Opini

Ka’bah Mean Time

Kam, 12 Juli 2007 | 07:54 WIB

Selama ini garis awal waktu (day date line) kita berkiblat ke Inggris. Kota Greenwich, yang letaknya dekat London, ditetapkan sebagai bujur 0 atau disebut Greenwich Mean Time (GMT). Setiap 15 derajat dari sana dihitung berbeda 1 jam dalam hitungan 24 jam. Perhitungan hari pun bermula dari bujur yang berjarak 180 derajat dari Greenwich.

Kenyataan ini dirasa patut mengusik kesadaran umat Islam, sekurang-kurangnya bagi keperluan ritual atau ibadah, untuk bersepakat menetapkan Ka’bah sebagai kiblat penetapan waktu; Ka’bah Mean Time. Caranya, kota Mekah yang terletak pada 40 derajat bujur timur itu ditetapkan sebagai bujur 0 derajat. Sehingga 180 derajat dari Mekah, yakni 140 derajat bujur barat dari Greenwich, ditetapkan sebagai garis awal batas tunggal. Dengan demikian, umat Islam sedunia dapat, misalnya, merayakan Idul Fitri atau Idul Adha pada hari yang sama.

Anda<>ikan ide ini bisa diwujudkan, tentu Ka’bah kita akan semakin populer --meski sebenarnya tanpa itu pun, Ka’bah kita itu sudah jauh lebih populer dibanding dengan kota Greenwich. Hanya saja persoalannya, apa benar penetapan Ka'bah sebagai bujur 0 derajat akan berdampak positif bagi keperluan ritual, misalnya umat Islam sedunia bisa berhari raya pada hari yang sama?

Orang yang mengerti bahwa bola Bumi ini bulat dan mengerti bahwa umat Islam ada di mana-mana di seantero belahan Bumi yang bulat ini, tentu sulit mencema uraian tersebut di atas. Apakah hanya dengan menggeser day date line sejauh 40 derajat ke arah timur, atau lebih awal 2 jam 40 menit dari yang berlaku sekarang, umat Islam akan bisa berhariraya pada hari yang sama?

Orang yang memiliki sekelumit pengetahuan tentang ilmu falak atau ilmu hisab yang mengetahui bahwa awal bulan Hijriyah ditentukan berdasarkan kemunculan hilal di atas ufuk barat dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan day date line (garis batas tanggal) itu tadi, tentu akan geleng-geleng kepala menyimak ide Ka’bah Mean Time ini. Pindah-pindahkanlah posisi day date line itu ke mana suka, umat Islam di mana pun di belahan Bumi ini tidak akan pernah bingung tentang kapan saatnya mereka berhariraya karena pedoman untuk itu sudah konkret.

Umat Islam di satu belahan Bumi tertentu yang belum mengalami terbit hilal tidak akan memaksakan diri untuk berhariraya pada hari yang sama dengan umat Islam di belahan Bumi lain yang telah lebih dahulu mengalami terbit hilal. Sebab, Nabi SAW tidak memberi petunjuk demikian. Sedangkan sunnatullah mengenai gerakan bulan pada lintasannya mengakibatkan belahan bumi yang pertama kali mengalami terbit hilal selalu berubah setiap bulan.

Seandainya ide tentang Ka'bah Mean Time (KMT) ini bisa diterima secara internasional, kita umat Islam tentu saja ikut bangga. Kendati rasanya agak utopis, tetapi mari kita tunggu saja! Wallahu a'lam.

KH Abdul Salam Nawawi
Ketua Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU) Jawa Timur