Opini

Kemandirian yang Seperti Apa?: Pergulatan NU menuju Kemandirian Politik dan Ekonomi

Ahad, 19 Desember 2021 | 06:00 WIB

Kemandirian yang Seperti Apa?: Pergulatan NU menuju Kemandirian Politik dan Ekonomi

Apa sebenarnya yang dimaksud kemandirian? Apa arti penting kemandirian bagi sebuah organisasi masyarakat sipil seperti NU? Kemandirian dalam hal apa?

Oleh Muhammad Mustafid

Muktamar NU ke-34 di Lampung mengusung tema besar: Kemandirian NU Berkhidmah untuk Peradaban. Kemandirian adalah sebuah cita-cita adiluhung. Pepatah klasik dalam khasanah pesantren, al-I’timad bin nafsi asasun najah (kemandirin, berdikari, berpijak pada kekuatan sendiri adalah asas keberhasilan), menjadi slogan penting hidup santri.


Meski tampak tidak terlalu ambisius, namun bukan berarti dapat diwujudkan dengan mudah. Alih-alih pada tataran praksis, hal pertama yang perlu dirumuskan terlebih dahulu adalah konsepsi kita tentang kemandirian itu sendiri. Sebab tanpa rumusan yang jelas dan konkret tentang apa itu yang dimaksud dengan kemandirian, maka akan sulit pula menjabarkannya dalam agenda dan rencana program yang konkret dan terukur. 


Apa sebenarnya yang dimaksud kemandirian? Apa arti penting kemandirian bagi sebuah organisasi masyarakat sipil seperti NU? Kemandirian dalam hal apa? Apa saja tolok ukurnya dan bagaimana cara mencapainya? Oleh karena itulah, konsep kemandirian ini perlu dipertegas lagi agar bahasannya lebih spesifik.


Dari berbagai diskusi informal maupun formal, konsep kemandirian yang dimaksud masih kabur. Dalam konteks ke-NU-an, kemandirian yang dimaksud apakah merujuk pada NU sebagai jam'iyyah, Jamaah, atau keduanya? Kemandirian dalam konteks apa? Sektor apa? Di mana ranah peran NU, dan di mana ranah peran negara, dan bagaimana kolaborasi keduanya?


Kemandirian: Ekonomi dan Politik

Jika konsepnya adalah jam'iyyah, maka akan lebih baik dikerucutkan pada dua  isu penting: kemandirian ekonomi dan kemandirian politik. Ini adalah dua variabel pokok kemandirian. Aspek lain merupakan variabel ikutan. Tinggal merumuskan definisi operasional kemandirian ekonomi dan politik, pra-syarat dan pilarnya, modal sosial ekonomi yang dimiliki, dan strategi mewujudkannya. Jika secara ekonomi mandiri, maka NU akan dengan mudah mengeksekusi agenda-agenda strategisnya, di bidang pendidikan, kebudayaan, pesantren, dan lainnya. 


Jika secara politik NU berdaulat, independen, tidak terjebak dalam politisasi “recehan”, dan bisa “menjaga jarak”, maka NU akan mudah dalam membuat kebijakan kebijakan strategis, mempengaruhi kebijakan publik, dan tidak mudah terombang-ambing dalam tarikan politik praktis, day to day politics. Dari situlah kemudian NU akan bisa lebih kontributif dalam memandirikan jamaah dan kemudian berkhidmah untuk agama, masyarakat, bangsa dan dunia. 


Apa yang dibutuhkan agar NU mandiri secara ekonomi? Modal sosial ekonomi apa saja yang dimiliki? Potensi dan kekuatan ekonomi apa saja yang ada? Bagaimana mengolahnya?


Sementara kemandirian politik mengandaikan keberdaulatan secara politik. Oleh karena itu, permasalahan pertama yang perlu dijawab adalah apa yang dibutuhkan agar NU berdaulat secara poltik? Tata kelola politik seperti apa yang dibutuhkan? Bagaimana agar NU bukan hanya menjadi komoditas politik? Namun menjadi konsolidator politik aktor-aktor strategis NU yang efektif? Bagaimana agar NU benar-benar terlibat dalam track siyasah samiyah, politik luhur, politik kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan, politik strategis?


Jamaah, Jam’iyyah, dan Kolaborasi Multihelix

Jika jamaah, maka konsep kemandirian beririsan dengan posisi dan peran negara. Sebagai jamaah, nahdhiyin adalah bagian terbesar dari warga negara NKRI. Artinya, mendorong kemandirian jamaah beririsan dengan tugas negara menciptakan kedaulatan ekonomi dan politik bagi warga negara. Maka, NU perlu memperjelas, agenda strategis ke dalam (dalam memandirikan jamaah) dan ke luar (memetakan dan mendorong peran negara dalam mewujudkan kemandirian ekonomi rakyat, kedaulatan ekonomi bangsa).


Tema kemandirian energi jamaah nahdhiyyin misalnya, akan lebih strategis jika diarahkan dorongan ke kebijakan energi negara. Bagaimana NU efektif mengawal kebijakan energi yang berpihak pada kemaslahatan negara dan publik, misalnya terkait Pertamina, PLN, dan lainnya.  Kemandirian energi jamaah atau jam'iyyah agak sulit diformulasikan kecuali dalam konteks sumber daya energi alternatif dan terbarukan untuk komunitas. Ini pun masih membutuhkan peran negara, atau peran multihelix.


Begitu pula dalam bidang pemberdayaan perekonomian rakyat yang berkontribusi terhadap perluasan peluang usaha dan mata pencaharian di pedesaan sebagai basis warga nahdliyin. Apa pun bentuk atau wadahnya, baik UMKM, BUMDes, koperasi, ataupun kredit union, tentu membutuhkan legalitas sebagai syarat formal kelembagaan. Dengan kata lain, keberadaan mereka sebagai sebuah organisasi berbasis keswadayaan warga sekalipun, tetap membutuhkan pengakuan dan kehadiran negara untuk bisa berkembang.


Redefinisi Relasi NU-Negara

Dua contoh kasus demikian, mengisyaratkan bahwa yang dimaksud kemandirian dalam hal ini bukan berarti tidak bergantung pada atau tidak bersinggungan sama sekali dengan ranah kepentingan kelompok atau entitas lain, seperti negara (political society) atau dunia usaha-dunia industri (economic society).


Kemandirian dalam konteks ini, tampaknya lebih masuk akal jika dilihat sebagai suatu kondisi independen yang memungkinkan NU memiliki kontrol atau kendali penuh atas keputusan-keputusan strategis untuk mencapai tujuan dan cita-citanya sebagai sebuah organisasi masyarakat sipil berbasis keagamaan di republik ini. Bahwa tujuan dan cita-cita itu pada kenyataannya sejalan dengan tujuan dan cita-cita bernegara, maka upaya untuk mengembangkan berbagai bentuk kolaborasi strategis dengan para aktor (penyelenggara) negara tidak terhindarkan, atau bahkan diperlukan.


Tentu di sini berlaku hukum relasi kuasa yang akan turut menentukan dinamika hubungan kerja sama antara keduanya. Oleh karena itu, pertanyaannya, jika kemandirian NU sebagai sebuah jam’iyyah tidak bisa lepas dari peran entitas bernama negara, maka relasi seperti apa yang perlu dibangun?


Di sini, kita  harus keluar dari jebakan dalam perdebatan klasik tentang relasi negara dan masyarakat sipil (NU-negara); slogan-slogan besar seperti Pancasila Jaya, NKRI harga mati yang tidak operasional; sekaligus jebakan NU menjadi komoditas politik. Pendek kata, dibutuhkan “dekonstruksi politik NU” sekaligus “re-subtansialisasi-politik NU.” Gerak ganda ini lebih menekankan pada spirit subtansi, nilai, dan literasi politik. 


Tantangan kita adalah bagaimana menempatkan peran negara sesuai dengan ranah kewenangan dan sumber daya yang dimilikinya untuk mendukung pencapaian dan tujuan cita-cita NU. Terlebih, secara konstitusi, tujuan bernegara itu nyatanya sejalan atau beririsan belaka dengan tujuan NU sebagai organisasi masyarakat sipil: mencerdaskan kehidupan bangsa, menciptakan keadilan sosial, melindungi segenap tumpah darah Tanah Air Indonesia. Konsep-konsep itu sejalan seiring dengan maqashid syariah.


Oleh karenanya, sisi potensi dan kapasitas advokasi proses ekonomi politik NU perlu dielaborasi.  Sebab tanpanya, kemandirian dan keberdayaan teknis teknokratis ala daerah dan desa, misalnya, tidak akan mampu menghalau derasnya pembusukan dari atas (negara dan pemodal). Menjadi penting dipertimbangkan, reaktualisasi dan kontekstualisasi  peran organik dan transformatif NU yang sarat dengan nilai-nilai luhur  keulamaan dalam konteks relasi NU-Negara. 


Oleh karena itulah, reformulasi hubungan antara NU dan negara menjadi kebutuhan mendesak. Hubungan patron-klien harus digeser menuju pola hubungan yang kritis dalam bingkai demokrasi substantif, yang menjamin independensi, serta integritas intelektual dan moral organisasi sebesar NU.


Relasi NU-Politik yang hanya dimanfaatkan untuk kepentingan elite internal maupun eksternal, dijadikan legitimasi politik kebijakan yang tidak pro-rakyat (dekonstruksi politik), harus digeser ke peran-peran efektif dalam public policy making process yang berbasis nilai-nilai keadilan sosial.


Hal tersebut membutuhkan reformulasi tata kelola politik dan ekonomi jamaah-jam’iyyah. Dibutuhkan semacam komisi kebijakan publik dan strategis atau komisi etik untuk mengawal proses tersebut. Di ruang inilah data, analisis, dan arahan kebijakan untuk nahdhiyyin serta entitas decision makers dirumuskan, baik terkait kebijakan publik lokal, nasional, maupun internasional. Salah satu konsekuensi praksis tata kelola organisasinya, misalnya, aturan Rais Am, Katib Am, Ketua Tanfidziah dan Sekjen, tidak boleh merangkap jabatan birokrasi atau politik yang mengacaukan independensi organisasi seperti Ketua Umum MUI atau komisaris BUMN. 


Kombinasi Dua Strategis Dasar

Kembali pada permasalahan awal, dalam berikhtiar mewujudkan kemandirian NU sebagai sebuah organisasi, barang kali kita bisa mulai dengan mengelaborasi kemandirian komunitas nahdliyin seperti desa. Selama ini, memang ada semacam gap pemahaman atau cara pandang antara pemerintah dan sejumlah kelompok lain dengan organisasi masyarakat sipil dalam melihat kesejahteraan sebagai variabel utama kemandirian masyarakat dan strategi mewujudkannya. 


Pandangan sejumlah teknokrat ekonomi yang bertumpu pada prinsip-prinsip neoklasik berhasil mempengaruhi negara dalam memformulasi sebuah kebijakan dan program pembangunan kesejahtaraan yang berorientasi pada pertumbuhan berbasis pasar. Kebijakan ini bertumpu pada asumsi atau logika bahwa adalah tidak ada kemandirian atau kesejahteraan tanpa pertumbuhan ekonomi, dan tidak ada pertumbuhan ekonomi tanpa intervensi kekuatan pasar.


Kata kunci dari sistem pasar adalah kompetisi atau persaingan bebas dengan mengharamkan intervensi negara. Peran negara hanyalah sebagai regulator untuk memastikan sistem itu bekerja. Namun, akan segera kita ketahui siapa pemenang dalam permainan ini, yang tak lain adalah mereka yang memiliki sumber daya ekonomi politik atau kapital. 


Kerangka berpikir serupa inilah kira-kira yang melatarbelakangi kebijakan dan berbagai program yang memberi kemudahan dan stimulus dari pemerintah untuk secara jor-joran mendatangkan investasi ke setiap pelosok daerah hingga pedesaan, yang menjadi basis atau ruang hidup mayoritas nahdliyin, dalam sebuah paket kebijakan bernama kebijakan pro investasi. Pembangunan komunitas pedesaan membutuhkan investasi besar-besaran untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi kawasan dan membangun infrastruktur yang akan menopang pertumbuhan ekonomi yang disokong investasi tersebut. Di sini berlaku semacam “dalil”: infrastruktur untuk melayani kapital.


Dari uraian tersebut, maka dua strategis dasar yang harus didorong dalam memandirikan ekonomi adalah dengan penguatan ekonomi jamaah di satu sisi, dan advokasi kebijakan yang sesuai dengan roh konstitusi (keadilan, pemerataan). Kedua strategi dasar tersebut dilakukan secara pararel dan simultan. Entitas civil society bertugas pokok untuk pemandirian masyarakat sipil nahdliyin, sedangkan entitas political society memastikan kebijakan ekonomi bertumpu pada kemaslahatan rakyat. Tentu saja, kolaborasi dan sinergi keduanya dalam berbagai sektor dan front menjadi sebuah keniscayaan. 


Kemandirian Politik dan Ekonomi Masyarakat Basis

Dalam kaitannya dengan uraian di atas, dapat segera kita lihat bagaimana kemandirian politik memiliki keterkaitan erat dengan kemandirian ekonomi.


Pertama, dari sisi kemandirian politik. Warga desa sesungguhnya memiliki peluang untuk tidak kembali menjadi arena eksploitasi (penghisapan) sumber-sumber ekonomi oleh pihak swasta/korporasi. Warga desa dapat menggunakan forum musyawarah desa sebagai wahana deliberatif pengambilan keputusan strategis di tingkat desa yang memberi ruang bagi mereka untuk membahas dan menilai sejauh mana komunitas masyarakat desa dapat menerima kehadiran inventasi, dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat, keseimbangan ekosistem, dan tatanan sosial desa.


Dengan kata lain, musyawarah desa merupakan manifestasi kedaulatan politik komunitas desa yang menjadi benteng terakhir dalam menghadang keganasan ekspansi kapital yang didorong oleh kebijakan pro-investasi. 

 


Kedua, dari sisi kemandirian ekonomi, komunitas pedesaan barangkali memang membutuhkan rangsangan dari luar, seperti investasi, untuk berkembang dan memandirikan dirinya. Namun, seyogyanya hal ini tidak diupayakan dengan kebijakan yang justru menjauhkan komunitas dari cita-cita kemandirian tersebut. Selama ini, kita seringkali melupakan atau bahkan mengabaikan bahwa langkah pertama untuk membangun perekonomian desa dapat dilakukan dengan mengoptimalkan pengelolaan sumber daya yang ada (asset based community development).


Jika strategi serupa ini diambil, akan berdampak setidaknya pada dua hal. Pertama, menghindarkan desa dari jeratan ketergantungan terhadap kapital dari luar. Kedua, memastikan pengelolaan sumber daya dan potensi ekonomi desa tidak lepas dari kendali masyarakat desa. Kedua hal ini merupakan tolok ukur kemandirian sebuah komunitas dalam bidang ekonomi. 


Jalan kemandirian serupa itu, baik dalam bidang ekonomi maupun politik, jelas mengandaikan terpenuhinya sejumlah prasyarat.Berdasarkan pengalaman sejumlah organisasi, prasyarat utama untuk membangun kemandirian ekonomi adalah kapasitas organisasi itu sendiri.


Pertama, sejauhmana sebuah organisasi mampu mengelola dan mengoptimalkan sumber daya, potensi dan peluang yang dimilikinya.


Kedua, kapasitas yang terkait dengan daya tanggap atau sensitivitas dalam melihat dan merespon peluang dan tantangan di lapangan.


Ketiga, terkait dengan kemampuan organisasi dalam membangun jejaring dan kolaborasi guna mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya.


Minimnya jejaring dan pengalaman kolaborasi, serta kemampuan memperluas akses pasar bagi produk diciptakan, biasanya membuat sebuah komunitas atau organisasi mengalami kesulitan dalam mengoptimalkan pemanfaatan potensi yang mereka miliki. Namun, ini bukan situasi final. Diperlukan proses panjangdan kesetiaan pada prinsip-prinsip dasar dalam mewujudkan cita-cita organisasi untuk menjadi mandiri.

 


Adapun, kemandirian politik mengandaikan kedaulatan politik. Ini dapat kita lihat dari cara bagaimana sebuah organisasi mengelola kekuasaan yang dimilikinya, dan sejauh mana berbagai keputusan strategis dapat dirumuskan lewat suatu mekanisme deliberatif/pemufakatan segenap anggota tanpa intervensi pihak lain.


Kemudian, perhatian juga perlu diarahkan pada sejauh mana organisasi itu dapat menyuarakan dan memperjuangkan kepentingan anggotanya sesuai dengan prinsip dan cita-cita yang dirumuskan bersama. Saya kira hanya dengan cara itulah kemandirian politik dan ekonomi dapat terealisasi. Selebihnya, tergantung pada bagaimana kita bersetia pada dinamika proses yang dijalani.  Wallahu a‘lam bis shawab.


Muhammad Mustafid, Pengurus PP RMI-PBNU, Pengasuh Pesantren Mahasiswa Aswaja Nusantara Mlangi Yogyakarta, Sekretaris Yayasan Nur Iman (Konsorsium Pesantren-pesantren Mlangi) Yogyakarta.