Opini

Kiai Wahid Hasyim, Gus Dur, dan Teater

Ahad, 23 Februari 2020 | 12:15 WIB

Kiai Wahid Hasyim, Gus Dur, dan Teater

Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari (kanan), putranya, KH Wahid Hasyim (kiri) dan cucunya, Gus Dur (tengah)

Oleh Abdullah Alawi 
 
Semalam saya menonton tiga pementasan secara berturut-turut mulai Drama Malin Kundang, Tanah Air Mata, dan Akan Dibawa Kemana Negeri Ini. Tiga pementasan itu dibawakan siswa-siswi SMA Manggala yang satu kompleks dengan pondok pesantren Al-Istiqomah, Pacet, Kabupaten Bandung. Jadi, rata-rata para pemeran tiga pementasan itu adalah para santri.

Kiai Wahid dan Teater
Karena pesantren tersebut didirikan oleh seorang tokoh NU Jawa Barat, KH Ali Imron, saya teringat akan kiai-kiai NU terkait teater. Pertama, saya teringat akan KH Abdul Wahid Hasyim yang diabadikan dalam buku Guruku Orang-orang dari Pesantren karya KH Saifuddin Zuhri. Di dalam buku tersebut, Kiai Wahid secara jernih menjelaskan bahwa pemain teater sama dengan menjadi tentara yang bisa sama-sama berjuang untuk kemerdekaan Indonesia.

Kiai Wahid Hasyim menyampaikan hal itu kepada pemimpin teater Panca Warna, Djamaluddin Malik, yang kemudian dikenal publik sebagai pemilik Perseroan Artis Indonesia (Persari) dan merupakan tokoh NU hingga wafatnya. 

Percakapan Djamaluddin dan Kiai Wahid itu terjadi di Yogyakarta, saat ibukota Indonesia pindah dari Jakarta sejak 4 Januari 1946 hingga 28 Desember 1949. Saat itu wilayah Indonesia menyempit akibat perjanjian Renville pada 8 Desember 1947. Karena itulah kabinet Amir Syarifudin jatuh.
 
Dalam situasi seperti itu, ternyata perjuangan bukan hanya milik para laskar dan tentara, tapi juga para seniman, termasuk Pak Djamal, pria kelahiran Padang, 3 Februari 1917 ini. Ia bersama kelompok sandiwara Panca Warna, yang didirkannya pada tahun 1942 ini berkeliling hampir ke seluruh kota besar Indonesia. Tujuannya untuk membangkitkan semangat juang dan cinta Tanah Air. Daya jelajahnya tidak hanya di pulau Jawa, melainkan Sulawesi dan Kalimantan. 

Rupanya hal itu tidak memuaskannya. Pak Djamal bersama anak buahnya berniat menetap di Yogyakarta, turut mengangkat senjata dan terjun ke kelaskaran dan tentunya meninggalkan pentas sandiwara. 

Tapi niatnya ditolak Kiai Wahid. Ia punya pandangan lain tentang perjuangan. Menurutnya, berjuang tidak harus dengan senjata atau kelaskaran. Perlu ada yang berjuang di wilayah lain. Lagi pula anggota kelaskaran sudah sangat banyak.

“Tadinya anak buah saya bermaksud, jika sudah sampai di daerah Republik, rombongan akan membubarkan diri. Lalu kami menerjunkan diri dalam badan-badan perjuangan. Ada yang di Hizbullah (pimpinan KH Zainul Arifin) ada yang barisan pemberontakan rakyat (pimpinan Bung Tomo)  dan sebagainya,” ungkap Pak Djamal.

Saksi yang mendengar perkataan Djamaluddin Malik itu adalah KH Saifuddin Zuhri sendiri dan KH Fattah Yasin, laskar Hizbullah yang bergabung ke Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) sebagaimana tercatat di buku Guruku Orang-Orang dari Pesantren.

Pada saat itu Kiai Wahid menyampaikan bahwa orang-orang yang berjuang lewat seni, khususnya sandiwara, masih sangat kurang. Padahal itu amat penting dalam perjuangan besar. Dalam pandangan Kiai Wahid pementasan sandiwara bisa dijadikan tempat bertemunya orang-orang republiken (Indonesia) dan mengumpulkan senjata. 

Karena itulah Kiai Wahid menyarankan supaya Pak Djamal segera ke Jakarta, yang sudah dikuasai Belanda, karena kelompok sandiwara tidak akan dicurigia. 

Pandangan kiai jenius, putra rais akbar NU, Hadratusyekh KH Hasyim Asy'ari ini, diterima Pak Djamal. Dia pun memantapkan diri dengan berjuang terus lewat kelompok sandiwaranya. 

Di kemudian hari, setelah Kiai Wahid wafat (19 April 1953), Djamaludin melanjutkan minatnya dalam dunia kesenian dan budaya. Ia bersama Usmar Ismail dan Asrul Sani bergabung di Lesbumi. Lembaga di bawah naungan Nahdlatul ULama (NU) ini diresmikan KH Saifuddin Zuhri di Bandung pada 28 Maret 1962.   

Gus Dur dan Teater
Kedua, saya teringat pandangan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tentang teater. Putra Kiai Wahid ini dikenal sebagai kiai yang mengapresiasi dan melindungi seni tradisi, termasuk teater. 

NU Online pada edisi 11 Januari 2020 memuat cerita Putu Wijaya tentang Gus Dur pada sebuah gala wicara (talk show) di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, Jakarta Pusat saat perhelatan Federasi Teater Indonesia. 

Pada acara tersebut, kata Putu, ada seorang anak muda bertanya kepada Gus Dur yang saat itu duduk di panggung sebagai narasumber. Anak muda itu mempertanyakan perihal orang harus mempelajari drama. Menurut anak muda itu, drama merupakan kepura-puraan.  

“Kenapa kita harus belajar drama? Drama itu kan pembelajaran berpura-pura. Apakah generasi muda kita diharapkan akan tumbuh sebagai generasi yang pintar berpura-pura untuk menipu?" tanya anak muda tersebut sebagaimana dituliskan oleh Putu. 

Putu Wijaya kemudian menjelaskan jawaban Gus Dur saat itu. Menurut Gus Dur, drama sama sekali tidak mengajarkan kepura-puraan, tetapi justru belajar drama mengajak untuk mempelajari perilaku manusia. 

"Drama atau sandiwara tidak mengajarkan untuk meniru dan berpura-pura tetapi untuk mengajak bersungguh-sungguh mengamati dan mempelajari karakter orang lain, untuk kemudian mereflleksikannya di panggung guna pembelajaran perilaku manusia dan kehidupan kepada publik," kata Gus Dur.

Penulis adalah Nahdliyin kelahiran Sukabumi yang tinggal di sebuah desa di Kabupaten Bandung