Opini

Membaca 6 Wasiat Mama Ajengan KH Muhammad Masthuro

Jum, 27 Maret 2020 | 16:00 WIB

Membaca 6 Wasiat Mama Ajengan KH Muhammad Masthuro

Gerbang Pondok Pesantren Al-Masthuriyah Sukabumi (Foto: NU Online/Daden Sukendar)

Oleh Samsudin AK
 
Tahun ini Pondok Pesantren Al-Masthuriyah memasuki usia 100 tahun. Lembaga pendidikan yang didirikan KH Muhammad Masthuro ini telah melahirkan banyak tokoh dalam berbagai bidang, di antaranya adalah putra KH Masthuro sendiri yakni KH E. Fakhruddin Masthuro yang pernah menjadi Wakil Rais Aam PBNU.   

Salah satu fondasi eksistensi Al-Masthuriyah adalah wasiat KH Masthuro yang ditanamkan kepada anak cucunya. Wasiat itu adalah 6 hal yang disampaikan secara jelas dan tegas dalam bahasa Sunda, yaitu: pertama, kudu ngahiji dina ngamajukeun pasantren, madrasah. Ulah pagirang-girang tampian. Kedua, ulah hasud. Ketiga, kudu nutupan kaaeban batur. Keempat, kudu silih pikanyaah. Kelima, kudu boga karep sarerea hayang mere. Keenam, kudu mapay thorekat anu geus dijalankeun ku Abah.

Wasiat KH Masthuro poin pertama memiliki makna penting dalam menanamkan dan memperkuat kembali keinginan untuk mengembangkan lembaga pendidikan yang dirintisnya. Wasiat ini diungkapkan dengan jelas agar para pewaris perjuangan KH Masthuro tidak sulit menafsirkan maknanya.

Di antara penafsiran yang pernah dilontarkan adalah bahwa memajukan dan mengembangkan pesantren dan sekolah, bukan hanya tinggal, mukim, dan mengajar di Al-Masthuriyah. Siapa pun dan dimanapun memiliki kesempatan untuk memajukan Al-Masthuriyah. Kenyataannya, 100% anak KH. Masthuro tinggal di Al-Masthuriyah dan hanya sekitar 20% cucu KH Masthuro yang tidak tinggal di Al-Masthuriyah. Ini menandakan bahwa wasiat itu sangat berpengaruh sekali terhadap keinginan generasi KH Masthuro untuk memajukan dan mengembangkan pesantren dan sekolah.

Wasiat kedua, dalam memajukan dan mengembangkan pesantren dan sekolah ini, tidaklah harus menjadi pemimpin dalam lembaga itu. Perebutan kekuasaan dalam lingkungan keluarga, apalagi keluarga besar adalah ancaman dan bahaya laten yang selalu menghantui persaudaraan dan keharmonisan. KH Masthuro ternyata cukup arif dan berpandangan jauh. Selain berwasiat untuk memajukan pesanten, beliau juga mengimbangi dengan wasiat agar tidak memiliki keinginan yang besar dalam menduduki jabatan pimpinan.

Jabatan bagi KH Masthuro suatu amanah. Bila dipercaya, dilaksanakan. Bila tidak dipercaya, jangan memperebutkannya. Hal seperti itulah yang selalu diungkapkan dalam setiap kesempatan pembacaan wasiat.

Bila ada kesepakatan untuk menentukan pilihan pimpinan, maka yang lain harus mau menerimanya, bagaimanapun asalnya. Ini pula salah satu yang dikehendaki dari wasiat yang kedua, jangan hasud. Hasud artinya iri terhadap kenikmatan yang dimiliki orang lain. Hasud terhadap kepemimpinan seseorang bisa berakibat lahirnya usaha-usaha untuk menggulingkan kepemimpinannya.

Wasiat ketiga, untuk menjaga keutuhan keluarga sebagai modal keutuhan lembaga, KH Masthuro juga berwasiat agar menutupi keaiban dan kekurangan orang lain, termasuk dan terutama saudara. Dengan tidak mengungkapkan kelemahan dan kejelekan saudanya, berarti tidak ada orang lain yang akan tahu tentang sesuatu komplik yang terjadi dalam lingkungan keluarga. Apabila ada pihak ketiga yang mengetahui, sudah menjadi sunnatullah, pihak ketiga ini biasanya mengungkapkan kembali ke pihak lain atau ke salah satu pihak yang terlibat dalam komplik, dengan penambahan-penambahan yang didasari dengan niat yang buruk. Akibatnya sudah dapat dibayangkan, komplik semakin meruncing, keutuhan keluarga terancam, dan artinya kelembagaan pesantren dan madrasahpun terancam pula.

Wasiat keempat, hubungan kekeluargaan sekali pun berada dalam lingkup birokrasi kepemimpinan formal tetap saja harus berdasarkan kasih sayang. Itu yang dikehendaki dari wasiatnya yang keempat. Hubungan saling mengasihi keluarga dan saudara akan melahirkan keharmonisan dan keakraban serta keutuhan keluarga.

Makna wasiat yang kelima, harus memiliki keinginan memberi, memberi tekanan agar mampu mengayomi orang lain dalam masalah ekonomi; membantu orang yang tidak mampu. Kenikmatan kekayaan yang dimilki hendaknya tidak hanya digunakan untuk kepentingan pribadi semata, tetapi orang lain harus dapat menikmatinya. Apabila memberi ini dilaksanakan, maka hasud dapat dihindari.

Wasiat yang terakhir, keenam, menghendaki agar keturunan dan pewaris KH Masthuro berjalan searah dengan apa yang telah digariskan KH Masthuro. Langkah-langkah perjuangan harus mengikuti KH Masthuro dalam arahnya. Dalam bidang pendidikan juga harus seirama dengan apa yang dilaksanakan KH Masthuro, terutama dalam pengembangan pendidikan Islam dengan memiliki tujuan akhir adalah ma’rifatullah..

Apa yang diungkapkan KH Masthuro dalam wasiatnya itu, ternayata cukup ampuh dalam menjaga keutuhan keluarga sekaligus menjaga eksistensi pesantren dan madrasah. Apabila ada komplik keluarga atau bahkan bunga-bunganya, anak KH Masthuro akan menahan diri dengan selalu mengingat akan wasiat yang diucapkan orangtua tercinta yang harus berbuat baik kepadanya.

Sekarang PR Besar dan sangat penting bagi keluarga besar Al-Masthuriyah, santri, alumni dan muhibbin adalah menelusuri,  mempelajari, memahami dan mengamalkan tarekat Mama Ajengan KH Muhammad Masthuro.

Kenapa penting, karena Al-Masthuriyah masuk pada abad kedua agar tetap dapat menjaga tradisi serta mengembangkan Pondok Pesantren Al-Masthuriyah yang bermanfaat bagi Pengembangan tradisi keilmuan pesantren (tradisi ilmiah), manfaat bagi pengembangan tradisi keagamaan dan manfaat bagi pengembangan budaya dan kemasyarakatan (kemaslahatan umat).

Penulis adalah pernah menimba ilmu di Al-Masthuriyah, pengurus Pimpinan Pusat IPNU masa khidmah 2003-2009