Opini

Islam Menegakkan Hak Asasi Manusia

Sab, 13 Januari 2018 | 07:00 WIB

Oleh Rosidin

Setiap Muslim harus memegang keyakinan bahwa Allah SWT Maha Kaya, tidak membutuhkan apa pun dari manusia. Sebaliknya, manusia pasti butuh kepada Allah SWT. “Hai manusia, kalian semua fakir (butuh) kepada Allah; sedangkan Allah Dialah Yang Maha Kaya (tidak butuh apa pun) lagi Maha Terpuji (Q.S. Fathir [35]: 15).

Kandungan ayat ini dipertegas hadist qudsi, bahwa Allah SWT berfirman, “Wahai para hamba-Ku, seandainya generasi masa lalu dan masa depan, bangsa manusia maupun jin, memiliki hati yang paling bertakwa, tidak akan menambah sedikit pun pada kekuasaan-Ku. Wahai para hamba-Ku, seandainya generasi masa lalu dan masa depan, bangsa manusia maupun jin, memiliki hati yang paling durhaka, tidak akan mengurangi sedikit pun pada kekuasaan-Ku (H.R. Muslim).

Jika demikian, berarti ajaran Islam disyariatkan bukan dalam rangka 'kepentingan' Allah SWT, melainkan demi kemaslahatan manusia. Secara garis besar, kemaslahatan manusia dibagi menjadi dua jenis. Pertama, kemaslahatan umum (publik). Kedua, kemaslahatan khusus (pribadi).

Untuk membedakan kedua jenis kemaslahatan tersebut, Islam memperkenalkan dua istilah. Pertama, Hak Allah SWT, yaitu hak-hak yang berhubungan dengan kemaslahatan umum (publik); namun dinisbatkan kepada Allah SWT. Kedua, Hak Hamba, yaitu hak-hak yang berhubungan dengan kemaslahatan khusus (pribadi); dan dinisbatkan kepada manusia.

Ibaratnya, jadwal pelajaran disusun untuk kemaslahatan umum semua siswa, namun dinisbatkan kepada 'kebijakan sekolah'. Seandainya jadwal pelajaran disusun untuk kemaslahatan khusus setiap siswa, pasti tidak akan pernah tersusun jadwal pelajaran, karena setiap siswa memiliki kebutuhan dan keinginan yang berbeda-beda. Sudah jelas bahwa jadwal pelajaran seperti itu tidak bisa disebut melanggar hak-hak asasi siswa, ketika ada siswa tertentu yang merasa jadwal pelajaran tersebut tidak sesuai dengan kebutuhan dan keinginan pribadinya; mengingat jadwal pelajaran tersebut sudah disusun sesuai dengan kebutuhan dan keinginan semua siswa secara umum. 

Peraturan yang dibuat oleh manusia saja ditujukan untuk kemaslahatan manusia secara umum, lebih-lebih syariat Islam yang berasal dari Allah Yang Maha Bijaksana, “Bukankah Allah Hakim yang paling bijaksana? (Q.S. al-Tin [95]: 8)”.

Oleh sebab itu, sudah pasti semua syariat Islam memiliki tujuan untuk kemaslahatan manusia. Tujuan syariat Islam ini dikenal sebagai Maqashid Syariah yang meliputi pemeliharaan agama (hifzh al-din), jiwa-raga (hifzh al-nafs), akal (hifzh al-‘aql), keluarga (hifzh al-nasl), harta (hifzh al-mal) dan harga diri (hifzh al-‘irdh). Misalnya, Allah SWT mengharamkan LGBT (Lesbi, Gay, Biseksual, Transgender) demi kemaslahatan umum manusia terkait pemeliharaan keluarga dan anak-keturunan (hifzh al-nasl), meskipun bisa jadi tidak sesuai dengan kemaslahatan pribadi manusia yang mengidap kelainan orientasi seksual.

Atas dasar itu, jangan sampai kita ikut-ikutan salah paham terhadap istilah 'hak Allah', sehingga sembrono menuduh Islam tidak mendukung Hak Asasi Manusia (HAM). Faktanya, seluruh ajaran Islam disyariatkan untuk menegakkan HAM, baik yang bersifat umum (disebut 'hak Allah') maupun khusus (disebut 'hak hamba).

Akan tetapi, ketika terjadi pertentangan antara HAM umum dengan HAM khusus, maka yang diutamakan adalah HAM umum. Misalnya, Islam menghormati HAM khusus setiap manusia untuk mencari nafkah, namun tidak boleh merusak HAM umum umat manusia. Contoh praktisnya, Islam mengharamkan riba yang dapat merusak perekonomian umat manusia secara umum, meskipun bisa jadi mendatangkan kemaslahatan bagi sebagian manusia secara khusus, seperti para bankir dan rentenir.

Bagaimana mungkin Islam tidak mendukung HAM, sedangkan visi-misi agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW adalah menebar kasih sayang ke semesta alam atau rahmatan lil ‘alamin (Q.S. al-Anbiya’ [21]: 107).

Perhatian Islam terhadap HAM sudah terbukti berabad-abad sebelum Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948. Misalnya, Khutbah Wada’ yang disampaikan oleh Rasulullah SAW sarat dengan nilai-nilai HAM. Beliau bersabda, “Sesungguhnya darah (nyawa), harta dan harga diri kalian adalah mulia di tengah-tengah kalian, sebagaimana kemuliaan hari ini (Idul Adha), bulan ini (Dzulhijjah), negeri ini (tanah haram)” (H.R. Bukhari). 

'Darah atau nyawa' berkenaan dengan hak untuk hidup. Syariat Islam sangat tegas dalam menjamin hak hidup manusia. Misalnya, pembunuhan yang dilakukan tanpa alasan yang haq (dibenarkan syariat Islam), hukumannya adalah qishash atau hukuman mati yang sejenis (Q.S. aA-Baqarah [2]: 178-179). Bahkan ada Fikih Jinayah yang khusus membahas hukum Islam tentang tindak kejahatan terhadap jiwa-raga manusia, seperti pembunuhan, pelukaan, pencederaan dan pemukulan. Jangankan manusia, janin manusia dalam kandungan pun begitu dihormati dalam Islam, sehingga aborsi hukumnya adalah haram dan dosa besar, bahkan lebih kejam daripada tradisi masyarakat Jahiliyah yang mengubur anak perempuan dalam keadaan hidup-hidup (Q.S. al-Takwir [81]: 8-9).

'Harta' berkenaan dengan hak untuk memiliki. Syariat Islam memiliki aturan yang ideal terkait hak kepemilikan harta, yaitu tidak mengagungkan kepemilikan pribadi layaknya ekonomi kapitalis; dan tidak mengagungkan kepemilikan masyarakat layaknya ekonomi sosialis-komunis. Kepemilikan pribadi dan masyarakat sama-sama dihormati.

Artinya, setiap manusia boleh kaya, namun dia harus berbagi harta kepada masyarakat melalui berbagai akad pelepasan harta, seperti zakat, infak, sedekah dan wakaf, agar harta terus bergulir dan tidak terjadi penumpukan harta yang menjadi ciri khas ekonomi kapitalis (Q.S. Al-Hasyr [59]: 7).  

'Harga diri' berkenaan dengan hak kemerdekaan. Syariat Islam begitu menghargai kemerdekaan manusia. Hal ini tercermin dari tiga kasus. Pertama, kemerdekaan sebagai manusia. Sejak awal Islam peduli terhadap upaya-upaya pemerdekaan budak. Misalnya, salah satu mustahik zakat adalah riqab (Q.S. al-Taubah [9]: 60), yaitu budak yang ingin merdeka dari tuannya dengan cara membayar uang tebusan.

Kedua, kemerdekaan dalam beragama (Q.S. al-Baqarah [2]: 256). Penaklukan oleh tentara Islam tidak sama dengan penjajahan ala Barat. Misalnya, ketika tentara Islam menaklukkan Andalusia (Spanyol), masyarakatnya diberi pilihan, apakah memilih masuk Islam dengan kewajiban membayar zakat atau tetap menganut agamanya dengan kewajiban membayar pajak (jizyah). Bertolak-belakang dengan apa yang dilakukan tentara Kristen saat menaklukkan Andalusia. Mereka membantai setiap Muslim beserta anak-cucunya yang tidak mau kembali kepada agama Kristen.

Ketiga, kemerdekaan berpikir dan berpendapat. Banyaknya ayat Al-Qur’an yang memerintahkan manusia agar memberdayakan akal pikirannya (kata ‘aql dan bentukannya disebut 49 kali; kata fikr dan bentukannya disebut 18 kali) menunjukkan Islam mendukung kebebasan berpikir. Terkait kemerdekaan berpendapat, cukup menyimak sabda Nabi SAW: “Jihad yang paling utama adalah pernyataan yang adil di hadapan pemimpin yang sewenang-wenang“ (H.R. Abu Dawud).

Catatan terakhir, HAM dalam syariat Islam harus dikawal dengan empat sifat khas Aswaja. Pertama, Tawassuth (moderat) dan I’tidal (lurus). Misalnya, kemerdekaan berpikir dan berpendapat tidak sampai terjerumus pada sikap ekstrem kiri (liberal) maupun ekstrem kanan (radikal). Kedua, Tasamuh (toleran). Misalnya, kemerdekaan dalam beragama membuat umat muslim bersikap toleran terhadap umat agama lain.

Ketiga, Tawazun (seimbang). Misalnya, Hak Asasi Manusia perlu diimbangi dengan Kewajiban Asasi Manusia sebagai hamba Allah yang bertugas ibadah dan khalifah Allah yang bertugas imarah (memakmurkan bumi). Keempat, Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Misalnya, Menegakkan HAM yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, namun menolak HAM yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam.

Wallahu A’lam bi al-Shawab.    

***
Penulis adalah Pengurus LTN NU Kabupaten Malang, Jawa Timur