Opini

Joker dan Kebencian yang Menjalar

Kam, 10 Oktober 2019 | 08:30 WIB

Joker dan Kebencian yang Menjalar

Joker adalah film besutan Todd Philips yang menghadirkaan Joaquin Phoenix sebagai karakter utama.Joker adalah karakter villain, ikonik dari DC Comics. (Foto: Instagram/Dusygrave)

Publik sempat terhenyak saat Joker muncul pertama di layar bioskop awal bulan ini. Film besutan Todd Philips yang menghadirkaan Joaquin Phoenix sebagai karakter utama mampu diperankan dengan luar biasa. Joker adalah karakter villain, ikonik dari DC Comics. Seringkali karakter ini menjadi antitesis dari Batman, pahlawan andalan DC Comics. Namun, Joker kali ini dibikin menjadi karakter yang mandiri. Phillips mengatakan bahwa Joker versinya tidak seperti Joker yang sebelumnya hadir dalam komik-komik. Lebih penting lagi, Joker versi Phillips bukanlah karakter yang terikat dengan DC Extended Universe alias semesta film superhero DC. Ini membuat film Joker muncul tanpa ada beban keterikatan dengan film-film lain.

Film Joker menceritakan kisah hidup sosok Arthur Fleck. Fleck adalah lelaki yang penuh dengan beban hidup. Dia menderita pseudobulbar affect (PBA), gejala yang membuat dirinya tidak bisa mengontrol ekspresi tawa. Di momen-momen yang tidak menyenangkan pun, Fleck bisa tertawa terbahak-bahak. Dia bahkan sampai harus mencekat tenggorokannya agar tawanya berhenti. Ke mana-mana Fleck juga membawa kartu yang berisi pesan bahwa dia menderita kelainan.

Hidup Fleck begitu merana. Dia tinggal di kota Gotham yang sarat dengan kriminalitas, kemelaratan, ketimpangan sosial, dan wabah penyakit. Fleck mengalami masalah dengan tempatnya bekerja. Masyarakat di tempatnya tinggal tidak bersahabat. Fleck juga mengalami masalah mental membuatnya harus rutin berkonsultasi kepada dokter. Di tengah berbagai beban hidup pribadinya, dia juga harus mengurus ibunya yang sudah sakit-sakitan.

Fleck ingin sekali menjadi komedian tunggal. Namun, dia tidak bisa membuat materi komedi dengan baik. Buku hariannya penuh dengan coretan liar, yang terkadang isinya begitu sadis dan destruktif tanpa ada sisi komikal sama sekali. Obsesinya ingin tampil di acara The Murray Show. Tidak hanya tampil, Fleck juga menyimpan keinginan untuk disayang dan dianggap anak oleh pembawa acara pertunjukan, Murray Franklin. Keinginannya ini bahkan sampai menimbulkan waham dan delusi, figur Franklin tengah memeluknya dengan hangat.

Di antara semua kemalangan yang menimpanya, ibu Fleck berpesan kepada anaknya untuk tersenyum dan selalu memasang wajah bahagia. Sebuah ironi tersaji di tengah hidup Fleck yang penuh kemalangan.

Kehidupan Fleck berubah saat dia dirundung oleh tiga orang dengan setelan jas di gerbong kereta. Saat baru saja dipecat atasannya, Fleck dengan dandanan badut yang masih menempel naik ke dalam kereta. Gejala tawanya kumat. Tiga orang berjas merasa terganggu dengan Fleck. Mereka kemudian menghajar Fleck sampai terkapar. Fleck yang terjepit kemudian melepaskan pelatuk dari pistol yang sudah seharian dia sembunyikan. Ketiga orang yang menyerang Fleck segera meregang nyawa.

Konflik dengan orang-orang berjas tadi menimbulkan efek domino. Masyarakat kelas bawah Gotham menganggap Fleck sebagai simbol perlawanan terhadap orang-orang kaya. Orang-orang menganggap Fleck mewakili keresahan mereka. Padahal, Fleck hanyalah orang malang yang tidak sengaja berselisih dengan tiga orang tadi. Orang-orang ramai memasang topeng badut dan memprotes mereka yang berkerah, dan duduk manis di rumah mewah. Gotham menjadi kaos dan konflik horisontal terjadi.

Masalah hidup Fleck bertambah parah saat dia mengetahui kisah masa lalu ibunya. Momen itu menjadi titik balik Fleck untuk bertindak ekstrim. Fleck yang memendam segunung dendam menjelma menjadi Joker.

Wacana Rundung yang Bergaung
 
Menurut saya, salah satu momen yang menyenangkan dalam pertunjukkan film adalah diskusi yang muncul setelah film tayang. Di sosial media, ramai orang memperbincangkan Joker. Ada yang menganggap film Joker bisa memberikan pengaruh buruk terhadap penonton. Ada pula yang ramai memperbincangkan “orang jahat terlahir dari orang baik yang disakiti”. Ada juga yang fokus menyalahkan Fleck yang gagal beradaptasi dengan lingkungannya. Ada juga yang lebih concern terhadap isu mental illness. Beberapa bahkan mengaitkan Joker dengan pengalaman pribadi yang mereka punya. Bagi saya, diskusi ini penting dan menarik untuk disimak.

Dari sekian banyak isu yang dibicarakan, saya tertarik pada isu bullying yang direpresentasikan oleh karakter Fleck. Fleck yang mengalami depresi serta schizofrenia tidak mendapat perlakuan baik dari lingkungan hidupnya. Film bahkan dibuka dengan adegan Fleck yang dirundung pemuda-pemuda tanggung di jalanan. Alat kerjanya diambil. Dia dipermainkan, dipukul, bahkan ditendang bertubi-tubi oleh para pemuda itu. Kepala perusahaan tempat Fleck bekerja juga tidak memperlakukannya dengan baik. Rekan kerjanya bahkan menjebak Fleck agar mendapatkan citra buruk. Belum lagi sikap tidak menyenangkan dari Thomas Wayne, figur yang digadang baik hati oleh ibu Fleck. Ditambah lagi orang-orang berjas yang memukuli Fleck di kereta serta polisi yang terus-terusan menguntitnya, tekanan hidup Fleck seakan tidak habis.

Perundungan adalah aksi yang sangat berbahaya. Efeknya tidak hanya dirasakan mereka yang disiksa, tapi juga para penyiksa. Dilansir dari stopbullying.gov, anak kecil yang dirundung bisa menderita gejala depresi, ketakutan berlebihan, terus-terusan merasa sedih dan sepi, siklus hidup kacau, dan kehilangan daya hidup. Gejala ini bahkan bisa terus berlangsung sampai dewasa. Efek paling ekstrim, korban perundungan bisa saja mengakhiri hidupnya sendiri!

Semakin lama ditekan, korban perundungan akan melakukan pemberontakan. Bisa jadi dia berontak ke dalam, bisa jadi berontaknya keluar. Berontak ke dalam bisa dilakukan dengan melukai dirinya sendiri. Di titik puncak bahkan bisa bunuh diri. Berontak keluar bisa dilakukan dengan melukai orang lain.

Contohnya sudah banyak. Di Amerika, beberapa kali terjadi aksi siswa sekolah melepaskan tembakan beruntun ke murid-murid lain. Usut punya usut, si pelaku penembakan sebelumnya di-bully oleh teman-temannya. Maka dari itu, isu perundungan mendapat perhatian banyak dari pemerintah Amerika Serikat.

Joker membuat saya terpelatuk akan bahaya perundungan. Gambaran yang disajikan Phillips bersama timnya begitu menakutkan. Fleck yang sepanjang film terlihat lemah, di akhir cerita bisa menjadi liar dan bengis. Isu bullying yang masih kerap terjadi, ditambah kejadian-kejadian miris yang mengiringi, membuat saya terasa terhubung dengan film Joker. 

Merundung karena Berbeda

Saat mulai memikirkan tulisan tentang Joker, tiba-tiba pikiran saya terlempar di tahun 2016. Ketika itu, saya ikut sebuah acara perkumpulan pemuda antarumat beragama. Acara ini dihelat di Bogor, Jawa Barat. Berbagai anak muda dengan latar belakang suku dan agama hadir di sini. Selama dua hari, kami diajak menyimak materi tentang toleransi dan bahaya radikalisme. Kami juga diajak memikirkan strategi untuk menangkal kebencian yang tidak ada habis-habisnya muncul di Indonesia.

Di acara tersebut, saya berkenalan dengan pemuda asal Bandung. Sebut saja namanya Fulan. Orangnya sedikit bicara dan terlihat pemalu. Si Fulan ini menganut kepercayaan Baha’i. Kepercayaan yang dia serta orang tuanya pilih berbeda dengan kepercayaan yang dianut keluarga besarnya.

Fulan bercerita, karena pilihan kepercayaan ini, dia beserta orang tuanya mengalami konflik dengan keluarga besarnya. Mereka dipandang sebelah mata, dijauhi, bahkan disisihkan dari rumahnya karena memilih jalan yang berbeda. Keluarganya menganggap mereka aib. Fulan yang ketika itu masih kecil menerima perlakuan yang begitu menyesakkan, diusir dan dianggap asing oleh orang-orang yang memiliki pertalian darah dengannya.

Namun, Fulan yang ada di depan mata saya saat itu tidak tampak seperti orang yang menyimpan dendam. Dengan kehadirannya di forum antarumat beragama, saya melihat upaya Fulan untuk berdamai dengan masa lalunya. Dia tidak antipati terhadap orang lain yang memiliki kepercayaan sama dengan keluarga yang mengusirnya. Bahwa apa yang menimpanya bukanlah kesalahan dari ajaran agama lain. Dia percaya bahwa semua agama mengajarkan perdamaian. Dia yakin, hidup selaras dengan mereka yang berbeda bisa dan harus dilakukan.

Saya kembali berpikir. Memang benar, ada yang salah dengan saudara-saudara seiman saya. Banyak di antara mereka yang dengan sadar membangun jarak yang lebar kepada siapa saja yang tidak sepaham. Ucapan semacam kafir, munafiq, fasiq, najis, ahli neraka, kerap telontar dari mulut dan jari saudara-saudara seiman saya.

Saya teringat Fulan, dan di waktu yang hampir bersamaan terngiang Joker. Apakah banyak orang yang berbesar hati seperti Fulan? Memaafkan orang-orang yang merundungnya, dan memilih untuk berdamai dengan mereka. Atau, malah lebih banyak orang yang seperti Joker? Menyimpan dendam dan benci terhadap orang yang menjatuhkannya.

Joker menyadarkan saya akan bahaya besar perundungan. Fulan menunjukkan saya manfaat besar memaafkan. Sekarang tinggal memilih yang mana, mau menjadi Fulan atau Joker?
 
 
Penulis adalah Santri dan Penikmat Budaya Pop.
 
--------------
Artikel ini diterbitkan kerja sama antara NU Online dengan Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kemkominfo