Membandingkan Keunggulan Pesantren dengan Universitas
NU Online · Jumat, 7 Oktober 2016 | 08:00 WIB
Sebagai sebuah sistem pengetahuan, universitas di Indonesia tergolong institusi yang masih muda. Namun demikian, secara cepat universitas berhasil menggantikan dominasi institusi keilmuan berbasis lokal yang lebih dahulu eksis (seperti pesantren). Universitas merepresentasikan tidak hanya komitmen negeri ini pada modernitas, tetapi juga diskontinuitas dari tradisi pembelajaran yang ada dalam masyarakat. Pun menghadirkan seperangkat pengetahuan yang berbeda dengan pemahaman orang awam. Tak mengherankan jika universitas di Indonesia seringkali dituduh ‘asing’, ‘terasing’, dan atau bahkan ‘mengasingkan’ masyarakat dari konteks-kultur yang melatari.
Dalam pengembangannya kemudian, universitas sebagai model adopsi yang tidak indigen ini, membutuhkan role-model dari negara-negara maju. Terjalinlah relasi patronistik di antara keduanya yang menimbulkan efek ketergantungan. Hal ini masih harus diperparah oleh kenyataan globalisasi, kemajuan teknologi informasi, dan masifnya industrialisasi penerbitan yang dikembangkan negara-negara maju. Akibatnya arus lalu-lintas pengetahuan bergerak menjadi sangat agresif: cepat, mudah, dan murah, namun tanpa menanggalkan coraknya yang cenderung satu arah (one way distribution).
Kondisi demikian menyebabkan posisi awal hingga kini pengembangan keilmuan di mayoritas negara pascakolonial, seperti Indonesia, cenderung “mencari ke luar” (outward looking) daripada secara induktif menggali khazanah yang dimilikinya (indigen). Tak mengherankan jika banyak ilmuwan lalu gagal dalam menarik gists (inti sari/visi kebenaran ilmiah) dari kandungan teori yang dipelajarinya. Dalam bahasa yang lebih tajam, produksi keilmuan tidak (terlalu) mengemuka. Seakan riuh-semarak namun lebih berupa konsumsi yang taken for granted.
Tentu ini problematik. Teori-teori yang dikembangkan dalam konteks yang berbeda tersebut pada akhirnya terbukti kesulitan menjawab kebutuhan masyarakat. Ia bersama klaim universalitas yang dibawanya lalu (mulai) digugat dan dipertanyakan ulang. Munculah usualan-usulan yang berulang tapi selalu gagal berkembang, yakni: indigenisasi ilmu sosial. Semacam upaya pengembangan sistem nilai dan pengetahuan lokal untuk dijadikan alternatif paradigma ilmu sosial yang lebih kontekstual. Baik sifatnya bagian dari genealogi pengetahuan berbasis lokal yang hendak diilmiahkan; sekaligus, indigenisasi sebagai bagian dari kontekstualisasi ilmu-ilmu sosial yang berkembang kini dalam berhadapan dengan material dan semantik lokal. Untuk persepsi yang kedua, sifatnya lebih moderat. Bahwa pengaruh, konten, paradigma, atau apa pun yang ‘berbau’ luar, tidaklah seluruhnya ditolak, melainkan coba didapatkan relevansinya dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat lokal. Jadi tidak xenophobic. Tidak juga taken for granted.
Dengan demikian orientasi pengembangan ilmu tak hanya menyangkut relevansi ilmiah namun juga relevansi sosial. Tak hanya bersifat etik-normatif, tetapi juga sebisa mungkin applicable (dapat diaplikasikan). Bagaimana menjadikan hasil dari pengembangan ilmu menjadi solusi efektif bagi permasalahan yang berkembang di tengah masyarakat. Yang utama tak lagi persoalan benar-salah (right or wrong/correct or incorrect) semata, tetapi lebih dari itu adalah kompatibilitas atau kecocokan. Karenanya jelaslah hampir bisa dipastikan bahwa tak ada teori yang fix, permanen, serta universal, dalam khazanah ilmu sosial sehingga pendekatan spasio-temporal menjadi relevan dikembangkan.
Poin yang ingin disampaikan adalah otokritik atau self critic. Bukan apologetik. Dengan begitu, tantangan yang perlu segera dijawab, yakni: bagaimana menumbuhkan kemandirian dan kepercayaan diri para intelektual negara-negara poskolonial, khususnya untuk mengatasi problem lokal yang mengemuka di negerinya dengan term poin yang berasal dari sistem kultural yang ada? Tak lagi berpuas sebagai pengamat, sales, atau konsumen ilmu dengan pilihan terbatas take it, leave it, atau paling jauh melakukan konstekstualisasi. Namun lebih jauh turut bermain sebagai producer keilmuan.
Kebangkitan Pesantren
Isu ini sebenarnya bukan isu yang baru. Kita dapat melihat progresivitas yang baik di sejumlah tempat seperti India, sebagian Afrika, Amerika Latin, atau pun Selandia Baru. Lalu apa hubungannya dengan pesantren sebagaimana tertulis dalam judul di atas? Saya membayangkan universitas mulai sadar dan membuka diri akan pluralitas epistemologis di luar dirinya. Contohnya adalah pesantren yang sedari awal disinggung memiliki basis kultural yang mengakar di Indonesia. Sayangnya dari dulu hingga kini kehadirannya sebagai pusat pengembangan ilmu masih terpinggir.
Sedikit kilas balik. Pesantren karena tumbuh dan berkembang secara akulturatif, kemudian dalam perjalananya berperan sebagai agen transformasi sekaligus penjaga kultur masyarakat. Pada era kolonial, pesantren menjadi salah satu pusat counter-culture atas injeksi budaya Barat yang dibawa oleh pemerintah kolonial. Pesantren hadir sebagai alternatif atas model dan akses pendidikan maupun pemberdayaan masyarakat.
Tak heran, karena aktivitas tersebut, kemudian pesantren (kiai dan santrinya) dianggap subversif oleh pemerintah kolonial. Terjadi konflik kepentingan yang begitu kuat atas kedua kekuatan ini; baik dalam hal penyebaran agama, budaya, maupun pengaruh dan penguasaan ekonomi-politik. Akibatnya kemudian muncul strategi eksklusi. Pemerintah kolonial melakukan politik segregasi dengan mempertegas pengelompokkan masyarakat yang terdiri dari: santri, abangan, dan priyayi. Kelompok yang disebut terakhir dicangkok sebagai agen budaya dan makelar identitas. Diberikan hak-hak istimewa seperti pendidikan dan jabatan-jabatan publik. Sedangkan kelompok sisanya dibiarkan, disingkirkan (marginalisasi), dan cenderung diposisikan vis a vis.
Dalam hal keilmuan, apa yang berkembang dalam tradisi pesantren tidak pernah diserap, diinterkoneksi, atau diintegrasikan dalam model pendidikan modern a la Barat (baca: universitas). Sebaliknya justru dinegasi. Ketika universitas versi Barat pertumbuhannya semakin pesat dan diadopsi oleh pemerintah pasca kemerdekaan, interaksi keduanya tetap kering. Inilah penjelas mengapa diskursus keilmuan pesantren terbilang minim dan menjadi sesuatu yang asing dalam diskursus ilmu pengetahuan umum (secular) di Indonesia.
Kiai dalam teks-teks sejarah jarang sekali diposisikan sebagai seorang ilmuwan atau intelektual; kepergian haji ke Tanah Suci para ulama jarang dibaca sebagai upaya pengembangan ilmu namun lebih sebagai aktivitas ibadah sekaligus pendalaman pemahaman keagamaan. Literatur seperti kitab kuning yang menjadi referensi utama di pesantren lebih dianggap sebagai literature keagamaan ketimbang sebagai literature keilmuan (misalnya: literature ilmu hokum, ilmu ekonomi, ilmu politik, dll). Memang benar pesantren selain diakui sebagai pusat keagamaan juga diakui sebagai pusat perubahan sosial karena berbagai upaya pemberdayaan yang dilakoninya. Namun sebagai pusat keilmuan masih sebagai pemain pinggiran. Yang perlu dilakukan adalah upaya-upaya dekolonisasi metodologis, misalnya dengan membongkar tafsiran teks-teks sejarah.
Selain problem sejarah, ada faktor perbedaan epistemologi yang signifikan antara pesantren dan pendidikan sekular-modern. Yang pertama, adanya integrasi antara agama dan ilmu; serta integrasi antara ilmu dengan laku. Tujuan akhir dalam ilmu adalah praktik keseharian sehingga nilai-nilai agama harus masuk di dalamnya. Bahkan menjadi sandaran utama. Sedangkan yang kedua, berupaya memisahkannya secara tegas, atau sering disebut value free. Ilmu dibebaskan dari pengaruh budaya dan agama untuk mengejar objektivitas.
Di luar itu, ada pula kategori disiplin keilmuan yang berbeda. Dalam pesantren spesialisasi tidak dilakukan dengan kategori semacam politik, hukum, sosiologi, ekonomi, dan filsafat. Di sana kajian yang dikembangkan berbasis isu sehingga coraknya cenderung generalis. Santri dalam pesantren mempelajari satu kitab yang memuat banyak isu. Sedangkan dalam universitas, mahasiswa mempelajari satu isu dengan menggunakan banyak kitab. Imbas regangan dua arus besar tradisi keilmuan ini masih berlanjut hingga kini.
Mendamaikan keduanya tentu bukan perkara mudah. Terlebih, penerapan aturan main baku dalam pengembangan ilmu semakin menutup peluang hadirnya variasi keilmuan dengan epistemologi berbeda seperti pesantren. Hal ini kerap dianggap sebagai efek positivisme ilmu yang kemudian digugat-paksa. Namun demikian, belakangan lahirlah banyak kritik. Salah satunya datang dari Paul Feyerabend yang mungkin bisa menjadi alternatif pintu masuk cara pandang baru.
Dalam paparannya bertajuk Against Method (1978), dia menguraikan bahwa pada dasarnya ilmu pengetahuan dan perkembangannya tidak perlu diterangkan ataupun diatur oleh segala macam aturan, sistem, maupun hukum. Ilmu pengetahuan saatnya keluar dari aturan metodologis yang selalu digunakan para ilmuwan. Aturan metodologis hanya akan membatasi aktivitas para ilmuwan sehingga akan membatasi kemaju ilmu pengetahuan. Perkembangan ilmu pengetahuan terjadi karena kreativitas individual. Karena itu, satu-satunya prinsip yang tidak menghambat perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan adalah konsep yang dinamainya anything goes. Penolakan atas keteraturan dan aturan main baku dalam pengembangan ilmu. Ilmuwan harus bebas. Kegiatan ilmiah adalah suatu upaya yang anarkistik karena tidak mengandalkan satu metode tertentu. Muaranya adalah pluralitas teori.
Mencairnya aturan main pengembangan ilmu sebagaimana dipaparkan Feyerabend akan mengakomodasi berbagai varian keilmuan yang selama ini terpinggir dan dipinggirkan, seperti pesantren. Sudah saatnya universitas di Indonesia membuka diri. Menyadari bahwa epistemologi keilmuan tidak tunggal. Hal ini khususnya bukan untuk kepentingan pesantren karena tanpa universitas mereka sudah dan akan tetap survive. Sebaliknya adalah untuk kepentingan universitas itu sendiri dalam rangka mengatasi kejumudan yang mulai menyeruak.
Dari pesantren kita belajar bahwa orientasi aktivitas keilmuan jelas bukanlah ilmu itu sendiri tetapi menjawab problem sosial. Jika universitas selama ini baru berkutat dalam wacana ilmu yang membumi dan transformatif, pesantren sudah melakoninya jauh-jauh hari.
Dalam buku "Bilik-Bilik Pesantren", Cak Nur, pernah menulis, "Seandainya negeri kita ini tidak mengalami penjajahan, mungkin pertumbuhan sistem pendidikannya akan mengikuti jalur-jalur yang ditempuh pesantren-pesantren. Sehingga perguruan-perguruan tinggi yang ada sekarang ini tidak akan berupa UI, ITB, IPB, UGM, Unair, atau pun yang lain, tetapi mungkin namanya Universitas Tremas, Krapyak, Tebuireng, Bangkalan, Lasem, dan seterusnya. Kemungkinan ini bisa kita tarik setelah melihat dan membandingkan secara kasar dengan pertumbuhan sistem pendidikan di negeri-negeri Barat sendiri, di mana hampir semua universitas terkenal (misal: Harvard, Yale, Princeton, Cambridge, Oxford -pen) cikal-bakalnya adalah perguruan-perguruan yang semula berorientasi keagamaan (seminari). Mungkin juga, seandainya kita tidak pernah dijajah, pesantren-pesantren itu tidaklah begitu jauh terpencil di daerah pedesaan seperti kebanyakan pesantren sekarang ini, melainkan akan berada di kota-kota pusat kekuasaan dan ekonomi, atau sekurang-kurangnya tidak terlalu jauh dari sana, sebagaimana halnya sekolah-sekolah keagamaan di Barat yang kemudian tumbuh menjadi universitas-universitas tersebut."
Pemerintahan kolonial tidak lagi eksis. Bayangan Cak Nur, bukanlah banyangan utopis jika semakin banyak yang memiliki bayangan serupa. Mari kita bayangkan dan upayakan bersama. Bayangan kiai dan profesor maupun santri dan mahasiswa dapat bersanding dalam forum-forum ilmiah dengan epistemologi yang dikembangkannya masing-masing. Bayangan bahwa kitab kuning dan jurnal dapat sama-sama dirujuk. Bayangan atas pesantren yang tidak selalu diidentikkan dengan agama, politik, atau pun pemberdayaan umat semata namun juga bagian dari komunitas epistemik yang melakukan pengembangan ilmu.
Penulis adalah mahasiswa Global Public Policy di Russian Presidential Academy of National Economy and Public Administration (RANEPA), Moscow; aktif di PCINU Federasi Rusia
Terpopuler
1
Niat Puasa Arafah untuk Kamis, 5 Juni 2025, Raih Keutamaan Dihapus Dosa
2
Panduan Shalat Idul Adha: dari Niat, Bacaan di Antara Takbir, hingga Salam
3
Menggabungkan Qadha Ramadhan dengan Puasa Tarwiyah dan Arafah, Bolehkah?
4
Takbiran Idul Adha 1446 H Disunnahkan pada 5-9 Juni 2025, Berikut Lafal Lengkapnya
5
Khutbah Idul Adha 2025: Teladan Keluarga Nabi Ibrahim, Membangun Generasi Tangguh di Era Modern
6
Khutbah Idul Adha: Mencari Keteladanan Nabi Ibrahim dan Ismail dalam Diri Manusia
Terkini
Lihat Semua