malah lebih buruk.  

Di dalam sastra Sunda, penggambaran sosok haji juga demikian. Ada pengarang yang menampilkan citra haji yang negatif dan dan yang positif. Bahkan menurut pengamat sastra Sunda Hawe Setiawan, keduanya bisa disebut sebagai ekstrem baik dan ekstrem buruk.  

Penggambaran haji seperti itu misalnya tampak dalam karya Sayudi berjudul Madraji: Carita Pantun Modern (1983). Di dalam karya karya yang dipengantari Wing Kardjo tersebut ada dua sosok haji yang sama-sama bertabiat buruk, Haji Umar dan Haji Syukur. 

Penggambaran sosok Haji Umar yang buruk bisa dilihat dalam deskripsi sebagai berikut:

“Taya dua Haji Umar katelahna nu boga adat fidunya, haji keling taya tanding, sarakah mamawa lurah, sakait jeung juru tulis.” 

Di dalam karya tersebut, Haji Umar adalah seorang haji yang melakukan kongkalikong dengan pejabat. Tak hanya itu, ia juga seorang haji yang materialistis. 

Haji lain, dalam karya tersebut, Haji Syukur, meski namanya bagus, tapi berlainan dengan tabiatnya. Berikut penggambarannya:

“Sambian maluruh catur, laku Ki Haji Syukur nu racak tapak pangupat, nu ledug tapak penyebut, anyar jegud benang munjung, pajar teu modalan, Kang Haji kaintip nyegik,” kutipnya. 

Terjemah bebasnya: Haji Syukur seorang yang banyak digunjing orang, kaya mendadak karena dia seorang yang memuja babi.

Menurut Hawe, penggambaran tersebut sangat kontradiktif karena Haji Syukur beribadah dengan harta buah dari cara yang tidak Islami. 

Dalam istilah sekarang, sesorang yang melakukan korupsi uang rakyat. Kemudian uang tersebut digunakan untuk berhaji.

Hal senada, dalam karya sastra Indonesia. Citra buruk haji, bisa ditemukan di beberapa karya Pramudya Ananta Toer, terutama di novel Arus Balik. Di novel itu penulis menceritakan seorang keturunan Syahbandar yang berhidung melengkung. 

Kalau kita runut ke belakang, penggambaran haji yang demikian, muncul dalam karya-karya sastra Belanda, misalnya pada novel De Stille Kracht (Tenaga Tersembunyi) karya Louis Couperus. Penulisnya, sekitar tahun 30-an pernah ke Indonesia (waktu itu Hindia Belanda). 

Di novel itu ada tokoh hantu haji. Tentu saja, penggambaran seperti itu turut serta dalam upaya memperburuk citra haji pribumi yang dalam waktu bersamaan mencerminkan ketakutan kolonialisme terhadap Islam. 

Namun, tentu saja ada haji yang dicitrakan sangat baik. Hal itu bisa dilihat dalam karya Syarif Amin, berjudul Nyi Haji Saonah. 

Novel tersebut merupakan cerita cinta. Di dalam novel tersebut ada dua haji, yaitu Haji Saonah dan suaminya, Haji Siroj. 

Berikut gambaran Haji Siroj: ‘Ari parung pasanggrok di jalan eta manehna dina sado, kuring leumpang, Haji Siroj meni sok dongko-dongko bae bari nyekelan ples teh. Jelema handap asor kasebut beungharna’,” ungkapnya.  

Terjemahan bebas penggambaran tersebut: “Ketika bertemu di suatu jalan, dia (Haji Siroj) sedang menaiki sado. Sementara saya berjalan kaki. Melihat saya, Haji Siroj memberi hormat dengan membungkukkan badannya. Ia seorang haji yang kaya berperangai rendah hati.

Di novel itu, Haji Siroj adalah sosok kaya raya yang nyantri. Kekayaannya merupakan hasil dari bisnis halal yang tidak membuatnya angkuh, melainkan rendah hati.
 

Penulis adalah pengkaji sejarah Sunda