Opini

Merkantilisme: Fakta Perbedaan Barat dan Muslim Memandang Pasar

NU Online  ·  Kamis, 24 Januari 2019 | 14:30 WIB

Merkantilisme: Fakta Perbedaan Barat dan Muslim Memandang Pasar

Ilustrasi (via fee.org)

Oleh Muhammad Syamsudin

Sarjana skolastik terdiri atas sarjana yang mengabdi pada gereja. Tugasnya mengadopsi semua pemikiran cendekiawan Muslim saat lalu menterjemahkannya menurut perspektif rohaniawan gereja dan dipergunakan untuk mempertahankan eksistensi gereja akibat gelombang sekulerisasi di dunia Barat yang mulai meninggalkan gereja dan ajaran ruhaninya. Kemunculan sarjana skolastik ini bukannya tanpa alasan, melainkan karena faktor hegemoni gereja yang berlaku ke semua relung termasuk wilayah sains yang dalam beberapa hal fatwa ruhaniawan gereja saat itu banyak bertentangan dengan ilmu pengetahuan. Coba memori kita kembali diputar pada apa yang pernah dialami oleh Copernicus dan Galileo pra gelombang renaissance! Itulah bagian dari latar belakang munculnya sarjana skolastik dan gelombang sekularisasi.

Sudah bukan rahasia lagi betapa besar kontribusi cendekiawan Muslim pengaruhnya terhadap alam pemikiran ekonomi sarjana skolastik Barat. Hal ini sekaligus menunjukkan titik terang dominasi Islam terhadap perkembangan pemikiran ekonomi di awal Abad Pertengahan (middle age). Besarnya dominasi Islam dalam ilmu pengetahuan khususnya ekonomi secara tidak langsung telah menisbahkan bahwa negeri Muslim adalah sebuah negeri dengan kekuatan super power di Abad Pertengahan sehingga banyak memberi warna pada ornamen kebudayaan dan peradaban. 

Menyandang status super power bukan berarti tidak memiliki tantangan. Justru karena gelar ini maka timbul reaksi bagi pihak yang merasa berseteru (Barat) untuk menunjukkan perilaku kontra produktif. Mungkin, gambarannya adalah hampir sama dengan kondisi abad kini, di mana Cina merupakan kekuatan baru super power. Kekuatan ini mau tidak mau mengundang reaksi seteru bagi negara yang merasa terancam oleh pengaruhnya. Ya siapa lagi kalau bukan negara yang sudah mendaku diri sebagai kekuatan adidaya dengan ditopang kekuatan super power angkatan bersenjatanya. Kira-kira seperti itulah reaksi yang ditunjukkan terhadap dunia Muslim di abad pertengahan. 

Dalam rangka merespons terhadap kemajuan bidang ekonomi negeri Muslim, Barat memberi respons dengan memunculkan paradigma baru dalam memandang pasar. Di kalangan Muslim, pasar dan perdagangan keduanya memiliki basis pemikiran bahwa antara kedua pihak yang bertransaksi harus saling menerima keuntungan. Pembeli dan penjual harus sama-sama mendapat manfaat, dan bahkan konsep kemanfaatan ini menjadi bagian dari syarat sahnya perdagangan. 

Coba Anda buka kembali definisi jual beli pada kitab fiqih Anda! Anda buka bab yang menjelaskan syarat sah jual beli! Syarat sahnya perdagangan (transaksi) adalah barang yang dijual harus suci, bermanfaat, diketahui kadar, jenis dan ukurannya dan transaksi harus dibangun saling ridha antara kedua pelakunya. Fondasi dasar ini rupa-rupanya tidak ditemui pada konsep pemikiran ekonomi Barat, meskipun ilmu ekonomi yang diadopsi adalah berasal dari cendekiawan Muslim. Mengapa konsepnya bisa berubah setelah jatuh ke tangan sarjana skolastik? Ada beberapa hipotesis terkait hal ini. 

Pertama, sejak awal para sarjana skolastik sudah memiliki orientasi bahwa mereka harus mempertahankan dominasi gereja dan berusaha mereduksi pengaruh peradaban pendatang yang dibawa oleh para sarjana Muslim. Kedua, sebagai langkah yang dirasa tepat oleh mereka guna mereduksi pengaruh tersebut maka harus menempuh jalan merekonstruksi bahasa simbol ilmu pengetahuan itu sendiri. Misalnya, jika jual beli dalam dunia Muslim didefinisikan sebagai “akad pertukaran barang antara dua pelaku transaksi sehingga terjadi perpindahan kepemilikan,” maka jual beli di tangan sarjana skolastik diredifinisikan sebagai “perang dagang.” (Islahi, Contributions of Muslim Scholars to Economic Thought and Analysis (11 - 905 After Hijriah /632-1500 A.D), Jeddah: Islamic Economic Research Centre King Abdul Aziz University, 2004: 82)

Mari kita flashback pada catatan sejarah bangsa kita khususnya dan Nusantara pada umumnya! Ketika pedagang Barat datang ke bumi Nusantara pada abad ke-14 pascaekspedisi Vasco Da Gama, mereka membawa misi Gold, Gospel and Glory yang kemudian diterjemahkan oleh ahli sejarah kita sebagai misi Kejayaan, Kemakmuran dan Misi Suci. Praktik dari misi mereka ini adalah dalam langkah untuk kejayaan; mereka harus berani dan bisa menguasai sumber daya (imperialisme dan kolonialisme). Sumber daya yang terpenting bagi mereka adalah “bahan baku yang murah”, “jalur perdagangan yang singkat dan vital” serta “angkatan bersenjata”. Mungkin saudara pembaca akan bertanya, apa hubungannya dengan “angkatan bersenjata”? 

Bagaimanapun juga, untuk menguasai sumber daya serta mengamankan jalur perdagangan agar tidak dimasuki oleh pihak lain, maka mereka harus memiliki angkatan bersenjata yang bersedia menjaganya. Pihak lain yang masuk ke jalur perdagangan yang dikuasai harus membayar pajak kapal dan barang. Dengan pajak, mereka mendapat pemasukan keuangan bagi negara. Jadi, jelas bukan hubungan ketiga elemen “bahan baku”, “jalur perdagangan” dan “angkatan bersenjata tersebut” di atas? Itulah perdagangan menurut definisi mereka setelah awalnya mendapatkan definisi yang beradab dari Islam. Sudah pasti, konsep agama mereka sebenarnya juga tidak menerima akan hal ini. Namun, seiring gelombang sekulerisme yang juga besar, para pedagang Barat ini menempatkan ajaran ruhani pada posisi sinegok dan gereja saja sehingga tidak mengatur relung peradaban manusia yang dibangun. (Islahi, Contributions of Muslim Scholars to Economic Thought and Analysis (11 - 905 After Hijriah /632-1500 A.D), Jeddah: Islamic Economic Research Centre King Abdul Aziz University, 2004: 83)

Sekali sebagai catatan utama kita, adalah bahwa definisi “perdagangan” telah mengalami dekonstruksi di tangan sarjana skolastik. Definisi perdagangan berubah dari transaksi saling-menguntungkan dan terhindar dari penipuan berubah menjadi “upaya untuk menguasai suatu sumber daya dan konsumen.” Di tangan sarjana skolastik ini, “perdagangan” bukan semata kegiatan mencari keuntungan, melainkan juga bagian dari strategi penguasaan melalui usaha “perang dagang”. Mazhab ekonomi sarjana yang memiliki paham ini dalam teori ekonomi kontemporer konvensional dikenal dengan istilah mazhab “merkantilis”. Terjadinya dimulai abad ke-14. Silakan membandingkannya dengan ekspedisi Vasco Da Gama yang datang ke Indonesia pada tahun 1425 M. Apa kira-kira relevansinya ekspedisi tersebut dan kaitannya dengan perang dagang? Agar hal ini tidak hanya sekedar sebagai asumsi, maka perlu kiranya dihadirkan bukti ilmiah. Mari kita tengok dan sajikan data sejarah bangsa kita!

Awal Abad ke-15, datang ekspedisi Portugis ke Nusantara. Mereka datang dengan misi dagang namun membawa tentara perang untuk menaklukkan daerah yang dipandang potensial menanamkan pengaruh mereka. Mereka datang dan menguasai Goa (Makassar) yang diawali dengan perseteruan dengan Sultan Hasanudin. Di Malaka, pada tahun yang sama mereka menaklukkan Kerajaan Samudera Pasai dan mendapat perlawanan dari Sultan Malik al-Saleh. Baik Goa dan Malaka, keduanya berhasil dikuasai oleh Portugis di bawah pimpinan Gubernur Portugis saat itu, yaitu Alfonso de Abuquerque pada tahun 1511 M. Yang memantik pemikiran kita, adalah mengapa mereka harus bersusah payah menguasai Goa dan Selat Malaka? Ternyata ada kronologi sejarahnya yang ada kaitannya dengan jalur perdagangan.

Sebagaimana diketahui bahwa Selat Makassar dan Selat Malaka, keduanya sudah lama menjadi jalur perdagangan yang ramai sejak Abad Pertengahan. Kedua jalur ini banyak dikuasai dan menjadi jalur dagang yang utama bagi Dinasti Mamluk yang berkedudukan di Mesir. Para saudagar dari dinasti ini, umumnya mendapatkan bahan baku rempah-rempah dan sutera adalah dari Nusantara. Rempah-rempah biasanya lantas di jual ke Venice. Sebagian lagi di bawa ke Mekah dan Kairo. Menguasai Selat Malaka dan Selat Makassar oleh Portugis, dianggap dapat memutus jalur singkat perdagangan pedagang Muslim sehingga memaksanya harus melewati Samudera Hindia yang ganas dan ombaknya yang besar serta perjalanan yang menjadi dua kali lipat jauhnya sehingga dapat berakibat meningkatnya biaya produksi dan sekaligus tujuan melemahkan kekuatan tentara Muslim saat perang salib diakibatkan pasokan sumber daya mereka menjadi berkurang. Jadi, wajarlah kemudian, apabila tentara Muslim pada abad ke-14 saat itu menderita banyak kekalahan dalam peperangan m
ereka, bahkan diusir dari Spanyol. (Islahi, Contributions of Muslim Scholars to Economic Thought and Analysis (11 - 905 After Hijriah /632-1500 A.D), Jeddah: Islamic Economic Research Centre King Abdul Aziz University, 2004: 83)

Kasus pendangkalan Selat Malaka membawa imbas pada ramainya para pedagang melewati Selat Banten. Belanda di bawah pimpinan ekspedisi Cornelis de Hotman memandang posisi jalur strategis itu sehingga kemudian datang kembali ke Nusantara dengan membawa angkatan perang yang besar untuk menguasai Jayakarta / Batavia (sekarang Jakarta) lewat VOC (Verenidging Ost Compagnie), yang oleh para pejuang kemudian disingkat menjadi Kompeni. VOC awalnya berdiri dengan misi dagang dan sebagai kantor dagang. Lama-lama mereka berusaha menanamkan pengaruhnya dan berusaha menguasai Selat Banten yang kemudian mendapat perlawanan keras dari Sultan Agung Hanyakrakusuma dari Mataram sehingga timbul Perang Batavia dengan akhir kekalahan yang memaksa Sultan Agung harus mengakui dominasi Belanda di Batavia. 

Paham merkantilis dengan topik besar “perang dagang”-nya adalah bukti upaya Barat menanamkan pengaruhnya sebagai akibat perlawanan terhadap pengaruh budaya Arab-Islam. Ujung awalnya adalah berada di tangan sarjana skolastik yang berusaha mendefinisikan ilmu pengetahuan yang awalnya bercita rasa Muslim (dengan basis saling menguntungkan) menjadi bercita rasa perang, meski berkamuflase sebagai perang dagang. Wallâhu a’lam bish shawab.


Penulis adalah Pengasuh Pesantren Hasan Jufri Putri P. Bawean, JATIM dan Peneliti Bidang Ekonomi Syariah-Aswaja NU Center PWNU Jatim.