Allahu akbar-allahu akbar-allahu akbar
Laaila haillallahu allahu akbar
Allahu akbar walillahilhamd
Takbir berkumandang, menyeruak menebarkan buih-buih kesedihan akan keberlaluan Ramadhan. Ataukah deru deram takbir di antara nyanyian dan bunyi petasan simbol dari sebuah kemenangan? Siapa yang menang dan apa yang telah berhasil dikalahkan?
Idul Fitri, sebuah perayaan kemenangan atas keberhasilan umat islam melaksanakan puasa Ramadhan. Selain menahan dari tidak makan, tidak minum, dan tidak berhubungan kelamin sejak fajar hingga matahari terbenam, secara lebih luas puasa Ramadhan dapat dimaknai sebagai menahan dari apa pun yang bukan haknya. Menahan dari menjual kewenangan bagi penguasa dan pemerintah, menahan dari menjual dan membeli demokrasi rakyat, menahan dari kapitalisme dan pemiskinan pihak lain, menahan dari hedonisme, menahan dari berhubungan kelamin yang tidak halal, menahan dari perkataan dan pemikiran yang menyakitkan dan merugikan, menahan dari amarah, iri, dengki, kesombongan, kebencian serta menahan dari ketidakadilan. Lantas apa yang disebut Idul Fitri, yang banyak didengungkan sebagai capaian kemenangan?
Di kamus “Al-Munawwir Arab–Indonesia”, al fith-ru (الفطر) adalah kasru ash-shawmi, yang artinya hal buka puasa. Selain fith-run, buka puasa disebut juga ifthâr (sighat mashdar dari afthara – yufthiru). Senada dengan hal tersebut, makan pagi yang dalam bahasa Inggris kita kenal dengan istilah breakfast (menghentikan puasa), dalam bahasa Arab disebut futhûr. Dengan demikian, IdulFitri (عيدالفطر) berarti hari raya berbuka atau makan. Berdasarkan uraian tersebut, Idul Fitri dapat diterjemahkan sebagai hari raya dimana umat Islam wajib berbuka atau makan.
Adapun M. Quraish Shihab dalam Wawasan Al-Qur’an — Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat menjelaskan bahwa kata fithr antara lain berarti asal kejadian, agama yang benar, atau kesucian. Dari penjelasan ini dapat disimpulkan pula bahwa Idul Fitri bisa berarti kembalinya kita kepada keadaan suci, atau keterbebasan dari segala dosa dan noda sehingga berada dalam kesucian (fitrah).
Kedua pengertian tersebut dapat kita jadikan barometer diri, posisi mana yang saat ini kita tempati? Idul Fitri kembali makan ataukah kembali suci? Di Indonesia, momen Idul Fitri adalah momen berkumpulnya sanak saudara dengan sajian khas ketupat, lepet, opor ayam, rendang dan berbagai aneka cemilan. Jika kita tidak dapat menahan diri dan bahkan sampai sakit perut akibat berlebihan makan, artinya kita telah gagal menjadi pemenang. Karena Ramadhan sebagai madrasah yang mendidik kita mengendalikan/menahan diri, tidak berimbas pada perubahan perilaku lebih baik. Bukankah makan berlebihan di larang oleh Islam? Bahkan Rasulullah menganjurkan agar makan ketika lapar dan berhenti sebelum kenyang.
Tidak hanya makan berlebihan yang menjadi persoalan perut menjadi sakit, secara sosial kita dapat dikatakan gagal menjadi pemenang jika setelah Ramadhan perilaku kita tidak meningkat menjadi lebih baik. Termasuk perilaku spiritual dan sosial kita di masyarakat.
Idealnya, jika Idul Fitri adalah kembali pada jiwa yang suci kita mampu berbenah diri untuk disiplin dan tertib menjalankan salat, melebur dalam kedamaiaan saling memaafkan bukan kebencian, iri, dengki, amarah dan kesombongan. Memanfaatkan kewenangan untuk kesejahteraan sosial masyarakat, berlaku adil secara objektif bukan karena fanatisme golongan, menjalankan asas demokrasi bukan pembelian aspirasi, tandang (melakukan) kewajiban dengan sepenuh hati bukan karena gaji.
Kupat , lepet dan jiwa yang suci
Kupat (ketupat) merupakan makanan khas ditemui saat Idul Fitri. Di Jawa, kedua makanan tersebut tidak hanya pelengkap atau sajian Idul Fitri belaka. Melainkan, memiliki makna yang apik (bagus) dalam perubahan perilaku menjadi lebih baik.
Kupat diartikan sebagai ngaku lepat (mengakui kesalahan) dan laku papat (empat tindakan). Maka saat Idul Fitri, hal yang tidak asing dijumpai di Jawa bahkan di Indonesia adalah saling berjabat tangan dan saling memaafkan antara satu orang dengan orang lain. Sungkeman, juga biasanya dilakukan anak kepada orang tua dengan menyampaikan maaf atas kesalahan-kesalahan lisan, pemikiran ataupun tindakan.
Adapun laku papat yakni lebaran, luberan, leburan, dan laburan. Idul Fitri biasanya juga disebut sebagai lebaran, yang menandakan puasa Ramdhan telah usai. Luberan (melimpah), maksutnya mengajak agar saling berbagi, bersedekah kepada kaum miskin, yatim piatuh dan orang-orang yang membutuhkan.
Angpao atau pesangon kerap kali menghiasi suasana Idul Fitri. Angpao biasanya diberikan kepada yang tua kepada yang muda atau yang masih bekerja kepada saudara-saudara yang sudah renta. Selain bersedakah, anjuran berbagi bahkan diwajibkan dalam Islam atau yang dikenal dengan zakat fitrah. Zakat fitrah diperuntukkan kepada delapan golongan. Sebagaimana yang tercantum dalam surat At-Taubah ayat 60, “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk [1] orang-orang fakir, [2] orang-orang miskin, [3] amil zakat, [4] para mu’allaf yang dibujuk hatinya, [5] untuk (memerdekakan) budak, [6] orang-orang yang terlilit utang, [7] untuk jalan Allah dan [8] untuk mereka yang sedang dalam perjalanan.”
Leburan, maksudnya dosa dan kesalahan akan lebur karena adanya tindakan saling memaafkan. Terakhir, laburan yang berarti menjaga kesucian baik lahir atau pun batin.
Ketupat, menggunakan janur sebagai pembungkusnya. Janur berasal dari kata ja’a nurun (telah datang cahaya). Berbentuk segi empat melambangkan hati manusia. Ketika dibelah akan tampak isi ketupat yang berasal dari beras dan berwarna putih, yang menyimbolkan hati manusia yang suci, bersih karena telah terlebur segenap dosa-dosanya.
Pasangan ketupat adalah lepet yang diartikan sebagai silep kang rapet (ditutup yang rapat). setelah mengakui kesalahan, meminta maaf, maka dilanjutkan dengan tekad dan kesadaran diri untuk tidak mengulangi kesalahan.
Kupat lepet dan kosong-kosong
Kawula muda kerap kali menggunakan istilah “kosong-kosong” saat meminta maaf antarteman sejawatnya. Bagaimana jika kosong-kosong diterapkan dalam tatanan sistem dan birokrasi di Indonesia, terutama bagi pihak-pihak pemangku kewenangan yang telah tidak amanah, memakan yang bukan haknya dan menciderai kepercayaan rakyat? Apakah dengan open house saling berjabat tangan, mengungkapkan maaf kepada rakyat telah usai, berakhir dan dilupakan semua kesalahan? Apakah seperti filosofi kupat lepet yang berhenti pada permintaan maaf dan tidak mengulangi kesalahan?
Jiwa kembali suci tidak cukup dengan berhenti melakukan kesalahan, melainkan harus mempertanggungjawabkan dan membayar kesalahan.
Penulis aktif di Pimpinan Cabang Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPPNU) Kota Yogyakarta
Terpopuler
1
Ustadz Maulana di PBNU: Saya Terharu dan Berasa Pulang ke Rumah
2
Kick Off Harlah Ke-102 NU Digelar di Surabaya
3
Pelantikan JATMAN 2025-2030 Digelar di Jakarta, Sehari Sebelum Puncak Harlah Ke-102 NU
4
Khutbah Jumat: Mari Menanam Amal di Bulan Rajab
5
Puluhan Alumni Ma’had Aly Lolos Seleksi CPNS 2024
6
Respons Gus Yahya soal Wacana Pendanaan Makan Bergizi Gratis Melalui Zakat
Terkini
Lihat Semua