Opini

Melihat Perubahan Pelosok Desa di tahun 2000-an

NU Online  ·  Sabtu, 13 Desember 2003 | 03:29 WIB

Oleh: Ahmad Riyadi

Disadari atau tidak, sejak tahun 2000 kehidupan di dunia ini sangat berbeda sekali dengan tahun-tahun sebelumnya. Di desa dan di kota sudah tidak ada bedanya lagi Misalnya masalah hukum, budaya, agama, dan ilmu dan lain sebagainya. Ini terlihat di pelosok-pelosok kampung yang jauh dari teknologi dan keramaian.

<>

Lantas bagaimana kita sebagai warga Nahdliyin menyikapi permasalahan seperti ini?. Kita tidak dapat menyalahkan siapa orangnya atau kita sendiri merasa tak bersalah. Tapi yang jelas, kita semua punya tanggungjawab bersama untuk mempertahankan nilai-nilai budaya kita demi kejayaan dan kemakmuran anak cucu kita. Firman Allah SWT  “Aku (Allah) tidak akan merubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu sendiri mau merubahnya”.

Saya mencontohkan kebiasaan warga di salah satu desa di kota Bojonegoro, Jawa Timur, sebelum tahun 2000.  Ketika saya masih kecil, anak-anak umur 5-20 tahun mereka rajin sekali ngaji/belajar di Mushola atau Masjid untuk mendapatkan ilmu agama dan umum, selain itu mushola dan masjid sangat sepi,

Tapi, sekarang sangat beda sekali dengan yang lalu, sekarang mushola dan masjid pada pukul 18.30 sudah sepi sekali, di mushola dan masjid saat jam-jam itu sudah tidak ada suara-suara orang melantunkan ayat-ayat al Qur an, pada jam itu hanya ada seorang kiai dan 2-4 orang, itupun mereka tidak mengaji, tetapi mereka bercanda tawa.

Kedua; Suasana Idul Fitri/lebaran, sebelum tahun 2000, saat jalan-jalan masih pada aslinya (belum diaspal), suasana lebaran ramai sekali hingga satu minggu lamanya. Mereka, anak-anak dan orang dewasa saat malam Idul Fitri tiba, mereka melantunkan pujian-pujian pada Allah dengan berkeliling di desa-desa dengan obor yang panjangnya 5-20 meter tingginya, karena telah tiba masa kemenangan bagi umat islam.

Tapi apa yang terjadi sekarang, suasana seperti itu sudah tidak terlihat lagi, padahal kalau dilihat, jalan sudah bagus, jalan teraspal. Sekarang saat malam Idul Fitri tiba, orang-orang lebih enak di dalam rumah melihat TV dan sambil mengocok kartu domino, di mushola dan masjid hanya ada seorang kiai dan 7-12 orang yang melantunkan pujian-pujian pada Allah, jalanpun sepi dengan obor yang terbuat dari bambu yang panjangnya patut dimasukkan MURI, mengapa mereka meninggalkan budaya yang baik itu, inilah satu pertanyaan besar yang harus kita jawab.

Penulis adalah aktivis/pengurus IPNU Sleman, Jogja dan alumni MA Darul Ulum, Baureno Bojonegoro, Jatim.