Opini

Mayoritas Buruh Migran Itu Nahdliyin

Sab, 27 November 2004 | 04:31 WIB

Oleh Wahyu Susilo

BAGI Nahdlatul Ulama, tahun 2004 merupakan tahun sibuk. Selama tiga putaran kampanye Pemilu 2004
(legislatif, pilpres tahap I, dan pilpres tahap II), NU menjadi pangsa dan arena politik.

<>

Maka, dalam Pemilu 2004, dinamika dan iklim politik di
tubuh NU meningkat. Konflik antara Abdurrahman Wahid
(Gus Dur) dan Hasyim Muzadi terjadi dalam pencalonan
presiden dan wapres. Kegagalan dalam pentas politik
berdampak pada keutuhan NU. Muktamar NU, 28 November-2 Desember 2004, menjadi momen penting untuk mengevaluasi kiprah politik NU dan diharapkan
merumuskan kembali khitahnya sebagai organisasi
masyarakat sipil seperti yang dicita-citakan kaum muda
NU belakangan ini.

NU harus memeriksa kembali demografi umatnya yang
mayoritas dari pedesaan. Wajah NU tak pernah berubah
dari ndeso-nya. Situasi ini, sepanjang tahun 2004
tersembunyi (atau terlupakan) di tengah hiruk-pikuk
kontestasi politik yang menggiurkan.

BURUH migran Indonesia (biasa disapa TKI dan TKW)
adalah salah satu wajah nahdliyin. Secara geografis,
daerah basis buruh migran Indonesia adalah area
mayoritas nahdliyin (Jawa Timur dan Madura, Jawa
Tengah, Pantai Utara Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat,
dan Lampung). Wajah ini kian terasa marjinal karena
mayoritas yang bekerja sebagai buruh migran Indonesia
adalah perempuan. Kisah-kisah pilu hampir setiap hari
ada di media, dari yang disetrika, diperkosa, bahkan
harus menunggu maut divonis mati di tiang gantungan.

Beberapa waktu lalu, sebuah NGO berbasis NU menggelar Bahtsul Masail tentang buruh migran Indonesia, merumuskan rekomendasi dan rencana tindak lanjut. Sayang, langkah awal yang progresif itu tidak mendapat sambutan signifikan. Lembaga Pengembangan Tenaga Kerja NU dan Sarbumusi (serikat buruh afiliasi NU) pasif dalam merespons kasus-kasus buruh migran Indonesia.

Kompleksitas masalah buruh migran Indonesia di Timur
Tengah dan Malaysia hampir tidak pernah menjadi
perhatian Pengurus Cabang Istimewa NU. Kehadiran
anggota legislatif dari NU (di PKB, PPP, Partai
Golkar, dan partai lain) tidak maksimal dalam
memperjuangkan regulasi bagi perlindungan buruh migran
Indonesia. Padahal, jika bisa tampil maksimal,
organ-organ NU ini bisa berfungsi sebagai wahana
advokasi dan artikulasi kepentingan buruh migran
Indonesia.

Langkah-langkah advokatif yang dilakukan Gus Dur saat
menjadi presiden hingga kini bisa menjadi teladan bagi
NU untuk merumuskan program advokasi bagi buruh
migran. Gus Dur pernah langsung menelepon Raja Fahd
(Arab Saudi), meminta pembatalan eksekusi atas Siti
Zaenab, TKW yang divonis mati, dan dipenuhi. Model
diplomasi politik tingkat tinggi ini tidak dilanjutkan
Megawati dan SBY. Bahkan, SBY tak pernah berkomentar tentang vonis mati Herlina Trisnawati. Terakhir, Gus Dur berperan dalam pembebasan Istiqomah dan Casingkem (keduanya ternyata warga NU), sandera TKW di Irak.

NU perlu belajar dari Filipina. Di negara yang sekitar
tujuh juta warganya bekerja ke luar negeri, Gereja
Katolik amat berperan dalam pemberdayaan dan pembelaan buruh migran yang mayoritas Katolik. Dalam struktur Gereja Katolik Filipina dibangun Komisi Pelayanan untuk Migran. Ranah komisi ini mulai dari tingkat nasional, provinsi, hingga paroki. Sementara
misionaris dikirim untuk pelayanan buruh migran
Filipina yang bekerja di luar negeri. Dalam
aktivitasnya, mereka bersinergi dengan NGO dan
organisasi buruh migran Filipina yang tumbuh di negara
tujuan bekerja. Sinergi ini bermanfaat untuk memantau
situasi buruh migran Filipina dan kinerja Kedutaan
Besar Filipina.

Semangat pelayanan terhadap buruh migran oleh Gereja
Katolik didorong policy Vatikan yang mengamanatkan
pelayanan bagi buruh migran sedunia. Maka dalam Gereja
Katolik ada kelompok, Ordo Scalabrini, yang
memfokuskan diri dalam pelayanan kaum migran dan
pengungsi. Di Filipina, aktivitas ordo ini berkembang
dan dapat mengembangkan Scalabrini Migration Center.
Fr Graziano Bastitella, penggagasnya, adalah pakar
buruh migran ternama di Asia Pasifik.

Jika NU ingin menebus "kelupaan"- nya mengurusi
marjinalisasi umatnya, salah satu langkah yang b