Opini HUT KE-72 RI

Merdeka di Era Digital

Sen, 21 Agustus 2017 | 03:00 WIB

Oleh Muhammad Sulton Fatoni
Era digital saat ini telah menggiring masyarakat mempunyai kesadaran informasi dan kegiatan sosial yang tidak pernah ada pada masyarakat tradisional sebelumnya. Sisi positif era digital di Indonesia adalah telah memaksakan bergulirnya proses demokratisasi dan kesetaraan informasi di tengah dominasi politik. Berarti telah terjadi perkembangan partisipasi rakyat di semua sektor kehidupan, termasuk ekonomi dan politik dan berkurangnya praktik-praktik otoriter dan hal ini berpotensi mendorong kemakmuran masyarakat secara cepat (Adam Przeworski:1993).

Era digital bisa dimaksimalkan di tengah relasi demokratisasi dan perubahan ekonomi yang dapat dilihat dari studi transformasi rezim yang berorientasi makro. Memang saling terkait antara era digital dan demokrasi yang secara tipikal merupakan konsekuensi dari pembangunan ekonomi, transformasi struktur kelas, peningkatan pendidikan dan semacamnya. Negeri ini pernah terpuruk pada paruh kedua 1997 yang telah menggoyahkan ekonomi (Anne Booth: 2001).

Harga-harga melonjak tinggi, kurs rupiah merambat naik, hutang luar negeri naik berlipat-lipat, dunia perbankan bank-bank berada terpuruk, dan indikasi-indikasi kebangkrutan ekonomi lainnya. Bersamaan dengan itu Indonesia mulai menemukan titik terang demokratisasi sejak tumbangnya Presiden Soeharto dari tampuk kekuasaannya pada 1998. Demokrasi tidak sebatas suatu sistem yang telah mencapai perimbangan kekuasaan yang pelik antara lembaga-lembaga politik dan kekuatan-kekuatan sosial yang dinamis. Lebih dari itu, ia adalah acuan gagasan bagi orang-seorang dalam semua dimensi kegiatannya.8 Tentu dalam proses tersebut terdapat kontribusi teknologi informasi dan dunia digital.

Era digital saat ini terlanjur diposisikan sebagai pintu masuk bagi perubahan ekonomi menuju ke arah yang lebih baik, terutama bagi masyarakat kecil. Tentu ini terobosan di tengah ekonomi di Indonesia yang pada kenyataannya masih dikuasai oleh segelintir orang dan status quo. Beberapa alasan yang mendorong hal ini terjadi. Pertama, era digital terlanjur perkasa di hadapan siapa saja kecuali di tangan anak-anak muda yang kreatif yang kemudian tumbuh menjadi kekuatan baru yang sukses. Di sisi lain negara belum mampu menjaga keseimbangan antara pembangunan institusi politik dan pesatnya perkembangan institusi-institusi ekonomi digital. Percepatan dunia digital tidak secara otomatis berimplikasi positif kepada perilaku politik yang mendukung perubahan ekonomi menjadi lebih baik. Tradisi yang sebenarnya sudah lama terjadi, Dulu di era Orde Baru juga terjadi kelambanan di bidang politik dengan alasan memprioritaskan perbaikan ekonomi sebagai alasan langkah balik dari Orde Lama yang terlalu mengabaikan bidang ekonomi tapi juga mencampurinya (Sigmund Neumann: 1980).

Kedua, era digital telah memberikan perlakuan yang sama berbanding terbalik dengan proses demokratisasi di Indonesia yang masih tidak bisa melepaskan diri dari pola patron-klien yang bersifat tertutup dan berkelompok terbatas (Richard Borsuk: 2001). Akibatnya, peluang usaha, fasilitas dan manfaat regulasi ekonomi yang semula tidak bergulir pada lapisan massa yang besar jumlahnya saat ini menjadi lepas bebas. Dulu segelintir penguasa aset produktif merasa aman di dalam sistem tertutup namun sekarang mereka harus survive di tengah gempuran anak muda yang akrab dengan era digital. Zaman sudah berubah di mana tak ampuh lagi jaringan ekonomi-politik yang tertutup bercirikan korporatisme di mana Pemerintah memainkan peran sebagai sumber regulasi, lisensi, dan fasilitas, dimainkan secara tertutup untuk kalangan terbatas.

Ketiga, era digital telah menyadarkan masyarakat untuk mencari celah mengimbangi kekuatan politik yang dikendalikan segelintir elite. Akhirnya ketergantungan masyarakat terhadap elite politik di era digital berkurang drastis. Kekuatan politik dan konglomerasi yang terpusat tidak lagi menjadi faktor paling menentukan dalam perubahan sistem dan struktur sosial ekonomi.

Maka akan lebih mendidik mengakui bahwa era digital saat ini telah memberi arti kepada perubahan sosial budaya. Proses demokrasi  saat ini  sedikit demi sedikit mampu menggeser "status quo” ekonomi. Watak perekonomian Indonesia yang dulu beraroma “imperialisme” sudah bergerak pupus. Sebenarnya kedigjayaan era digital ini bukan cuma fenomena di Indonesia saja tetapi seluruh negara-negara berkembang sehingga implikasinya terhadap perubahan sosial budaya secerah yang terjadi di negara-negara maju.

Era digital telah mengurai kerumitan masyarakat Indonesia sehingga mulai berdaya untuk tidak lagi terjabak dalam proses-proses perubahan yang hanya berfungsi ritual. Karena itu kenyataan ini pun menyeret Pemerintah untuk tidak lagi menjalankan fungsi secara minimal agar tidak kehilangan fungsi substansialnya. Era Pemerintah prosedural telah usang. Tuntutan politik substansial menjadi pilihan satu-satunya untuk memecahkan berbagai persoalan sosial ekonomi. Kesenjangan, permusatan aset produktif, kemiskinan dan pengangguran yang meluas tidak saja memerlukan relaksasi pengembangan mekanisme pasar, tetapi juga keputusan-keputusan politik yang tepat yang hanya bisa ditempuh dengan menjunjung tinggi substansi demokrasi. Jika di era digital ini masih nekat mengambil keputusan ekonomi politik yang “anti digital” pasti akan menggiring sistem ini tergelincir lebih dalam lagi dibanding yang pernah dirasakan di era-era sebelumnya.

Era digital itu dibangun dengan biaya yang sangat besar. Karena itu tidak berlebihan jika kado terbesar kemerdekaan Indonesia tahun ini adalah era digital.  Maka akan tidak proporsional jika merayakan kemerdekaan masih sebatas ritual dan prosedural. Kelompok besar masyarakat mulai ke tengah maka itulah kemerdekaan. Telah lahir kesadaran bahwa status quo ekonomi   adalah ganjalan yang memicu kesenjangan dan kepincangan penguasaan aset produktif.

Di hari kemerdekaan ini Indonesia perlu merumuskan visi digitalnya. Salah satu yang dapat dijadikan stategi dalam membangun visi digital adalah—meminjam istilah Anthony Giddens—dengan menempuh “jalan ketiga”. Pola pikir Anthony Giddens tentang  “jalan ketiga” merupakan alternatif untuk menutupi kelemahan demokrasi yang berkembang saat ini yang telah melahirkan kelompok kecil yang menguasai aktivitas perekonomian dunia dari hulu sampai ilir serta di sisi lain ketidakmampuannya mengangkat kelompok besar untuk bangkit dari keterpurukan ekonomi.

“Jalan ketiga” menginspirasi pelaku ekonomi dari kalangan UKM (Usaha Kecil dan Menengah) untuk merangsek ke tengah aktivitas pasar belum mengandung prinsip keadilan serta jauh dari  sempurna. “Jalan ketiga” dapat dijadikan pisau analisa untuk mendelegitimasi struktur pasar yang telah bersifat monopoly powers sebagai implikasi dari liberalisasi ekonomi.

Penguasaan teknologi informasi sebagai prasyarat memasuki era digital itu penting untuk ikut andil dalam proses delegitimasi struktur pasar yang bersifat monopoly powers mengingat komitmennya terhadap UKM sangat rendah. Monopoly powers kental dengan inefesiensi ekonomi berhadapan dengan ekonomi digital yang sangat efisien.  Jika dulu terjadi peningkatan dislokasi sosial di kota-kota besar yang menjadi tempat utama pelaku ekonomi kuat memburu keuntungan, kini ekonomi digital yang digerakkan masyarakat kecil pun mampu berkembang pesat di kota-kota besar. Dalam konteks ini, visi digital teori “Jalan Ketiga” adalah kemitraan antara negara dan masyarakat untuk membangkitkan perekonomian masyarakat secara luas. Giddens menegaskan (2000), “Third way politics has very wide purchase, since parties or goverments all over the world have to respond to the fact that the other two ways are no longer applicable.”

Maka visi era digital saat ini bukan berarti apriori terhadap kekuatan lama atau status quo, tapi lebih pada penciptaan peluang yang sama bagi seluruh masyarakat, pembukaan dan perluasan akses perekonomian dan politik bagi  masyarakat luas serta komitmen Pemerintah atau negara atas sikapnya yang menempatkan masyarakat sebagai mitra. Lantas dalam tataran aplikatif, model perekonomian seperti apa yang dapat dijalankan? Selanjutnya silakan didiskusikan. Merdeka!


*) Ketua PBNU; Dosen Sosiologi Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia