Opini

Inskonstitusionalisme Full Day School

Jum, 11 Agustus 2017 | 06:00 WIB

Oleh Muhtar Said

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia tetap bersikeras menerapkan sekolah satu hari penuh, para siswa “dipaksa” berada di lingkungan sekolah dari pagi hingga sore. Bagi banyak kalangan, langkah Menteri Pendidikan ini adalah langkah mengambil kebijakan sepihak, karena ada beberapa pihak yang dirugikan selain memforsir tenaga dan pikiran siswa langkah tersebut juga bisa mematikan lembaga pendidikan yang dibangun oleh masyarakat.

Madrasah Diniyah (Madin) merupakan lembaga pendidikan yang terkena dampaknya karena madrasah ini biasanya dimulai pada jam 15.30, sedangkan Full Day School (FDS) berakhir pada jam 15.00. waktu istirahat selama 30 menit tidak akan bisa “menggugah” para siswa untuk belajar di Madin karena para siswa pasti sudah merasa kelelahan karena pikiran dan tenaganya sudah terkuras sebelumnya, akhirnya para siswa tidak bisa merasakan pendidikan agama yang diajarkan di Madin, padahal sudah terbukti, banyak tokoh nasional yang lahir karena dididik di Madin.

Madin merupakan lembaga pendidikan berbasis agama yang didirikan oleh masyarakat, gotong royong menjadi cirikhas utama pengelolaannya. Sehingga penerapan FDS juga akan mematikan nilai-nilai gotong royong itu sendiri, padahal gotong royong merupakan nilai yang harus dipertahankan.

Madin tidak bisa dipisahkan dalam dunia pendidikan di Indonesia karena dilindungi oleh Undang-Undang, yakni di Pasal 30 ayat (4) UU No 20 tahun 2003. Sebagai pendidikan keagamaan yang diselenggarakan oleh masyarakat, juga ada pelestarian nilai gotong royng dalam pengelolaanya, sebuah nilai asli Indonesia yang memang harus dipertahakan.

Mengacu pada dasar-dasar di atas maka bisa ditarik benarng merahnya, pemberlakukan FDS yang akan diterapkan oleh Menteri Pendidikan ini, selain akan merusak nilai-nilai gotong royong yang selama ini dilaksanakan oleh masyarakat melalui Madin, juga bisa dikategorikan sebagai kebijakan yang inskonstitusional karena tidak selaras dengan norma-norma hukum yang telah ada.

Sebagai negara hukum, tentu pemerintah Indonesia tidak boleh melangkah tanpa ada dasar hukum yang melatar belakanginya karena setiap tindakan pemerintah (bestur handeling) harus berpijakan pada hukum yang sudah ada kalau tindakannya tidak berdasarkan hukum maka bisa dinamakan telah melakukan maladministrasi.

Bertentangan dengan Undang-undang

Dalam Pasal 1 huruf (1) Undang-Undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sudah jelas dituliskan “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”.

Bunyi pasal di atas bisa dilihat dengan seksama, ada kata “dan” dalam definisi pendidikan. Hal itu menandakan, adanya satu kesatuan, proses pendidikan harus mencakup wilayah spiritual keagamaan. Anehnya, di Permendikbud No 23/2017 wilayah pendidikan agama ditempatkan pada wilayah ekstrakuler, wilayah yang tidak diwajibkan karena ekstrakulikuler merupakan kegiatan pilihan.

Sudah jelas Permendikbud tersebut menilai pendidikan keagamaan merupakan wilayah yang tidak wajib, sehingga siswa boleh memilih atau tidak. Apabila langkah tersebut terus dijalankan maka ini akan berakibat fatal karena bertentangan dengan Pasal 1 huruf (1) Undang-Undang No 20 tahun 2003.

Segala bentuk tindakan yang dilakukan oleh pemerintah (bestur handelling) tidak boleh mengandung unsur ketidakmanfaatan. Dalam melakukan memberlakukan kebijakannya ini Menteri pendidikan tidak menaati Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) karena kebijakannya tidak mencerminkan asas kemanfaatan, seperti yang tertuang dalam Pasal 10 ayat 1 UU No 30 tahun 2014 tentang Adminitrasi Pemerintahan.

Kebijakan yang tidak bermanfaat

Dalam melakukan tindakannya, pemerintah (dalam hal ini Menteri Pendidikan) harus memperhatikan ksecara seimbang antara kepentingan individu dengan kepentingan individu lainnya, kepentingan individu dengan masyarakat, kepentingan kelompok masyarakat satu dan kepentingan kelompok masyarakat lainnya.

Perlu diketahui, menurut data Kementrian Agama ada 76.566 Madin yang dikelola oleh kelompok masyarakat dengan peserta didik mencapai 6.000.062. Jumlah Madin dan muridnya itu bisa hilang karena adanya kebijakan FDS. Hal ini jelas akan memancing keributan di kalangan masyarakat. Sehingga bukan kemanfaatan yang didapat tetapi kekisruhan akibat kebijakan FDS.

Menteri Pendidikan merupakan pejabat tata usaha negara yang mendapatkan kewenangan delegasi oleh Presiden untuk mengelola pendidikan. Sebagai pejabat tata usaha negara dia harus cermat dalam membuat keputusan atau kebijakan karena kalau tindakannya tidak cermat akan bisa berdampak hukum terhadap dirinya sendiri.

Terbukti, Menteri Pendidikan tidak cermat dalam membuat kebijakan FDS karena melanggar asas utama dalam pengambilan kebijakan yakni AUPB. Berdasarkan analisis diatas Menteri Pendidikan telah melanggar asas kepastian hukum karena tidak mengindahkan peraturan perundang-undangan dan asas kemanfaatan (kebijakan malah membuat suasana gaduh dan potensi ricuh).

Ketika Menteri Pendidikan tidak menghormati asas-asas tersebut maka kebijakan yang dia keluarkan bisa disebut sebagai kebijakan yang inskonstitusional. Untuk itu Menteri Pendidikan harus sesegara mungkin mencabut Permendikbud No 23/2017.

Penulis adalah Dosen Ilmu Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta.