Opini

Lebaran yang 'Fithri'

Sel, 4 Juni 2019 | 11:00 WIB

Lebaran yang 'Fithri'

Ketupat Lebaran (Adobe Stock)

Kuatnya upaya menyambung silaturrahim di momen Idul Fitri turut menciptakan tradisi mudik atau pulang kampung menjelang lebaran tiba. Berkumpul bersama keluarga, saudara, dan handai taulan di kampung kelahiran. Bahkan yang belum sempat pulang kampung menjelang lebaran karena tidak mendapatkan tiket mudik maupun masih harus bertugas di kota, mereka melakukannya pasca-lebaran.

Berbagai kuliner dan makan khas juga dikreasikan masyarakat Muslim Indonesia untuk menyambut datangnya hari raya Idul Fitri. Opor ayam, kupat (ketupat), kue lepat, dan makanan-makanan khas lainnya. Makanan khas tersebut juga bukan hanya sebatas makanan, tetapi mempunyai filosofi dan makna yang sangat dalam.

Seperti kupat yang mempunyai kepanjangan ngaku lepat. Bahasa Jawa tersebut mempunyai arti mengaku salah. Mengakui segenap kekhilafan, dosa, dan kesalahan merupakan hakikat kembali pada kesucian sesuai esensi Idul Fitri. Sebab itu, meminta maaf dan memberi maaf harus menjadi kesadaran bersama untuk memaknai hakikat Idul Fitri dalam arti yang sebenar-benarnya.

Dalam budaya umat Islam di Indonesia, Idul Fitri ini menyatukan berbagai unsur, yakni nilai-nilai agama, penguatan identitas bangsa, penumbuhan tradisi dan budaya positif melalui silaturrahim, serta peneguhan cinta tanah air yang diejawantahkan melalui tradisi mudik atau pulang kampung.

Dengan kata lain, muara dari hari kemenangan ini selain meningkatkan keshalehan spiritual, juga menguatkan keshalehan sosial sebagai tujuan utama manusia dalam beragama. Keshalehan sosial ini akan membentuk keterbukaan pola pikir, keluasan pandangan, tenggang rasa, dan toleransi terhadap seluruh umat manusia, apapun suku, etnis, budaya, ras, dan agamanya.

Memaknai Idul Fitri, Muhammad Quraish Shihab dalam Membumikan Al-Qur’an (1999) menjelaskan bahwa fithrah mempunyai tiga arti yaitu suci, asal kejadian, dan agama yang benar. Kalau memahami bahwa idul fitri kembali kepada kesucian, suci itu sendiri mempunyai tiga makna yaitu indah, baik, dan benar. Seseorang yang beridul fitri dia akan selalu menjaga keindahan dalam setiap aspek kehidupan, selalu berusaha mencari kebenaran, dan selalu menampilkan kebaikan.

Dalam hal ini, Nabi Muhammad SAW bersabda, Ad-Din Al-Muamalah. Nasihat menasihati dan tenggang rasa juga termasuk ajaran agama karena Nabi juga bersabda, Ad-Din Al-Nashihah. Dengan demikian, setiap yang ber-Idul Fitri harus sadar bahwa setiap orang dapat melakukan kesalahan; dan dari kesadarannya itu ia bersedia untuk memberi dan menerima maaf.

Fithrah yang juga berarti kesucian dapat dipahami dan dirasakan maknanya pada saat seorang hamba duduk merenung sendirian. Ketika pikiran mulai tenang, kesibukan hidup atau haru hati telah dapat teratasi, akan terdengar suara nurani yang mengajaknya berdialog, mendekat bahkan menyatu dengan suatu totalitas wujud Yang Maha Mutlak, yang mengantarnya untuk menyadari betapa lemahnya manusia di hadapan-Nya, dan betapa kuasa dan perkasanya Yang Maha Agung itu.

Suara yang didengar itu adalah suara fithrah manusia, suara kesucian. Setiap orang memiliki fithrah itu, terbawa serta olehnya sejak kelahiran, walaupun sering terabaikan karena kesibukan dan dosa-dosa sehingga suaranya begitu lemah hanya sayup-sayup terdengar. Suara itulah yang dikumandangkan pada Idul Fitri, yakni Allahu Akbar, Allahu Akbar.

Jika kalimat pengagungan Allah itu tertancap dalam jiwa, maka akan hilanglah segala ketergantungan kepada unsur-unsur lain selain Allah semata. Tiada tempat bergantung, tiada tempat menitipkan harapan, tiada tempat mengabdi, kecuali kepada-Nya. Ketika hal itu terjadi pada seseorang, terjadilah apa yang seperti dilukiskan oleh ulama kenamaan Ibnu Sina dalam Al-Isyarat wa Tanbihat (Disadur dari Abdul Halim Mahmud, Al-Tafkir Al-Falsafiy fi Al-Islam, Dar Al-Kutub Al-Lubnaniy, 1982) sebagai berikut:

Orang tersebut menjadi arif,  yang bebas dari ikatan raganya. Dalam dirinya terdapat ikatan yang tersembunyi, namun pada dirinya sendiri tampak sebagai sesuatu yang nyata. Ia selalu gembira, banyak senyum. Betapa tidak, sejak ia mengenal-Nya, hatinya dipenuhi oleh kegembiraan. Dengan melihat Yang Maha Suci, semua dianggapnya sama, karena memang semua makhluk Allah. Semua wajar mendapatkan Rahmat, baik yang taat maupun yang bergelimang dosa. Ia tidak akan mengintip-intip kelemahan orang, tidak pula mencari kesalahannya. Ia tidak akan marah, tidak pula tersinggung, walaupun melihat yang mungkar sekalipun, karena jiwanya selalu diliputi Rahmat dan kasih sayang, dan karena ia memandang keindahan, ia melihat sir Allah (rahasia Allah) terbentang ke dalam qudrat-Nya. Bila ia mengajak kepada kebaikan, ia akan melakukannya dengan lemah lembut, tidak dengan kekerasan, tidak pula dengan kecaman, kritikan yang melukai atau ejekan. Ia akan selalu menjadi pemaaf. Betapa tidak, sedang di dadanya sedemekian lapang, sehingga tidak ada tempat bagi kesalahan orang lain. Ia tidak akan menjadi pendendam. Bagaimana ia mampu mendendam, sedang seluruh ingatannya hanya tertuju kepada Yang Maha Suci lagi Maha Agung itu.

Seseorang yang ber-idul fitri juga seorang yang berilmu, karena kebenaran yang terkandung dalam makna suci merupakan buah dari pencarian ilmu. Ia juga bisa dikatakan sebagai seorang seniman karena mengekspresikan keindahan. Seseorang yang ber-idul fitri juga manusia budiman karena dengan berbuat kebaikan, ia merupakan seorang yang budiman.

Sebab itu, ketika seorang merayakan idul fitri, dia akan berusaha dalam semua kegiatannya agar menjadi benar, baik, dan indah. Pada hakikatnya ketika seseorang ber-idul fitri, umat Islam mengenakan pakaian takwa, pakaian yang mereka tenun selama bulan Ramadhan, sekaligus pakaian yang mestinya mereka pakai sepanjang waktu, khususnya setelah manusia menempa diri selama sebulan penuh berpuasa.

Dalam konteks ini, manusia harus mengingat pesan ilahi, “Janganlah kamu menjadi seperti seorang perempuan dalam cerita lama, mengurai kembali tenunannya, sehelai demi sehelai benang dalam tenunannya”.

Artinya, jangan sampai setelah mencapai fitri, kita melepaskan kendali sehingga kita kembali melakukan hal-hal yang tidak dibenarkan oleh agama. Dengan memasuki idul fitri atau dengan memasuki bulan syawal yang artinya meningkat, manusia diharapkan meningkatkan segala keindahan, kebenaran, kebaikannya, dan meningkatkan ilmunya. Demikianlan makna kesyukuran kepada Allah SWT dan makna di balik hakikat idul fitri. (Fathoni)