Opini

Mengenal Tradisi Syiiran

Sel, 28 Juni 2016 | 01:00 WIB

Oleh Mukhamad Khusni Mutoyyib
Al-Qur’an diturunkan di tengah masyarakat yang memiliki tradisi sastra yang sangat tinggi, oleh karena itu salah satu keunggulan dari Al-Quran adalah dapat mengungguli sastra yang telah berkembang di masyarakat. Di beberapa ayat, Allah menantang para penyair untuk membuat sepenggal ayat yang sama dengan Al-Qur’an, seperti dalam Surat Al-Baqarah (23): “Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al-Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar”.

Ayat tersebut merupakan tantangan bagi mereka yang meragukan kebenaran adanya Al- Qur’an. Ia tidak dapat ditiru sekalipun mengerahkan para ahli sastra, bahasa maupun para penyair.  

Islam bukanlah sekumpulan doktrin, akan tetapi sebuah ajaran yang dihayati dan diamalkan oleh para pemeluknya. Sehingga agama ini menjadi realitas budaya sebagai bagian dan  hasil dari tindakan para pemeluknya. 

Salah satu dari realitas budaya adalah sastra yang dihasilkan di kehidupan masyarakat Muslim. Semisal kitab-kitab yang dikarang oleh para ulama berupa karya sastra dalam bentuk nadzam syiir.

Syiiran adalah tradisi sastra yang sederhana berupa tuturan lisan atau tembang nyanyian yang berisi dawuh ajaran. Syiiran tersebar di tengah masyarakat dalam bentuk lantunan pujian di masjid maupun mushola. Biasanya dilantunkan setelah adzan untuk menunggu jamaah atau imam. Syiiran juga dilantunkan pada saat acara pengajian. 

Syiiran telah menjadi tradisi umat Muslim di Indonesia sebagai pitutur untuk mengingatkan seseorang, baik tentang kematian (dalam syiir Roda Papat Rupa Manungsa), atau bacaan istighfar yang dielaborasi dengan nasihat-nasihat lokal.

Mushola Asy-Syukron di Garung, Wonosobo Jawa Tengah, misalnya. Hampir setiap waktu sholat para jamaah selalu melantunkan puji-pujian. Berikut ini merupakan salah satu  syiir pujian yang biasanya dilantunkan di Wonosobo dan sudah melekat di telingga warga.

Astaghfirullahal ‘adzim astaghfirullahal ‘adzim astaghfirullahal adzim 
innaallaha ghofurrohim ‘sesungguhnya Allah maha pengampun lagi Maha Penyayang’

Gusti Allah kula nyuwun ngapura (2x) ‘Ya Allah saya minta ampun’ 

Sekatahe dosa kula dosa ingkang ageng kelawan ingkang alit (Sebanyak-banyak dosa dari yang kecil sampai yang besar)

Mboten wonten ingkang saget ngapura (2x) (Tidak ada yang bisa memberi maaf/pengampunan)

Kang kagungan sifat Rohman kang ngratoni sekatahe para ratu (Yang mempunyai sifat pemurah dan merajai segala raja)

Hiya iku Allah asmane (2x) (Yaitu Allah)

Syair yang terdiri atas sembilan nadzam di atas merupakan syiir istighfar. Syiir ketertundukan seorang hamba atas permohonan ampunan kepada Allah SWT.

Selain syiir istighfar, terdapat syiir lain seperti syiir puasa Ramadhan yang beriskan ajaran puasa Ramadhan beserta kemuliannya. Syiir Aswaja, berisi ajaran-ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah. Syiir sholawat seperti sholawat Nariyah, Nuril Anwar, atau I’tiraf (pengakuan) dari syair Abu Nawas.

Mukhamad Khusni Mutoyyib
Aktivis Muda NU Wonosobo