Opini

Kasus Ahok dan Kesadaran Hukum Kita

NU Online  ·  Ahad, 4 Desember 2016 | 10:00 WIB

Kasus Ahok dan Kesadaran Hukum Kita

Ilustrasi (aktual.com)

Oleh Achmad Faiz MN Abdalla

Sejak hebohnya ucapan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di Kepulauan Seribu, September lalu, negara ini menghadapi pekan-pekan yang melelahkan. Puncaknya adalah aksi unjuk rasa besar-besaran pada 4 November lalu menuntut pengusutan Basuki yang diduga menista agama. Aksi jilid selanjutnya pun kembali diselenggarakan pada 2 Desember. Perdebatan di tengah masyarakat mengenai kasus dan aksi tersebut pun tak terelakkan, terutama di media sosial.

Setelah melalui proses penyelidikan, Basuki pun akhirnya ditetapkan sebagai tersangka. Kepolisian menjanjikan proses hukum yang independen dan transparan. Kasus tersebut bahkan sudah diserahkan ke Kejaksaan dan telah dinyatakan P21. Karena itu, pekan-pekan ke depan diharapkan terbangun kembali suasana kondusif, melupakan pekan-pekan yang sangat melelahkan. Masih banyak hal yang harus diselesaikan, persoalan bangsa dan negara yang harus dihadapi bersama. Semua elemen bangsa harus bersatu.

Namun kasus dugaan penistaan agama tersebut menyisakan persoalan bernegara kita dewasa ini. Semacam terdapat ketidaksatuan pandangan tentang bernegara. Negara Indonesia yang didirikan bersama, memiliki kesepakatan bersama yang tercantum dalam Pancasila dan Konstitusi. Nilai dan prinsip yang terkandung di keduanya tersebut lalu dijabarkan pada perangkat peraturan perundang-undangan di bawahnya. Konsep bernegara inilah yang harus kita pahami bersama.

Indonesia merupakan negara hukum di mana supremasi hukum menjadi dasar, berlaku untuk semua, tidak diskriminatif, dan memberi keadilan. Sederhananya, negara hukum ialah negara di mana hukum adalah panglima. Dalam kasus penistaan agama yang dituduhkan pada Basuki tersebut, menyisakan kesan bahwa konsep negara hukum tersebut tidak sepenuhnya dimengerti oleh banyak kalangan.

Secara sistematis, Basuki sudah dinyatakan bersalah. Di media sosial, banyak ditemukan pernyataan yang telah mengambil hukum ke tangannya. Intinya, Basuki sudah bersalah tanpa proses peradilan yang menyatakan ia bersalah. Ketika proses penyelidikan sedang dijalankan, tuntutan disuarakan dengan lantang bahwa basuki harus ditersangkakan dan ditahan. Penetapan tersangka dan penahanan seperti menjadi keharusan, bahkan juga harus dinyatakan tidak bisa mengikuti Pilkada.

Di sinilah, seperti yang dikatakan Todung Mulya Lubis di harian Kompas (25/11), kasus ini menjadi studi kasus yang menarik tentang negara hukum. Negara ini memiliki prosedur hukum acara yang harus ditegakkan secara mandiri dan bebas dari intervensi pihak mana pun. Hukum tidak boleh tunduk menyesuaikan tekanan sebagian kelompok. Karena itu, sikap warga negara yang bijak terhadap proses hukum ialah mengawal proses tersebut.

Mengawal proses hukum ialah menghormati proses hukum. Kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan yang oleh undang-undang diberi kewenangan untuk menegakkan hukum harus diberi kesempatan untuk menyelesaikan kasus tersebut. Tindakan penahanan misal, haruslah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Bukan karena tekanan kelompok tertentu. Karena itu, mengawal tidaklah mengambil hukum berada di tangannya. Apapun hasilnya nanti, maka mari kita hormati bersama. Bila tidak menghormati, memaksakan kehendak untuk hasil sebuah proses hukum, itu bukanlah mengawal, melainkan memaksa.

Hukum negara kita disarikan dari nilai-nilai yang terkandung dalam berbagai kaidah yang hidup di negara ini, termasuk kaidah agama. Intinya, hukum negara kita ialah kesepakatan bersama. Karena itu, perbuatan warga negara yang dinilai melanggar kaidah tertentu dalam perspektif sebagian kelompok, tidak otomatis berarti melanggar kaidah hukum negara. Misalkan saja Fatwa MUI, ia tidak otomatis menjadi rujukan untuk menentukan bersalah atau tidaknya seseorang atas perbuatannya dalam proses peradilan pidana negara. Bilapun ia digunakan di peradilan, sifatnya merupakan pertimbangan. Tidak mengikat.

Dalam menyelesaikan perkara pidana, negara kita merujuk ke KUHP dan peraturan perundangan-undangan lain di luar KUHP. Apakah seseorang dapat ditentukan melakukan tindak pidana atau tidak, sumber hukum materielnya ialah KUHP. Nah, untuk menegakkan hukum materiel tersebut, prosedur hukum acara dibuat dan diatur dalam KUHAP. Ada prosedur tertentu yang harus dilalui untuk menyatakan seorang bersalah. Selama putusan pengadilan belum menyatakan bersalah, maka berlaku asas praduga tak bersalah.

Meneguhkan Pancasila dan Demokrasi


Indonesia dikenal karena keberagamannya. Sejarah panjang berdirinya menunjukkan bahwa Indonesia sangat identik dengan kemajemukan. Karena itu, negara harus mengakomodir semua unsur bangsa, bukan sekedar kalangan tertentu. Kebersamaan, itulah yang harus dikedepankan dalam membangun wawasan kebangsaan kita. Berangkat dari keadaan tersebut, maka Pancasila harus diteguhkan sebagai dasar bernegara.

Sistem pemerintahan yang kita gunakan ialah demokrasi. Untuk itu, semua masalah bangsa harus diselesaikan dengan cara bermartabat melalui instrumen demokrasi. Banyak pihak yang menyebut, proses hukum kasus Basuki tersebut akan menjadi ujian kedewasaan kita dalam berdemokrasi dan menghormati hukum. Ketika mobilisasi massa digunakan untuk menekan proses peradilan, maka patut diduga, demokrasi kita belum terkonsolidasi dengan baik. Sebaliknya, pemerintah harus menjamin proses hukum yang adil dan berintegritas untuk mematangkan demokrasi.

Demokrasi menuntut penghormatan atas tegaknya supremasi hukum dan konstitusi. Kepercayaan pada sistem hukum dan peradilan juga menunjukkan kuat tidaknya bangsa Indonesia pada sistem demokrasi itu sendiri. Karena itu, hukum tidak boleh menjadi ekspresi kelompok mayoritas atau kelompok tertentu, apalagi untuk menekan kelompok minoritas atau kelompok tertentu. Indonesia sebagai negara hukum, memiliki tujuan yang tertera dalam Pembukaan UUD 1945, di antaranya yakni, melindungi segenap bangsa Indonesia, apapun agamanya, sukunya, atau rasnya.


Penulis adalah pelajar NU Gresik