Opini

Menyikapi Pluralitas Umat Beragama

Sab, 26 Oktober 2019 | 05:15 WIB

Menyikapi Pluralitas Umat Beragama

Foto: Ilustrasi (NU Online)

Oleh Rohmatul Izad
 
Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah mengeluarkan sebuah fatwa yang mengundang kontroversi di tengah masyarakat, yaitu tentang haramnya pluralisme agama. Pertanyaannya, apa sebenarnya yang dimaksud dengan pluralisme agama?
 
Penting diketahui bahwa pluralisme agama pertama-pertama didasarkan pada sebuah fakta bahwa di planet bumi ini bukan hanya ada satu agama. Bumi dihuni oleh beragam umat beragama. Ada Islam, Yahudi, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu, dan masih banyak lagi.
 
Permasalahannya, bagaimana cara kita menyikapi pluralitas umat beragama ini? Sekurang-kurangnya, para ulama terbelah menjadi tiga jenis kategori pemikiran; yakni ada ulama yang berpikir secara eksklusif, ulama seperti ini berargumen bahwa hanya agama dirinyalah yang benar dan yang lain salah, hanya agama dirinya yang berada dalam jalan keselamatan dan agama orang lain di dalam kesesatan. Pandangan seperti ini bukan hanya ada dalam Islam, tapi juga ada di luar Islam.
 
Misalnya, sekelompok orang Kristen menyatakan Kristenlah agama yang benar dan yang lain salah. Pendapat ini didasarkan oleh sebuah pernyataan dari Yesus Kristus (Nabi Isa As.) ketika ia berkata, “Tidak ada jalan keselamatan kecuali melalui aku dan jalan keselamatan itu adalah aku”. Ungkapan ini lantas menjadi sebuah pandangan bahwa di luar Kristen adalah kesesatan.
 
Pendapat Kristen ini juga menghuni sebagian besar umat Islam dengan berkata hanya Islam agama yang benar dan di luar Islam keliru. Dasar ayatnya adalah “Innaddina Indallahil Islam” (sesungguhnya agama di sisi Allah hanyalah Islam).
 
Namun, ada pula ulama yang berpikir inklusif. Cara berpikir inklusif menyatakan bahwa Islam adalah agama yang benar, tapi tidak menutup pintu ada kebenaran dari agama yang lain.
 
Ulama seperti Muhidin Ibn Arabi pernah berkata, sang sufi melihat Allah tidak hanya di dalam Kabah dan Masjid, para sufi melihat Allah juga di dalam Gereja dan Kuil. Ini sebagai bukti bahwa ada bentuk pengakuan dari Ibn Arabi di mana kebenaran dan keselamatan bukan hanya ada di dalam Islam, tapi juga ada di luar Islam.
 
Pemikir lain seperti Inayat Khan pernah berkata, kebenaran memang satu, tapi kebenaran itu kemudian dibagi sampai habis kepada seluruh agama-agama yang lain. Dengan begitu, agama-agama yang banyak ini sebenarnya merupakan jalan menuju Allah. Yang satu memiliki keunikannya sendiri dan yang lain memiliki keunikan yang tidak sama antara yang satu dengan yang lain.
 
Dengan demikian, menurut pandangan ulama inklusif ini, seluruh agama adalah sama, seluruh agama adalah jalan-jalan menuju Allah.
 
Tapi keluar dari jebakan dan perdebatan teologis yang seperti ini, maka muncul ulama pluralis yang menyatakan bahwa di dunia ini faktanya ada banyak sekali agama. Jangankan di dunia, di Indonesia saja ada banyak agama dan aliran kepercayaan.
 
Ulama pluralis berpendapat bahwa pluralitas agama merupakan keniscayaan, yang satu memiliki jalan sendiri dan tidak boleh disamakan dengan jalan yang lain. Kelompok pluralis tidak ingin masuk dan menvonis kelompok agama orang lain sebagai sesat, kafir, dan murtad.
 
Jika kelompok eksklusif menyatakan agama yang paling benar adalah agama dirinya dan kelompok inklusif menyatakan ada kebenaran dari agama lain sekalipun mereka tidak membaca syahadat, maka kelompok pluralis tidak masuk ke persoalan teologi. Kelompok pluralis berkata bahwa setiap agama memang berbeda, karenanya, agama yang satu tidak boleh disamakan dengan agama yang lain.
 
Ketiga pandangan ini, antara eksklusif, inklusif, dan pluralis, hidup dan berkembang di lingkungan masyarakat beragama, tak terkecuali juga dalam lingkungan Islam.
 
Tentu yang sangat berbahaya adalah pandangan eksklusif dengan berkata agama dirinyalah yang paling benar. Jika pandangan ini tereksternalisasi dalam tindakan, kemudian dari ungkapan “agama dirinya yang paling benar” sampai berujung pada diskriminasi kepada orang yang berbeda agama dengan dirinya, maka pasti akan menjadi malapetaka bagi masyarakat kita yang begitu plural dan majemuk, khususnya di dalam berbangsa dan bernegara.
 
Karenanya, setiap orang sah-sah saja meyakini agamanya yang paling benar dan diridhai Allah, tapi sikap ini tidak boleh diwujudkan dalam bentuk tindakan yang berorientasi pada diskriminasi kepada umat agama yang lain. Sebab, dalam bentuknya yang paling ekstrim, pandangan eksklusif bisa berujung pada tindakan terorisme.
 
Sudah sepatutnya bagi umat Islam untuk bisa menghargai dan menghormati perbedaan. Keragaman dan perbedaan bukan alasan bagi kita untuk saling bertengkar dan menghakimi satu sama lain.
 
Biarlah orang beragama sesuai dengan keyakinannya masing-masing, kita juga beragama sesuai dengan apa yang kita yakini. Di tengah-tengah itu, keharmonisan dan cinta damai harus lebih diutamakan daripada berjuang mati-matian untuk memastikan agama mana yang paling benar.
 
Indonesia adalah rumah kita bersama. Rumah di mana setiap agama dan keyakinan bisa hidup secara damai dan harmonis. Sikap egois dan mau benarnya sendiri tidak patut hidup di bumi pertiwi ini. Karenanya, sudah sepatutnya bagi masyarakat beragama untuk menjaga kedamaian dan keharmonisan untuk masa depan Indonesia yang lebih baik.
 
Penulis adalah Dosen Filsafat di IAIN Ponorogo, Jawa Timur