Opini

Kritik Sayyid Usman soal Nasab dan Pandangannya tentang Ahlul Bait

Sab, 3 Juni 2023 | 13:00 WIB

Kritik Sayyid Usman soal Nasab dan Pandangannya tentang Ahlul Bait

Sayyid Usman bin Abdullah bin Yahya (dikenal dengan Sayyid Usman Batavia, 1822-1914 M). (Foto: Dok. istimewa)

Sayyid Usman bin Abdullah bin Yahya (dikenal dengan Sayyid Usman Batavia, 1822-1914 M) mengkritik bagi siapa saja yang menjadikan nasab sebagai instrumen kedekatan kepada Allah. Nasab memang menjadi suatu standar kemuliaan dalam ajaran Islam. Namun nasab bukan menjadi patokan seseorang terbebas dari dosa. Prinsip utama dalam keberagamaan seseorang adalah ketakwaannya kepada Allah Swt. Oleh sebab itu, Sayyid Usman juga mengomentari para oknum yang menipu orang lain melalui faktor kenasabannya.


Komentar Sayyid Usman ditunjukkan salah satunya melalui kitab berjudul Bunnah al-Jalis wa Qahwah al-Anis. Pada karyanya itu, Sayyid Usman mengutip beberapa ayat Al-Qur’an, hadis, dan pendapat para ulama terkait larangan seseorang yang sombong dalam nasab. Di antaranya QS Al-Mukminun ayat 101 dan QS Asy-Syu’ara ayat 214.


Pada ayat pertama, menurut Imam Jalaluddin al-Mahalli dalam kitab Tafsir al-Jalalain, ketika tiupan malaikat Israfil (sangkakala) yang pertama atau kedua, tiada lagi pertalian nasab yang dapat mereka bangga-banggakan. Tidak pula mereka saling bertanya tentang pernasaban tersebut, disebabkan kengerian yang menyibukkan diri mereka pada hari kiamat itu.
Sedangkan pada ayat kedua, Sayyid Usman menjelaskan bahwa tatkala ayat ini turun, Rasulullah memanggil para suku Quraisy dan meminta mereka untuk menyelamatkan diri mereka masing-masing dari api neraka. Kemudian Rasulullah bersabda:


يا فاطمة بنت محمد يا صفية بنت عبد المطلب يا بني عبد المطلب لا أملك لكم من الله شيئا غير أن لكم رحما سأبُلُّها ببلالها 


Artinya: “Wahai Fatimah binti Muhammad, wahai Safiyah binti Abdul Muthalib, wahai Bani Abdul Muthalib, aku tidak bisa melindungi kalian sedikitpun dari siksa Allah, hanya saja kalian memiliki rahim (kerabat) yang aku akan terus jalin silaturahminya (di dunia).” (Sayyid Usman bin Yahya, Bunnah al-Jalis wa Qahwah al-Anis, [Batavia, Syawal 1314 H], halaman 42).


Tidak hanya itu, Sayyid Usman bahkan mengkritik para Ahlul Bait yang merasa aman dengan kefasikan sebab berpegang pada keshalehan bapaknya. Dalam hal ini, ia mengutip ungkapan Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumiddin, yaitu:


وقال الإمام الغزالي رضي الله عنه في الإحياء وربما كان مستند رجائهم التمسك بصلاح الآباء وعلوِّ رتبتهم كاغترار العلوية بنسبهم ومخالفتهم سيرة آبائهم في الخوف والتقوى والورع وظنهم أنهم أكرم على الله من آبائهم إذ آباؤهم مع غاية الورع والتقوى كانوا خائفين وهم مع غاية الفجور والفسق آمنون وذالك نهاية الإغترار بالله انتهى


Artinya: “Imam al-Gazali berkata, boleh jadi mereka yang menyandarkan harapan dengan berpegang pada kesalehan dan ketinggian derajat bapak-bapak mereka, seperti tertipunya (sebagian) keturunan Alawiyah dengan nasab mereka tapi bertentangan dengan perilaku bapak-bapak mereka dalam ketakutan, ketakwaan, dan kewarakan kepada Allah, dan menduga bahwa mereka lebih mulia di sisi Allah dari bapak-bapak mereka. Padahal bapak-bapak mereka dengan derajat kewarakan dan ketakwaan yang tinggi, tetap merasa takut (akan siksa Allah). Sedangkan mereka dengan perilaku yang amat keji dan fasik, tetap merasa aman. Boleh jadi hal tersebut adalah puncak tipuan kepada Allah Swt.” (Yahya, Bunnah al-Jalis wa Qahwah al-Anis, halaman 43. Lihat Juga, Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, ‘Kitab Dzam al-Ghurur’, [Dar Ibn Hazm, Lebanon, 2005], halaman 1303).


Menasihati Ahlul Bait yang menyimpang adalah bentuk mahabbah

Bagaimanakah mewujudkan kecintaan, apakah dengan bentuk menaati semua perilaku para Ahlul Bait, termasuk perihal maksiat? Pembahasan ini jika tidak dipahami secara komprehensif, maka akan terjebak dalam fanatisme kesukuan. Sayyid Usman menyadari hal tersebut dan tidak membatasi masalah ini dalam persoalan cinta saja, atau bahkan mewujudkan cinta itu dengan ketaatan secara absolut. Sebab, salah satu cara mencintai Ahlul Bait adalah menunjukkan sikap hormat dan akhlak kepada mereka.


Sedangkan salah satu cara melaksanakan rasa hormat kepada Ahlul Bait adalah membimbing mereka ke jalan yang benar. Menurut Sayyid Usman, jika seorang Ahlul Bait itu jahil atau melanggar syariat, maka tidak harus diikuti kelakuannya tersebut. Tapi, yang perlu diingat adalah jangan sampai membenci pada pribadi (zat) mereka. Justru, wajib bagi umat Islam untuk memberi nasihat padanya supaya ia menuntut ilmu dan mengikuti perilaku para nenek moyangnya.


Sayyid Usman berkata:

من أفضل المودّة لأهل البيت الذي يفرح به النبي صلى الله غليه وسلم هو إرشادهم إلى فعل الطاعات وترك المعاصي كذا ذكره شيخنا الحبيب عبدالله بن عمر بن يحيى في رسالته تذكرة المؤمنين بحقوق ذرية سيد المرسلين


Artinya: “Di antara bentuk kecintaan kepada Ahlul Bait sebagaimana yang disenangi Nabi Muhammad Saw adalah membimbing mereka kepada jalan taat kepada Allah dan tinggalkan maksiat. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh guru kami Habib Abdullah bin Umar bin Yahya dalam karyanya Tazkirah al-Mukminin.” (Sayyid Usman bin Yahya, Mir’ah al Haq wa al-Inshaf fi Huquq al-Sadah al-Asyraf, halaman 10).


Bahkan, Sayyid Usman menegaskan bahwa dengan memberi nasihat kepada para Ahlul Bait itu lebih besar manfaatnya dan suatu hal yang sangat disukai oleh Rasulullah Saw. Dalam hal ini, Sayyid Usman menukil pendapat seorang ulama dari kitab al-Durar al-Naqiyyah:


وأعظم منفعة وأكرم لهم إعانتهم على تعلّم شرائع الإسلام وما جاء به جدّهم صلى الله عليه وسلم فمن أعانهم على ذالك وأرشدهم إلى تلك المسالك فقد تودّد إلى النبي صلى الله عليه وسلم بمودّة تآمّة يدرك بها شفاعته يوم الطامّة  


Artinya: “Bentuk manfaat paling besar dan paling mulia kepada para Ahlul Bait adalah menolong mereka dalam menuntut ilmu syariat dan mengikuti kelakuan kakek mereka (Nabi Muhammad Saw). Siapa saja yang menolong dan membimbing mereka atas hal tersebut, maka sungguh ia telah membuat budi yang amat besar kepada Rasulullah, yang menyebabkan ia mendapat syafaat di hari kiamat.” (Yahya, Risalah Dua Ilmu: Pada Menyatakan Perbedaan antara Dua Macam Ilmu dan Dua Macam Ulama, [Jakarta, Maktabah Attahiriyah, 6 Rajab 1382 H], halaman 30).


Sayyid Usman memiliki banyak karya tulis yang membahas perihal Ahlul Bait dan Habaib di Nusantara. Menurut Ahmad Fauzi Ilyas dalam artikel sanad media berjudul Sayyid Utsman Betawi dan Pengenalan Habaib di Nusantara (2020), setidaknya ada tujuh judul yang ditulis secara khusus tentang tema tersebut, yaitu:


(1) Mir’ah al Haq wa al-Inshaf fi Huquq al-Sadah al-Asyraf (cermin kebenaran tentang sejumlah hak yang dimiliki para Habib yang mulia, 1331 H); (2) Hadis Keluarga: Terhimpun di Dalamnya Hadis-hadis yang Dinukil dari Kitab-kitab Hadis yang Muktamad; (3) Qaul al-Haq bi al-Bashirah fi Anna al-Mujtari’ Khabis al-Sarirah (ucapan yang benar bahwa berani –menyakiti para Habaib- adalah orang yang buruk perangainya, 1331 H.); (4) Hadzihi al-As’ilah Allati Waradat ala al-Sayyid Utsman wa Thuliba minhu al-Jawab (kumpulan fatwa Sayyid Utsman atas beberapa pertanyaan yang diajukan kepadanya, 1310 H); (5) Simt al-Syudzur wa al-Jawahir fi Hall Takhsis al-Nuzur li al-Sadah al-Athahir (kalung emas dan mutiara, perihal dibolehkan memberikan kepada para Sayid/Habib agar terpenuhi sebuah nazar, 1294 H); (6) Al-Silsilah al-Nabawiyah fi Asanid al-Sadah al-Alawiyah ila Jaddihim al-Mustafa Khair al-Bariyah Shallallahu ‘alaihi Wasallam (genealogi Habaib sampai kepada kakek mereka, Nabi Muhammad Saw, 1301 H); (7) Dzikr Masyayikh al-Mu’allif alladzina Akhadza ‘anhum al-Ilm Qira’atan wa Talaqqiyan wa Ijazatan wa Tabarrukan min al-A’immah al-Mursyidin al-Masyhurin (para guru penulis yang dari mereka diperolah ilmu, baik secara qira’ah, talaqqi, ijazah, dan keberkahan).


Dari sekian karya tersebut menunjukkan perhatian Sayyid Usman terhadap Ahlul Bait dan Habaib di Nusantara. Dengan begitu, tidak heran Azyumardi Azra (w. 1955-2022) menetapkan bahwa Sayyid Usman adalah ulama pertama yang memperkenalkan tentang ke-Habib-an di Nusantara. Penekanan itu patut disampaikannya sebagai seorang ulama yang sekaligus mendapat pangkat mufti Batavia, karena sangat penting bagi umat Islam untuk hormat dan cinta (mahabbah) kepada Ahlul Bait Nabi Muhammad Saw. Sebab, hormat dan cinta kepada Ahlul Bait adalah kewajiban yang sudah ditetapkan oleh Al-Quran, Hadis, dan Ijma para ulama.


Sebut saja kitab Mir’ah al Haq wa al-Inshaf fi Huquq al-Sadah al-Asyraf, ia mengatakan bahwa di antara bentuk kemungkaran adalah benci kepada Ahlul Bait Nabi Muhammad Saw yang mana telah Allah perintahkan kepada hamba-Nya untuk menaruh cinta (mahabbah) dan kasih sayang (mawaddah) kepada mereka. Kebencian itu ditunjukkan dengan bentuk merendahkan, menghina, mengganggu, dan menggiring manusia atas kebencian tersebut.


Sayyid Usman mengutip ungkapan gurunya yaitu Syekh Ahmad Dahlan dalam kitab Masyariq al-Anwar yang mengatakan:


إن كثيرا من الناس قد غفلوا عما خصّ الله تعالى به أهل البيت النبي صلّى الله عليه وسلم من الفضائل وأهملوا ما أوجب الله لهم من المحبّة التي أعظم الوسائل وربما أن بعض الناس ينكرون انتساب الحسن والحسين وذرّيتهما للنبي صلى الله عليه وسلم فيقعون في الحرج الموجب للإنتقام انتهى


Artinya, “Sesungguhnya banyak dari para manusia yang lalai dengan sesuatu yang telah Allah khususkan kepada Ahlul Bait Nabi Muhammad Saw berupa banyak kemuliaan, dan mereka mengabaikan akan ketetapan Allah untuk menaruh cinta kepada Ahlul Bait sebagai bentuk wasilah yang besar. Boleh jadi di antara manusia yang mengingkari pertalian Hasan dan Husain, dan pernasaban keduanya kepada Nabi Saw, maka mereka jatuh kepada dosa yang mewajibkan disiksa atasnya,” (Sayid Usman bin Yahya, Mir’ah al Haq wa al-Inshaf fi Huquq al-Sadah al-Asyraf, [Batavia, 18 Syawal 1331 H], halaman 4).

 

Sayyid Usman bin Abdullah bin Yahya (dikenal dengan Sayyid Usman Batavia, 1822-1914 M). (Foto: Dok. istimewa)

 

Ketetapan Allah untuk menaruh cinta kepada Ahlul Bait ditunjukkan Sayyid Usman dengan mengutip pada dua ayat: pertama QS Al-Ahzab ayat 33, kedua QS Asy-Syura ayat 23. Pada ayat pertama, Sayyid Usman menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Ahlul Bait adalah Nabi Muhammad Saw, Ali, Fatimah, Hasan dan Husain, dan mencakup pertalian nasab keduanya. Sedangkan pada ayat kedua, tatkala ayat ini turun, terdapat hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas, yaitu:


 قالوا يا رسول الله صلى الله عليه وسلم من قرابتك هؤلاء الذين وجبت علينا مودتهم , قال علي وفاطمة وابناهما


Artinya: “Mereka bertanya, wahai Rasulullah, siapa kerabatmu yang wajib bagi kami untuk menaruh cinta kepada mereka? Rasulullah bersabda: Ali, Fatimah, dan keturunan keduanya.” (HR Ahmad dan Thabrani)


Sayyid Usman juga menambahkan hadis yang diriwayatkan Zaid bin Arqam dalam kitab itu, Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya aku tinggalkan kepada kalian tsaqalain (dua hal berat), jika kalian berpegang padanya tidak akan tersesat setelahku. Satunya lebih besar dari yang lain: pertama, Al-Quran, tali Allah yang terbentang dari langit ke bumi; kedua, keturunanku. Tidak akan berpisah keduanya hingga datang telagaku (hari kiamat), maka lihatlah bagaimana kalian akan perbuat pada keduanya sesudahku.” (HR At-Tirmidzi)


Dalam mengomentari hadis ini, Sayyid Usman mengutip pendapat Ibn Hajar al-Haitami dalam Kitab al-Sawa’iq al-Muhriqah, yaitu:


وسمي القرآن وأهل البيت الثقلين لأن الثقل كل نفيس خطير مصون وهما كذالك إذ كل منهما معدن للعلوم الدينية والحكم العلية والأحكام الشرعية ولذا حث على الإقتداء والتمسّك بهم


Artinya: “Al-Quran dan Ahlul Bait dinamai dengan tsaqalain, karena tsaqal (perkara berat) adalah segala sesuatu yang berharga, terhormat, dan harus dijaga. Karena, keduanya itu merupakan sumber dari segala ilmu keagamaan, hikmah, dan hukum syariat. Dengan begitu, Rasulullah menganjurkan (umatnya) untuk selalu mengikuti dan berpegang pada mereka.” (Yahya, 7).


Sebetulnya, penegasan Sayyid Usman akan hal ini lebih utama ditujukan kepada kelompok Islam yang beraliran ekstrem seperti Khawarij dan Rafidhah. Bagi Sayyid Usman, kedua kelompok ini sudah menyimpang dari ajaran Islam yang benar. Khawarij berada di posisi anti Ahlul Bait, sedangkan Rafidhah anti kepada para Sahabat Nabi. Hal ini terlihat dalam beberapa karyanya yang banyak mengomentari mereka dengan kritikan tajam.


Misal pada karyanya berjudul Risalah Dua Ilmu: Pada Menyatakan Perbedaan antara Dua Macam Ilmu dan Dua Macam Ulama, Sayyid Usman mengutip ungkapan ulama Makkah yang akrab dengan Nusantara, Syekh Abdul Hamid bin Muhammad Ali Qadas bin Abdul Qadir al-Khatib (panggilan akrab: Syekh Abdul Hamid Kudus) dalam karyanya berjudul Irsyad al-Muhtadi. Komentar Syekh Abdul Hamid Kudus ialah:


فاحذر أيها المشفق على دينه أن تصغي إلى شيئ مما تختلقه الرافضة والخوارج في حق أحد من الصحابة وأهل البيت من الإفك والتنقيص فإن أهل السنة هم العارفون بما جاء في كتاب الله وسنة رسوله صلى الله عليه وسلم لا أولَئك المارقون الطاعنون في أحد منهم وقد ورد أحاديث دالّة على أن أولئك الطاعنين هم شر الخليقة وكلاب أهل النار  


Artinya: “Maka hindarilah diri kalian wahai orang yang menyayangi agamanya dari mendengarkan suatu cerita rekayasa yang dibuat oleh kelompok Rafidhah dan Khawarij, berupa dusta dan celaan atas hak para sahabat dan Ahlul Bait. Karena Ahlussunnah Wal Jamaah, mereka adalah orang-orang yang mengetahui kebenaran yang bersumber pada Al-Quran dan Sunnah Nabi Saw, bukannya menyesatkan dan menghujat salah satu dari mereka. Sungguh telah datang segala hadis atas orang-orang yang menghujat itu sebagai makhluk yang amat jahat dan anjing penduduk neraka.” (Abdul Hamid bin Muhammad Ali Qadas, Irsyad al-Muhtadi ila Syarh Kifayah al-Mubtadi, [tanpa tahun], halaman 104).


Kritik Sayyid Usman terkait pernasaban ini sangat jelas. memberikan ancaman bagi siapa saja yang sombong terhadap nasabnya, bahkan dari kalangan Ahlul Bait. Sayyid Usman juga menegaskan, saling menasihati dalam ketakwaan kepada Allah adalah prinsip yang tidak bisa dipisah oleh siapa pun. Karena, takwa adalah wasiat Allah yang merata kepada makhluk-Nya sampai hari kiamat. Termasuk Ahlul Bait, dengan menasihati dan membimbing mereka yang telah menyimpang dari kebenaran kepada jalan ketakwaan, adalah bentuk cinta (mahabbah) yang Allah perintahkan kepada umat Islam untuk mewujudkannya.


Soal ahlul bait, ada jaminan di dalam Al-Qur’an bahwa keturunan Rasulullah masih berlaku dan hal ini disepakati. Namun, di sisi lain, ada orang yang bukan keturunan Nabi Muhammad, tapi dianggap keluarga Nabi oleh Nabi, yaitu sahabat Salman al-Farisi. Sebagaimana diketahui, Salman al-Farisi bukan darah daging Rasulullah saw. Salman juga bukan keturunan suku Quraisy, melainkan orang Persia. Namun, Salman diakui Nabi Muhammad sebagai ahlul baitnya.


Ahmad Rifaldi, alumnus Pondok Pesantren Al-Awwabin Depok, Jawa Barat; Kontributor NU Online