Oleh: Rizka Nur Laily Muallifa
Di tengah keriuhan menjelang penyelenggaraan pesta demokrasi 17 April 2019 yang lalu, beberapa media tak melewatkan nama Said Aqil Siroj. Posisinya sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dinilai khalayak memiliki pengaruh yang relatif kuat dalam masyarakat. Apalagi dari segi keanggotaan, NU merupakan organisasi Islam terbesar di Indonesia bahkan di tataran dunia dengan keberadaan ratusan cabangnya di pelbagai negara. Nama Said Aqil muncul di ragam media seiring makin panasnya kontestasi politik negeri ini. Sikap dan ucapan-ucapannya yang tergolong berani tak sedikit memicu kontroversi.
Dalam kesempatan-kesempatan baik, Kiai Said diundang untuk diminta dengar pendapatnya bertaut dengan NU dan cuaca politik negeri saat ini. Termasuk yang menarik untuk disimak adalah kehadiran Kiai Said di dua platform media berbasis audio-visual yang diawaki dua jurnalis televisi kenamaan, Najwa Shihab dengan Catatan Najwa serta Aviani Malik dengan Opsi. Di dua kesempatan itu, pirsawan mendapati keteguhan sosok Kiai Said.
Pirsawan diajak mengenang kontestasi pilpres lima tahun silam. Konon, Kiai Said saat itu pernah diminta Prabowo untuk mendampinginya sebagai wakil presiden dan tiga kali pula Kiai Said menolak. Ketiadaan rekam jejak di bidang politik dilihat dari latar belakang pendidikan maupun pengalaman dalam aktivitas kerja politik praktis menjadi alasan kuat beliau menolak tawaran tersebut. Kiai Said tak punya ambisi berpolitik praktis melainkan bercita-cita istikamah di lajur dakwah islam moderat, baik melalui pembinaan pendidikan yang dilakukan di pondok-pondok pesantren maupun dalam masyarakat yang lebih luas.
NU secara keorganisasian sama sekali tidak melarang anggotanya untuk turut dalam gelanggang politik praktis. Pengecualian berlaku bagi Ketua Umum PBNU dan Rais Aam Syuriyah atau Dewan Penasihat. Kedua mandataris ini tidak boleh turut dalam politik praktis. Kendatipun demikian, NU bukanlah organisasi yang memisahkan diri dari politik dalam arti seluas-luasnya. Sejak mula pendiriannya pada tahun 1926, NU menganggap politik sebagai hal baik yang perlu diperjuangkan. Pemilu tahun 1955 dan 1971 mencatat NU sebagai partai peserta kontestasi pemilu.
Berikutnya, pada tahun 1984 tepatnya saat Gus Dur menjabat sebagai ketua umum, organisasi islam ini resmi menjadi organisasi non partai dan memilih cara lain untuk berkontribusi dalam urusan politik kenegaraan Indonesia. Kita kemudian mengenalnya dengan istilah politik kebangsaan. Politik yang berangkat dari sikap hormat dan rasa kepemilikan terhadap segala perbedaan yang ada di Indonesia dan memiliki tujuan sama membangun sebuah bangsa yang beradab. Bangsa yang berpijak di atas kepentingan semua golongan, berkemanusiaan, dan adil.
Politik kebangsaan ini pada gilirannya dihadapkan pada tantangan kecil yang besar. Yaitu munculnya sekelompok kecil orang yang menggunakan asas-asas demokrasi justru untuk mengkampanyekan nilai-nilai yang jauh dari demokrasi. Kelompok kecil yang mengatasnamakan agama –islam— untuk meraih simpati masyarakat dengan mereduksi nilai-nilai keagamaan yang selama ini dihidupi masyarakat Indonesia. Islam yang ramah, toleran, moderat berubah citra menjadi islam yang berang, reaksioner, intoleran, bahkan radikal. Kejayaan media sosial yang bebas dikendalikan orang perorang merupa ceruk memupuk pemahaman Islam berkedok 'jihad' guna memerangi segala yang dianggapnya thogut. Tantangan yang muncul dari kelompok kecil ini berpotensi menjadi kekuatan besar di masa yang entah kapan apabila gerakannya yang militan tak sanggup kita saingi.
Kaum Muda Menjelang Pemilu
Arus informasi yang seperti bah datang di segala musim membuat sebagian kaum muda kehilangan simpati pada politik praktis. Beberapa kaum muda yang belum yakin untuk turut memberikan suara pada pemilu pertengahan bulan nanti semakin kehilangan arah. Menghadapi kenyataan pendukung fanatik dari kedua kubu hampir tak dapat dibedakan. Narasi-narasi kampanye dengan balutan agama dan moralitas tumpang tindih. Berlomba-lomba menunjukkan kubu yang didukungnya lebih agamis, lebih islami.
Intoleransi dan kemudian radikalisme tak malu-malu lagi hadir kepada publik. Menganalogikan pemilu sebagai perang, latah mengkafirkan lawan politik, memelintir ucapan sekian ulama untuk kepentingan politik elektoral kita temui hampir setiap hari. Pertemuan-pertemuan yang menggalang sekian massa dari seluruh penjuru negeri acapkali disertai dengan ceramah provokatif dan intimidatif. Sejak kontestasi Pilkada Jakarta pada 2017 lalu, format kampanye sedemikian rupa tetap diamini sebagai strategi untuk memenangkan suara rakyat Indonesia yang sejatinya dominan beragama islam.
Sementara itu, di kalangan kaum muda yang disebut-sebut suaranya masih mengambang atau belum bisa dipetakan pilihannya jatuh kepada kubu sebelah mana narasi soal golongan putih (golput) makin menggoda iman. Golput ibarat oase bagi kekeruhan yang diakibatkan seteru pendukung fanatik kedua kubu. Kecenderungan untuk suka nyeleneh, berbeda dengan kebanyakan orang (terutama yang telah mapan secara usia dan tak jarang menyebalkan bagi kaum muda) serta ketidaksepakatan atas narasi-narasi kampanye kedua kubu yang memperdaya agama dan moralitas menciptakan paduan kuat bagi sebagian kalangan muda untuk cenderung melirik golput.
Akhir Maret 2019, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menandaskan lagi bahwa golput itu haram. Sebagian kaum muda merespons imbauan tersebut dengan senyum seliris puisi. Sama seperti puisi, senyum itu sungguh multitafsir dan bebas tafsir.
Wallahu a’lam bishawab. Tsah!
Rizka Nur Laily Muallifa menyebut dirinya sebagai 'pembaca tak tahan godaan'. Saat ini dalam masa-masa riang setelah menerbitkan puisi bersama beberapa kawan. Buku puisi itu berjudul 'Menghidupi Kematian' (2018).