Opini HARDIKNAS

Membangun Fondasi Pendidikan ala Ulama Pesantren

Kam, 2 Mei 2019 | 03:45 WIB

Membangun Fondasi Pendidikan ala Ulama Pesantren

Ilustrasi (Tirto)

Oleh Fathoni Ahmad

Selama tujuah tahun belajar di Makkah, KH Muhammad Hasyim Asy’ari mempunyai kegelisahan tersendiri terkait kondisi beberapa bangsa di sejumlah negara yang sedang mengalami penjajahan, termasuk di Indonesia. Kegelisahaannya itu dituangkan dalam sebuah pertemuan di Multazam bersama para sahabat seangkatannya dari Afrika, Asia, dan juga negara-negara Arab sebelum Kiai Hasyim kembali ke tanah airnya.

Pertemuan tersebut terjadi pada suatu hari pada bulan Ramadhan di Masjidil Haram, Makkah. Singkat cerita, dari pertemuan itu lahir kesepakatan di antara mereka untuk mengangkat sumpah di hadapan “Multazam”, dekat pintu ka’bah untuk menyikapi kondisi di negara masing-masing yang dalam keadaan terjajah.

Isi kesepakatan tersebut antara lain ialah sebuah janji yang harus ditepati apabila mereka sudah sampai dan berada di negara masing-masing. Sedangkan janji tersebut berupa tekad untuk berjuang di jalan Allah SWT demi tegaknya agama Islam, berusaha mempersatukan umat Islam dalam kegiatan penyebaran ilmu pengetahuan serta pendalaman ilmu agama Islam.

Jalan yang ditempuh oleh KH Hasyim Asy’ari ialah mendirikan pondok (funduq) yang kini familiar disebut pondok pesantren, tempat para santri belajar ilmu-ilmu agama dan menempa kemandirian dan kekuatan akhlak baik. Implementasi ilmu agama yang diperoleh santri dari sejumlah metode pendidikan yang digunakan oleh kiai langsung terintegrasi dalam kehidupan sehari-hari.

Kemampuan dalam bidang ilmu agama, kekuatan karakater dan akhlak, serta penghormatan penuh terhadap guru tidak terlepas dari sosok kiai yang kharismatik. Kiai sebagai pengasuh pondok pesantren tidak hanya memberikan ta’lim dan tarbiyah, tetapi juga tidak ketinggalan untuk selalu mendoakan para murid dan santrinya. Penghormatan santri dan doa kiai bertemu sehingga ikatan batin sangat kuat di antara kiai dan santrinya hingga kini.

KH Hasyim Asy’ari merupakan pemegang sanad ke-14 dari Kitab Shahih Bukhori Muslim. Sanad ilmunya wushul (terhubung) langsung hingga ke Rasulullah. Keilamuan agama ia perdalam di tanah hijaz dan banyak berguru dari ulama kelahiran Nusantara di Makkah seperti Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Mahfudz Termas, Syekh Yasin Al-Fadani, dan ulama-ulama lainnya.

Sebutan Hadhratussyekh sendiri menggambarkan bahwa ayah KH Wahid Hasyim dan kakek Gus Dur tersebut merupakan mahaguru, mahakiai. Bahkan, Muhammad Asad Syihab (1994) menyebut Kiai Hasyim dengan sebutan al-‘Allamah. Dalam tradisi akademik di Timur Tengah, istilah tersebut diberikan kepada orang yang mempunyai pangkat keulamaan dan keilmuan yang tinggi.

KH Hasyim Asy’ari mendirikan Pondok Pesantren di Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Ia tidak mendirikan lembaga pendidikan di kawasan yang telah mapan secara moral, tetapi sebaliknya. Sehingga Kiai Hasyim kerap mendapat gangguan dan beberapa kali mendapat percobaan pembunuhan oleh jawara-jawara sekitar. Namun, dengan ilmu kanuragan dan kelembutan hatinya, Kiai Hasyim berhasil membuat para jagoan dan penjahat bayaran tobat. Mereka akhirnya bersedia menimba ilmu di Pesantren Tebuireng.

Selain mempunyai banyak sahabat-sahabat ulama yang tersebar di Jawa dan Madura, Kiai Hasyim Asy’ari sendiri telah banyak menelurkan murid-murid berkarakter kuat. Setelah menimba ilmu kepada Kiai Hasyim, mereka mengabdi dan mendirikan pesantren di kampungnya masing-masing. Murid-muridnya paham betul tentang apa yang pernah dikatakan oleh Kiai Hasyim Asy’ari, “pulanglah ke kampungmu, mengajarlah di sana minimal ngajar ngaji.”

Selain itu, kemerdekaan bangsa Indonesia tidak terlepas dari peran dan jasa para ulama, selain para nasionalis dan tentunya seluruh rakyat Indonesia. Namun, sejarah mencatat bahwa pergerakan ulama sebagai panutan masyarakatnya kerap membuat penjajah ketir-ketir karena merasa terancam eksistensinya. Terlebih ketika mereka mendirikan perkumpulan atau organisasi dan pondok pesantren.

Di sini pesantren tidak hanya sebagai tempat menempa ilmu agama, tetapi juga sebagai wadah pergerakan nasional, perlawanan terhadap penjajah, dan tempat menyemai kecintaan terhadap tanah air. Sejarah mencatat, hanya kalangan pesantren yang tidak mudah tunduk begitu saja di tangan penjajah. Dengan perlawanan kulturalnya, Kiai Hasyim dan pesantrennya tidak pernah luput dari spionase Belanda.

Langkah awal, pesantren melakukan perlawanan kultural hingga akhirnya bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan hakiki secara lahir dan batin. Kemerdekaan ini tentu hasil perjuangan seluruh rakyat Indonesia. Tetapi tentu saja peran ulama pesantren sebagai motor, motivator, sekaligus negoisator tidak bisa dielakkan begitu saja. Sebab, di masa Agresi Militer Belanda II, KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan Fatwa Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945. Fatwa ini mampu menggerakkan rakyat Indonesia untuk melawan dan mengusir penjajahan kembali oleh Belanda yang membonceng tentara Sekutu (Inggris).

Fatwa tersebut menggambarkan bahwa perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia merupakan kewajiban agama. Hal ini merupakan bagian yang inheren dari pola pendidikan pesantren yang diperkuat oleh para kiai. Santri senantiasa diperkuat dengan kepedulian-kepedulian sosial yang tinggi sehingga melahirkan spirit perjuangan melepaskan rakyat Indonesia dari belenggu penjajahan.

Kebutuhan akan pentingnya pendidikan untuk menunjang pergerakan nasional juga dilakukan oleh KH Abdul Wahab Chasbullah. Pada tahun 1916 ia mendirikan Madrasah Nahdlatul Wathan. Kiai Wahab Chasbullah menyadari bahwa perjuangan di ranah politik tidak akan maksimalkan, terutama dalam mempersiapkan generasi muda sehingga ia mendirikan Nahdlatul Wathan.

Pada tahun 1916 juga, Nahdlatul Wathan (Pergerakan Cinta Tanah Air) resmi mendapatkan Rechtspersoon (badan hukum) sebagai sebuah lembaga pendidikan untuk menggembleng nasionalisme para pemuda. Nahdlatul Wathan digawangi oleh KH Abdul Kahar sebagai Direktur, KH Abdul Wahab Chasbullah sebagai Pimpinan Dewan Guru (keulamaan), dan KH Mas Mansur sebagai Kepala Sekolah dibantu KH Ridwan Abdullah.

Nahdlatul Wathan merupakan upaya Kiai Wahab dan kawan-kawan untuk menumbuhkan rasa kebangsaan yang kuat di dada para pemuda melalui pendidikan. Berangkat dari misi besar tersebut, Kiai Wahab menciptakan syair Ya Ahlal Wathan yang kini kita kenal dengan Ya Lal Wathan. Syair ini menjadi lagu wajib yang harus didengungkan sebelum memulai pelajaran di kelas, karena saat itu memang sudah diterapkan sistem klasikal dengan kurikulum 100 persen agama.

Sebagai madrasah perintis dalam memperkuat rasa nasionalisme, kurikulum Nahdlatul Wathan tentu menarik untuk dipelajari. Dalam teori pendidikan modern, masyarakat pendidikan tentu mengenal disiplin ilmu Teknologi Pendidikan. Deskripsi kurikulum Nahdlatul Wathan ini sesungguhnya tidak lain untuk mempelajari Teknologi Pendidikan dalam bingkai tradisi pesantren yang digagas Kiai Wahab sebagai salah seorang arsitek pergerakan nasional.

Madrasah Nahdlatul Wathan juga berkembang pesat di setiap cabang NU. Di jawa Barat berpusat di Madrasah Mathla’ul Anwar Menes, Banten. Di Jawa Tengah berpusat di Nahdlatul Wathan di Jomblangan Kidul, Semarang. Sedangkan di Jawa Timur berpusat di Surabaya dengan cabang-cabangnya yang tersebar luas di Jombang, Gresik, banyuwangi, Jember, Lumajang, Malang, dan kota-kota lainnya.

Dalam mengembangkan Madrasah Nahdlatul Wathan dan Tashwirul Afkar, Kiai Wahab berupaya menyebarkan 'virus' cinta tanah air (hubbul wathan) secara luas di tengah masyarakat dan generasi muda dengan membawa misi tradisi keilmuan pesantren. Perjuangan mulia ini tentu harus digerakkan secara terus-menerus melalui setiap lembaga pendidikan di mana pun  sehingga cita-cita luhur pendiri bangsa untuk memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) semakin kuat dan tak pernah surut.


Penulis adalah Redaktur NU Online