Opini

Mengapa Anggaran untuk Lembaga Pendidikan Islam Rendah?

Sen, 13 Februari 2017 | 09:00 WIB

Mengapa Anggaran untuk Lembaga Pendidikan Islam Rendah?

Ilustrasi (© kompas)

Oleh Suwendi

Judul tulisan di atas agaknya merepresentasikan sejumlah kegelisahan dan kegamangan berbagai pihak, baik dari kalangan birokrat maupun dari masyarakat sendiri. Apakah pejabat di lingkungan Kemenag berdiam diri atas kondisi demikian? Penulis berkeyakinan kuat bahwa para pejabat di lingkungan Kemenag selalu berupaya sekuat tenaga agar dapat meraih anggaran yang cukup sehingga dapat memberikan pelayanan yang maksimal kepada masyarakat. Jika demikian, lalu persoalannya di mana? Tulisan sederhana ini akan mengungkapkan hal itu.

Layanan Pendidikan di Ditjen Pendis Kemenag


Sesuai dengan Peraturan Pemerintah nomor 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, sebagai turunan atas UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, lembaga yang berwenang untuk menangani lembaga pendidikan Islam adalah Kemenag, dalam hal ini Ditjen Pendis (Pendidikan Islam). Kemenag-lah yang paling otoritatif dalam melakukan penataan regulasi, rekognisi, dan fasilitasi atas layanan-layanan pendidikan Islam.

Merujuk UU di atas, Kemenag dalam hal ini Ditjen Pendis, menangani seluruh satuan pendidikan pada jalur, jenjang dan jenis pendidikan itu yang secara terinci dijelaskan sebagai berikut.

Pertama, jenis pendidikan umum yang berciri khas Islam pada jalur formal jenjang pendidikan dasar dan menengah, berupa RA, MI, MTs, dan MA. Berdasarkan data Ditjen Pendis tahun 2016, secara keseluruhan keempat lembaga ini berjumlah 77.336 buah, dengan jumlah guru sebanyak 820.835 jiwa, dan jumlah siswa sebanyak 9.252.437 anak.

Kedua, jenis pendidikan keagamaan Islam pada jalur formal jenjang pendidikan dasar dan menengah. Untuk jenis pendidikan ini terdiri atas SPM (Satuan Pendidikan Muadalah) dan PDF (Pendidikan Diniyah Formal). Keberadaan kedua lembaga ini secara regulatif terbilang baru, namun secara faktual telah berlangsung sejak lama yang berkembang di pondok pesantren. Kedua lembaga ini didasarkan atas PMA (Peraturan Menteri Agama) nomor 13 tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan Islam dan PMA nomor 18 tahun 2014 tentang Satuan Pendidikan Muadalah pada Pondok Pesantren. Berdasarkan data sementara, jumlah lembaga ini secara keseluruhan berjumlah 112 lembaga dengan jumlah ustad sebanyak 2.240 dan santri sebanyak 48.913 jiwa.

Ketiga, jenis pendidikan keagamaan Islam pada jalur formal jenjang pendidikan tinggi. Sesuai UU nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, pendidikan tinggi keagamaan Islam (PTKI) terdiri atas Universitas, Institut, Sekolah Tinggi, dan Ma’had Aly. Secara keseluruhan jumlah PTKI sebanyak 712 lembaga, dengan total dosen setidaknya berjumlah 440,142 orang dan mahasiswa sebanyak 747,686 jiwa.

Keempat, jenis pendidikan keagamaan Islam pada jalur non-formal yang terdiri atas MDT (Madrasah Diniyah Takmiliyah), pendidikan Alquran dan pondok pesantren. Dari ketiga lembaga ini, secara total jumlah lembaga berjumlah 240.387 lembaga, dengan ustad berjumlah 1.386.426 orang, dan santri berjumlah 17.385.552 jiwa. Untuk Pendidikan Al-Quran, setidaknya terdapat tiga lembaga pendidikan, yakni TKA (Taman Kanak-Kanak Alquran) untuk usia 4-7 tahun, TPA (Taman Pendidikan Alquran) untuk usia -11 tahun, dan TQA (Ta’limul Quran lil-Awlad) untuk usia 11-17 tahun. Jumlah lembaga pendidikan Al-Quran ini sebanyak 134.860 lembaga, dengan ustad sebanyak 620.256, dan santri sejumlah 7.356.830 jiwa. Untuk pondok pesantren, data 2016 menunjukkan jumlah pesantren sebanyak 28.961 lembaga, dengan jumlah santri berjumlah 4.028.660 orang, dan ustad/kyai sebanyak 322.328 orang. Dari ketiga nomenklatur dari jenis pendidikan keagamaan Islam pada jalur non-formal itu dapat diakumulasi jumlah lembaga sebanyak 240.387 dengan ustad sebanyak 1.386.426 dan santri sebanyak 17.385.552.

Kelima, pendidikan agama Islam pada sekolah. Penyelenggaran mata pelajaran PAI (Pendidkan Agama Islam) untuk semua sekolah (TK, SD, SMP, SMA, SMK) baik negeri maupun swasta di seluruh Indonesia itu ditangani oleh Ditjen Pendis, terutama pada aspek ketersediaan guru dan pengawas beserta hak-hak yang melekat padanya. Demikian juga, untuk tunjangan profesi guru PAI pada sekolah yang diangkat oleh Pemda dari seluruh Indonesia itu menjadi tanggungan Ditjen Pendis. Dalam konteks ini, sebenarnya Kemenag telah memberikan subsidi yang begitu besar untuk Pemda, setidaknya melalui penyediaan tunjangan profesi bagi guru-guru PAI pada sekolah yang diangkat oleh Pemda. Adapun jumlah guru dan pengawas PAI yang terdata di Ditjen Pendis secara keseluruhan berjumlah 185.636 dengan rincian guru PAI 180.040 orang dan pengawas PAI sebanyak 5.596 serta jumlah sasaran siswa yang beragama Islam pada sekolah sebanyak 34.371.621 jiwa. Adapun jumlah sekolah secara keseluruhan berjumlah 213.256 lembaga yang terdiri atas SD/SDLB sebanyak 149.310 lembaga, SMP/SMPLB sebanyak 37.439 dan SMA/SMALB/SMK/SMKLB sebanyak 26.507 lembaga.

Keenam, pendidikan kesetaraan pada Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar melalui pondok pesantren. Data EMIS 2016 menunjukkan jumlah pesantren penyelenggara program pendidikan kesetaraan berjumlah 1.461 lembaga dengan jumlah ustad 8.970 orang dan santri sebanyak 99.727 jiwa.

Berdasarkan data-data di atas, Ditjen Pendis mengelola, membina, dan memfasilitasi sejumlah nomenklatur pendidikan yang secara akumulatif jumlah lembaga sebanyak 533.264 dengan pendidik sebanyak 2.844.149 orang dan peserta didik sebanyak 61.905.936 jiwa.

Dari sejumlah layanan pendidikan di atas, setidaknya 3 hal yang harus dilakukan oleh Ditjen Pendis, yakni regulasi, rekognisi, dan fasilitasi. Dengan kata lain, apa yang dilakukan oleh Kementerian/Lembaga lain terhadap layanan pendidikan, Ditjen Pendis pun melakukan hal yang sama, tidak ada beda.

Kue Pembangunan Pendidikan


Mengacu pada implementasi anggaran tahun 2015, diperoleh data bahwa dari APBN sebesar Rp. 1.994,89 T itu digunakan untuk anggaran pendidikan sebesar 20.46 persen atau senilai Rp. 408,09 T. Anggaran itu dibagi untuk belanja Pemerintah Pusat melalui sejumlah Kementerian/Lembaga dan belanja Pemda melalui PemdaProvinsi dan Kabupaten.

Untuk Pemerintah Pusat, alokasi anggaran pendidikan sebesar 37,5 persen dari 408,09 T atau senilah 153.199,5 T. itu diperuntukkan kepada 1) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebesar 53.278,5 T, 2) Kementerian Riset dan Teknologiserta Pendidikan Tinggi sebesar 41.507,7 T, 3) Kemenag sebesar 49.409,9 T dan 4) Kementerian/Lembaga lainnya sebesar 9.003,4 T. Dari alokasi Kemenag itu, dialokasikan untuk Ditjen Pendis yang menangani semua kebutuhan layanan pendidikan Islam sebagaimana diuraikan di atas sebesar 46.398,9 T.

Untuk Pemda, alokasi anggaran sebesar 62,5 persen dari 408,09 T atau senilai 254.895,5T. itu diperuntukkan untuk 1) Anggaran Pendidikan dalam DBH sebesar 1.337,7T, 2) DAK Pendidikan sebesar 10.041,3T, 3) Anggaran Pendidikan dalam DAU sebesar 134.970,3T, 4) Dana Tambahan Penghasilan PNSD sebesar 1.096,0T, 5) Tunjangan Profesi Guru sebesar 70.252,7T, 6) Anggaran Pendidikan dalam OTSUS sebesar 4.234,7T, 7) Dana Insentif Daerah sebesar 1.664,5T, dan 8) Bantuan Operasioal Sekolah (BOS) sebesar 31.298,3T.

Untuk alokasi anggaran pada Pemda tentu lebih diarahkan pada layanan-layanan pendidikan yang didesentralisasi, yakni layanan pendidikan Sekolah (TK, SD, SMP, SMA, dan SMK). Pemda dalam banyak tidak memberikan bantuan secara signifikan kepada layanan pendidikan yang di berada di bawah naungan Ditjen Pendis. Sementara, anggaran untuk lembaga pendidikan dengan nomenklatur Sekolah itu juga telah disediakan anggarannya pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dengan demikian, Sekolah mendapatkan 2 (dua) sumber pendanaan, yakni dari Pemda dan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Demikian juga untuk layanan pendidikan tinggi umum, seperti universitas dan institut pada perguruan tinggi umum itu dibiayai dari Kementerian Riset dan Teknologi serta Pendidikan Tinggi tersendiri.

Anggaran pada Ditjen Pendis yang sebesar 46.398,9 T. itu diperuntukkan pada semua layanan pendidikan sebagaimana yang telah disebutkan di atas, tak terkecuali untuk pendidikan tinggi. Bahkan, dari anggaran itu, Ditjen Pendis berkewajiban untuk membiayai tunjangan sertifikasi guru PAI pada sekolah, yang meskipun diangkat oleh Pemda. Beban layanan yang begitu besar namun tidak diimbangi dengan beban anggaran yang cukup. Sebagai perbandingan, alokasi anggaran Ditjen Pendis yang sebesar 46.398,9T itu jauh lebih kecil dibanding dengan hanya 1 (satu) alokasi anggaran untuk tunjangan profesi guru pada sekolah (TK, SD, SMP, SMA, SMK) yang berada di Pemda sebesar 70.252,7T. Sementara anggaran Ditjen Pendis yang sebesar 46.398,9T itu, di samping untuk tunjangan profesi guru pada seluruh madrasah, guru PAI pada sekolah, dosen pada perguruan tinggi keagamaan, BOS pada Madrasah, rehab, gaji, untuk pondok pesantren, madrasah diniyah takmiliyah, dan hal-hal lainnya di seluruh Indonesia, baik untuk tingkat pusat maupun untuk daerah. Menurut hemat penulis, hal ini tidak mencerminkan proporsionalitas dan keadilan anggaran untuk layanan pendidikan. Oleh karenanya, siapapun yang menjadi pucuk pimpinan negara ini, jika skema anggaran itu masih tetap menggunakan proporsi sebagaimana diungkapkan di atas, maka sepanjang itu pula afirmasi negara untuk pendidikan Islam akan sulit dipenuhi.

Jika dengan menggunakan pendekatan APK, maka pola anggaran itu pun tidak linier atau tidak sepadan dengan nilai APK. Misal, APK layanan pendidikan madrasah (RA, MI, MTs, dan MA) pada tahun itu secara nasional 2015 sekitar 22 persen dari APK secara nasional. Jika dengan menggunakan pola ini semestinya anggaran untuk Pendidikan Madrasah itu setidaknya sama dengan besaran prosentase APK yang diraih, yakni 20 persen. Namun kenyataannya, hal itu tidak pernah terjadi, setiap tahun anggaran untuk pendidikan madrasah masih jauh di bawah 10 persen dari alokasi pendidikan secara nasional. Kontribusi APK-nya besar, namun alokasi anggarannya minim. Kondisi ini berkonsekwensi pada status dan kontribusi pemerintah yang sedikit. Dari data EMIS yang ada, diperoleh data bahwa secara keseluruhan mayoritas madrasah itu berstatus swasta dengan persentase mencapai 91,6 persen dari seluruh madrasah, sementara madrasah yang negeri tidak lebih dari 8,4 persen. Angka ini menunjukkan bahwa kontribusi masyarakat terhadap layanan pendidikan madrasah jauh lebih besar dibanding dengan kontribusi pemerintah. Lebih-lebih untuk layanan jenis pendidikan keagamaan Islam berupa pondok pesantren, MDT, dan pendidikan Alquran. Dalam banyak kasus, anggaran Ditjen Pendis untuk layanan pendidikan keagamaan Islam pada jalur nonformal ini tidak lebih dari 2,5 persen dari total anggaran Ditjen Pendis untuk pusat dan daerah. Sebab, mayoritas digunakan untuk anggaran yang bersifat mandatory (kewajiban berdasarkan UU), seperti BOS, sertifikasi, dan lain-lain.

Persoalannya di mana?


Terdapat beberapa kata kunci untuk mencari “biang keladi” mengapa anggaran untuk layanan Pendidikan Islam itu sangat minim. Setidaknya melalui penelaahan atas regulasi UU, baik yang menyangkut tentang pembagian keuangan pemerintah maupun UU yang mengatur item-item pendidikan itu sendiri. Di samping itu, pendekatan yang digunakan dalam afirmasi anggaran.

Secara regulatif, penulis mengamati setidaknya ada 2 (dua) UU yang perlu segera di-judical review atau diperbaharui untuk menghadirkan keadilan dalam persoalan anggaran, yakni UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen.

UU Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah mengatur secara rinci tentang pembagian alokasi APBN. Pada bagian ketiga dalam UU itu diatur mengenai tentang Dana Alokasi Umum yang pada pasal 27 ayat (1), misalnya,disebutkan secara jelas bahwa “Jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26 persen (dua puluh enam persen) dari Pendapatan Dalam Negeri Neto yang ditetapkan dalam APBN”.Angka 26 persen dari APBN untuk dibagi ke Pemda jelas ini mengurangi secara signifikan atas pembiayaan pendidikan terutama yang bersifat sentralistik. Patokan prosentase ini berimplikasi atas semakin besarnya anggaran untuk Pemda, di satu sisi, dan semakin mengecilnya bagi Kementerian/Lembaga di Pemerintahan Pusat di sisi lain, yang pada gilirannya anggaran untuk Kemenag, sebagai lembaga yang bersifat sentralistik, mendapatkan alokasi anggaran yang sangat kecil. Pemda yang telah mendapatkan alokasi 26 persen itu baru dari alokasi DAU. Belum lagi, Pemda dengan sendirinya mendapatkan alokasi 20 persen dari anggaran pendidikan dari PAD (Pendapatan Asli Daerah)-nya, sehingga Pemda mendapatkan alokasi anggaran pendidikan setidaknya 46 persen. Lebih dari itu, Pemda mendapatkan anggaran dari alokasi pendidikan dari DBH (Dana Bagi Hasil)DAK (Dana Alokasi Khusus) dan dana-dana lainnya. Alokasi anggaran yang ditempatkan di Pemda ini lagi-lagi diperuntukkan bagi layanan pendidikan sekolah (TK, SD, SMP, SMA, dan SMK), bukan untuk layanan di bawah naungan Ditjen Pendis, semisal madrasah dan pondok pesantren. Pemda dapat memberikan afirmasi kepada layanan pendidikan keagamaan, jika telah ditopang dengan Peraturan Daerah atau regulasi-regulasi yang dibuat atas dasar political will pimpinan daerahnya.Itu pun dengan berbagai catatan, yakni jika tidak dihalangi dengan sejumlah regulasi atau aturan dari Kementerian Dalam Negeri dan Badan Pemeriksa Keuangan atau inspektorat terkait yang melarang Pemda untuk membantu layanan pendidikan yang bersifat sentralistik.

UU Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen cenderung kurang memberikan porsi yang tepat terutama bagi masyarakat yang menyelenggarakan layanan pendidikan keagamaan Islam terutama pesantren, MDT dan pendidikan Alquran dan tentunya juga bagi Ditjen Pendis. Sebagaimana dimafhumi, UU Nomor 14 Tahun 2005 ini diturunkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 2008 tentang Guru yang berimplikasi pada lahirnya kesejahteraan berupa tunjangan profesi dan tunjangan fungsionalbagi guru. Meski UU ini sangat baik bagi layanan pendidikan sekolah dan madrasah, tetapi tidak memberikan efek signifikan bagi ustad-ustad pada pondok pesantren, MDT dan pendidikan Alquran. Sebab, sebagaimana didefinisikan dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen serta PP 74 tahun 2008 tentang Guru, bahwa “Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah”. Yang menjadi masalah adalah pada pembatasan bahwa yang dimaksud dengan guru hanya pengajar pada layanan pendidikan pada jalur formal saja. Ini berimplikasi pada guru yang mengajar di layanan pendidikan jalur nonformal, seperti kyai dan ustad pada pondok pesantren, MDT dan pendidikan Alquran itu tidak dikategorikansebagai guru, sehingga para ustad ini tidak mendapatkan tunjangan profesi dan tunjangn fungsional. Tegasnya, kyai dan ustad tidak mendapatkan alokasi anggaran tunjangan profesi dan tunjangan fungsional. Di sisi yang lain, UU dan PP ini menjadi dasar kebijakan mandatory yang menyerap anggaran begitu besar, tetapi tidak berdampak kepada pondok pesantren, MDT dan pendidikan Alquran.Padahal, semua masyarakat mengakui bahwa kyai dan ustad terutama pada pondok pesantren itu telah mencurahkan semua kekuatan dan konsentrasinya untuk pondok pesantren selama 24 jam. Sementara guru yang mengajar pada sekolah dan madrasah dalam kenyataannya hanya dalam durasi waktu yang lebih terbatas dibanding dengan kyai atau ustad pesantren itu. Oleh karenanya, penulis mendorong kepada komunitas pondok pesantren, MDT, dan pendidikan Alquran seperti RMI (Rabithah Ma’ahadil Islamiyah), FKPP (Forum Komunikasi Pondok Pesantren), FKDT (Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah), FKPQ (Forum Komunikasi Pendidikan Alquran), dan kalanga masyarakat lainnya untuk melakukan judical review atas UU Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, setidaknya dalam mendefinisikan guru itu. Guru tidak hanya dibatasi pada pendidikan jalur formal semata, tetapi juga pada pendidikan jalur nonformal. Jika ini terjadi, maka akan berimplikasi pada turunan berikutnya yang didorong agar kyai dan ustad juga mendapatkan tunjangan yang sama sebagaimana guru pada madrasah dan sekolah.

Pada aspek lain, yang perlu mendapat perhatian untuk mendorong keadilan anggaran ini adalah “rezim” APK (Angka Partisipasi Kasar) Pendidikan yang seringkali dijadikan basis penghitungan anggaran.Sebagaimana dimaklumi, APK sebagai salah satu indikator untuk mengukur tingkat kemajuan bangsa itu didasarkan pada seberapa besar warga bangsa itu mampu menuntaskan pendidikan pada jalur formal. Semakin besar masyarakat menyelesaikan pendidikan pada jalur formal maka semakin besar APK yang diraih; dan itu semakin banyak pula anggaran yang harus disediakan untuk layanan pendidikan jalur formal. Rezim ini berimplikasi pada tidak berlakunya layanan pendidikan jalur nonformal sebagai pengungkit APK sehingga lemahatau kurang terafirmasinya ketersediaan anggaran pendidikan yang dialokasikan untuk layanan pendidikan nonformal itu. Lagi-lagi, dengan tegas dikatakan, anggaran untuk layanan pendidikan keagamaan Islam pada jalur nonformal seperti pondok pesantren, MDT, pendidikan Alquran itu hanya mendapatkan anggaran yang sangat minim, akibat tidak dianggap berkontribusi atas APK.

Setidaknya dua regulasi, yakni UU Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, dan rezim APK inilah yang menurut hemat penulis menjadi “biang keladi” atas minimnya anggaran untuk Ditjen Pendis. Dengan ditransfernya anggaran pendidikan ke Pemda dalam jumlah yang demikian besar dan definisi guru yang hanya dibatasi kepada layanan pendidikan jalur formal itu ditengarai tidak memberikan afirmasi yang signifikan bagi Ditjen Pendis. Demikian juga dengan pola anggaran yang didasarkan atas alat ukur APK sehingga layanan pendidikan pada jalur nonformal,seperti pondok pesantren, MDT, dan Pendidikan Alquran yang demikian besar jumlahnya dan menjadi tanggung jawab Ditjen Pendis, tidak mendapatkan anggaran yang cukup. Jika regulasi dan rezim APK ini tetap dilanggengkan, maka dugaan kuat penulis, siapapun yang menjadi pimpinan bangsa, Menteri Agama, ataupun Direktur Jenderal Pendidikan Islam-nya tampaknya tidak akan berpengaruh terhadap anggaran untuk Ditjen Pendis.

Implikasi atas minimnya anggaran Ditjen Pendis di antaranya adalah besarnya lembaga-lembaga pendidikan yang berstatus swasta. Untuk kasus pendidikan madrasah (MI, MTs, MA), misalnya berdasarkan data EMIS tahun 2012/2013, dari total madrasah 46.452 lembaga itu yang berstatus swasta mencapai 42.570atau 91,6 persen, sedangkan yang berstatus negeri hanya 3.882 lembaga atau 8,4 persen saja.

Demikian juga pada lembaga pendidikan tinggi keagamaan Islam yang terdiri atas Universitas, Institut, Sekolah Tinggi dan Ma’had Aly, dari total 712 lembaga itu yang berstatus negeri hanya 55 lembaga atau 7.72 persen, sedangkan yang yang berstatus swasta 657 lembaga atau 92.28 persen. Ini menunjukkan partisipasi pemerintah terhadap layanan pendidikan Islam jauh lebih kecil dibanding dengan partisipasi masyarakat itu sendiri. Tentu konsekwensi-konsekwensi lainnya atas anggaran pemerintah terhadap layanan pendidikan Islam yang sangat minim itu berpengaruh terhadap tingkat akreditasi lembaga dan persoaan-persoalan lainnya, seperti guru dan dosen yang berstatus swasta yang jauh lebih tinggi dibanding dengan yang berstatus negeri, dan lain-lain. Apatah lagi untuk pembiayaan pendidikan keagamaan Islam pada jalur formal, seperti pondok pesantren, MDT, dan pendidikan Alquran, tentu akan menghadapi kendala yang lebih serius lagi. Oleh karenanya, persoalan-persoalan mendasar atas problematika anggaran ini patut untuk segera diselesaikan.

Penutup

Memahami uraian di atas, ternyata persoalan minimnya anggaran pendidikan Islam itu bukan dipengaruhi oleh Kemenag un sich, tetapi, setidaknya, justeru oleh regulasi dan rezim APK yang menjadi dasar pengalokasian anggaran yang tidak berpihak pada layanan pendidikan Islam. Regulasi dimaksud adalah UU Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen. Persoalan regulasi harus dapat segera dipecahkan, terutama oleh kawan-kawan legislatif, yang bisa jadi perlu didorong oleh masyarakat, terutama melalui judical review, atau inisiasi DPR sendiri untuk melakukan perubahan regulasi itu. Di sisi lain, pola anggaran yang dikoordinasikan melalui Bappenas, Kementerian Keuangan, dan lembaga-lembaga lainnya yang selalu merujuk pada APK Pendidikan telah nyata-nyata berimplikasi pada minimnya anggaran untuk pendidikan Islam, terutama untuk layanan pendidikan pada jalur nonformal seperti pondok pesantren, MDT, dan pendidikan Alquran. Jika tidak segera dilakuakn pembenahan, hingga sampai kapan anggaran untuk pendidikan Islam akan bisa berubah lebih baik? Wallahu a’lam.


Penulis adalah pengamat pendidikan Islam; alumni Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon dan Pesantren Sabilussalam Ciputat; Doktor Pendidikan Islam pada UIN Syarif Hidayatullah Jakarta