Opini

Mengaji Islam Nusantara Sebagai Islam Faktual

Kam, 30 Juli 2015 | 07:00 WIB

Oleh Irham
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) tidak lama lagi akan menggelar hajatan besar yaitu muktamar NU ke-33 pada tanggal 1-5 Agustus 2015 di Jombang Jawa Timur. Muktamar ke-33 ini bertemakan “Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Islam dan Dunia.”<> Tema ini dibuat menjelang satu abad keberadaan NU di tanah air Indonesia. Hal yang ingin disampaikan adalah untuk menunjukkan bahwa NU di Indonesia dan di dunia sebagai Islam Nusantara yang mengembangkan Islam rahmat bagi seluruh alam. Namun tema tersebut menyisakan perdebatan di masyarakat yang belum kunjung selesai.

Sudah banyak artikel yang ditulis terkait dengan konsep Islam Nusantara oleh para pakar baik dalam media online maupun media cetak. Sayangnya banyak juga yang belum dapat memahami, sehingga banyak tanggapan yang tidak menerima. Secara umum argumentasi tidak menerimanya konsep Islam Nusantara adalah menolak pengotakan Islam dengan menyebutkan term nama tempat/sejenisnya. Seperti halnya term Nusantara, Arab, Afrika dan seterusnya yang diletakkan setelah term Islam. Argumentasi yang selalu diajukan itu ialah Islam hanyalah satu di dunia ini dan universal tidak ada Islam Arab, Islam Amerika, Islam Afrika apalagi Islam Nusantara. Tulisan ini akan menjelaskan perdebatan tersebut, Islam sebagai ajaran yang universal dan Islam sebagai keberagamaan (faktual).

Sumber utama ajaran umat Islam sedunia tetaplah sama, yaitu al-Quran dan al-Hadist. Sumber ajaran itu tidak berubah dan tidak berbeda sampai kapan pun dan di mana pun. Namun umat Islam dalam menjalankan sumber ajaran tersebut ternyata menemui perbedaan. Ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup, segala permasalahan masyarakat waktu itu bertumpu kepadanya. Pemahaman dan pelaksanaan Islam sesuai dengan perintah Nabi. Kemudian setelah Nabi wafat, para sahabat Nabi yang menjadi tumpuan selanjutnya. Persoalan kemudian yang muncul adalah adanya perbedaan pendapat dalam memahami ajaran. Hal ini terjadi karena pemahaman sahabat sendiri beragam. Terlebih ketika menemui permasalahan baru.

Perbedaan tersebut terus berkembang hingga kini, terlihat seperti beragamnya ilmu fikih, tafsir, kalam, dan seterusnya. Mulai dari permasalahan ketuhanan, peribadatan, mu’amalah, hinga pada ilmu pengetahuan dan sosial. Dalam hal ini ada dua perkara yang bisa kita pahami, yakni Islam sebagai ajaran. Islam ini sebagai ide, inspirasi, dan sumber pedoman bagi pemeluknya dalam segala sendi kehidupan. Islam sebagai ajaran berlaku secara univeral, tetap dan tidak berubah dalam konteks ruang dan waktu yang berbeda, yaitu al-Quran dan al-Hadist. Selanjutnya Islam ini melahirkan Islam faktual.

Islam faktual merupakan respon pemeluknya terhadap sumber ajaran, wujudnya adalah keberagamaan. Keberagaman merupakan perilaku, pemahaman, dan keayakinan orang beragama. Wujudnya terbentuk dari proses faktualisasi ajaran yang tidak terlepas dari latar belakang sosio-histori umat beragama. Seperti, tingkat pengetahuan, budaya, ekonomi, politik dan sejarah. Sehingga dengan latar belakang yang berbeda, sudah tentu keberagamaan yang terwujud adalah berbeda. Jadi, adanya Islam Arab, Islam India, Islam Nusantara, Islam Amerika dan seterusnya adalah keniscayaan.   

Dalam Islam faktual pun tidak sepenuhnya berbeda. Ada hal yang hampir semua umat Islam sepakat tidak berbeda. Yaitu hal-hal yang pokok dalam Islam, seperti rukun iman dan rukun Islam. Inilah yang dimaksud dengan keberagamaan yang keberadaannya sama sifatnya (univokalitas). Kemudian keberagamaan yang keberadaannya memang berubah dan berbeda yaitu Maqasidus Syari’ah (tujuan utama) dan penafsiran (furu’us syar’iyah). Bagaimana tujuan syariah dirumuskan dan ditafsirkan. Pada level ini sudah tentu latar belakang sosio-histori terlibat yang menyebabkan adanya pemahaman yang majemuk dan beragam.  

Islam Nusantara

Islam Nusantara bukanlah merupakan ajaran. Sekali lagi, Islam Nusantara perwujudannya adalah Islam faktual yang bisa dilihat secara sosiologis maupun antropologis. Keberadaannya sudah tentu berbeda dengan Islam yang ada di Arab atau yang ada di Barat. Islam Nusantara merupakan keberagamaan umat muslim yang terbangun atas dasar kondisi sosial-budaya-sejarah Nusantara yang panjang. Terbentuknya tidak terlepas dari para penyebar Islam di Nusantara.

Sejak awal, para pendahulu menyebarkan Islam dengan cara kedamaian, bukan dengan pertumpahan darah. Senjata dakwah yang digunakan adalah kebudayaan. Wali Songo misalnya, mempelajari terlebih dahulu kebudayaan setempat sebelum berhasil berdakwah di tanah Nusantara (Jawa). Faktanya pendekatan kebudayaan ini efektif. Islam mengalami akselerasi mulai abad 12, 13 hingga abad 15 masehi. Padahal, sejak abad 7 masehi Islam sudah masuk ke Nusantara namun lama tidak berkembang (baca Agus Sunyoto: Atlas Wali Songo dan Azra: Jaringan Ulama Nusantara).

Islam yang dikembangkan di Nusantara berkarakter seimbang, berada di tengah, mengayomi, tidak berpihak pada yang ekstrim, kemudian toleran, dan adil. Dengan prinsip ini Islam mampu mewarnai segala sendi kehidupan masyarakat. Seperti, dalam falsafah masyarakat, kesenian, kesusastraan, kebudayaan, tradisi, ilmu pengetahuan dan lain sebagainya. Dengan demikian Islam dapat diterima dan mendarah daging dalam kehidupan. Inilah yang disebut dengan Islam wasatiyah sebagai karakter Islam Nusantara.

Banyak contoh Islam Nusantara sebagai Islam wasatiyah, misalnya, kaidah masyarakat Minangkabau yang berbunyi “adat basandi syarak” (adat yang bersendikan Islam). Kemudian dalam kebudayaan Jawa seperti ritual selametan, kenduren, peringatan kelahiran, kematian, kehamilan, ataupun pernikahan. Dan sejarah yang tidak bisa dilupakan adalah proklamasi 17 Agustus 1945. Yang selanjutnya melahirkan kesepakatan antara kelompok nasionalis dan agamis membentuk NKRI bukan negara agama dan bukan negara sekuler. Yakni, negara Pancasila dengan dasar UUD 1945. Contoh ini nampak jelas, menunjukkan adanya akomodasi antara agama dan kebudayaan. Selain itu masyarakat Islam di Nusantara menunjukkan dinamis. Mampu merespon perubahan jaman, terlebih di era modernitas, mampu melestarikan dan juga mengembangkan kebudayaan. Bukannya statis, seperti yang dinyatakan Geertz (baca: Bambang Pranowo, Memahami Islam Jawa).

Mengkaji Islam Nusantara

Memahami Islam Nusantara tidak bisa terlepas dari faktor sejarah, budaya, dan politik dimana ajaran Islam diimplementasikan dan dikembangkan di Nusantara. Faktor ruang dan waktu itu sudah tentu sangat mempengaruhi karakter Islam Nusantara. Sehingga untuk mengetahui bagaimana Islam Nusantara dapat terwujud dan seperti apa karakternya, harus meneliti bagaimana gejala agama itu terbentuk. Menurut M. Atho Muzhar seorang pakar sosiologi hukum Islam dalam bukunya yang berjudul “Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek,” menjelaskan bahwa ada lima gejala agama yang bisa diteliti secara kualitatif maupun kuantitatif, yaitu pertama, naskah-naskah sumber ajaran agama dan simbol-simbol agama. Kedua, para penganut atau pemimpin dan pemuka agama. Ketiga, ritus-ritus, lembaga-lembaga, dan ibadat-ibadat seperti, shalat, haji, waris, dst. Keempat, tempat ibadat. Kelima, organisasi keagamaan.

Hemat penulis, untuk mengaji gejala agama khususnya dalam memahami Islam Nusantara dapat menggunakan tiga pendekatan ini. Pertama, pendektan sosiologis dan antropologis. Pendekatan ini untuk mengetahui bagaimana praktek ajaran Islam di masyarakat. Kedua, pendekatan filologi. Pendekatan ini dapat melalui naskah-naskah kuno (manuskrip) yang ditulis ulama-ulama/santri-santri dahulu yang masih banyak tercecer di pesantren, di perpustakaan dalam negeri maupun luar negeri, dan yang masih disimpan oleh ahli waris. Pendekatan ini dapat mengungkapkan sejarah, pemikiran dan perilaku umat Islam masa lampau. Ketiga, pendekatan sejarah dan arkeologi. Pendekatan ini untuk membaca kembali sejarah bagaimana Islam di Nusantara terbentuk dan terjadi, dengan melihat benda-benda sejarah. Tentu dalam menggunakan pendekatan tersebut sebelumnya harus memahami ajaran-ajaran Islam yang berkembang di Nusantara. Tanpanya akan menjadi bias seperti halnya yang dilakukan Geert.

Pemahaman yang komprehensif akan dapat membuat rumusan Islam Nusanatara dengan baik.  Seperti halnya yang dinyatakan oleh Bambang Pranowo sosiolog muslim dalam bukunya “Memahami Islam Jawa”,  bahwa ada lima paradigma untuk memahami masyarakat Islam di Nusantara ini dengan baik. Pertama, memperlakukan masyarakat muslim yang sebenarnya, tanpa memandang derajat kesalehan/status sosial mereka. Kedua, memahami religiusitas sebagai proses yang dinamis bukan statis. Ketiga, perbedaan manifestasi religiusitas masyarakat muslim harus dianalisis dengan perbedaan penekanan dan intepretasi atas ajaran-ajaran Islam. Keempat, karena di dalam Islam tidak ada kependetaan, maka orang muslim harus diposisikan sebagai orang yang aktif bukan pasif dalam proses pemahaman, penafsiran, dan pengartikulasian ajaran-ajaran Islam di dalam kehidupan keseharian. Kelima, faktor sejarah, sosial budaya, politik, ekonomi, sebagai faktor yang melatarbelakangi proses terbentuknya tradisi Islam yang khas.

Dengan demikian Islam Nusantara bukanlah mengotakkan Islam, melainkan pemahaman keberagamaan Islam di Nusantara ini. Karakter dan tipologi aslinya adalah seperti awal-mulanya Islam masuk ke Nusantara, yakni wasatiyah yang tidak melepaskan dengan kebudayaan.  Islam Nusantara merupakan bagian dari representsi dari rahmatan lil’alamin.

 

*) Penulis adalah sekretaris PAC GP Ansor Kecamatan Juwana Kabupaten Pati dan mahasiswa sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta - Awardee LPDP