Opini

Mimpi Perpustakaan Besar NU

Kam, 29 Oktober 2015 | 23:03 WIB

Oleh: Ahmad Naufa Kh. F.
Allah itu Maha Bid'ah (badi'us samaawaati wal ardl). Manusia diciptakan diantaranya untuk banyak mereproduksi bid'ah, yaitu pemikiran-pemikiran baru, penemuan-penemuan baru dengan instrumen pengetahuan dan riset. Hal itu diperlukan sebagai tanggung jawab ideologis manusia atas Tuhan, yaitu khalifah fi al-ard.
<>
Islam sebagai agama yang ditutunkan Allah tidak hanya mengajarkan tentang ubudiyah, tetapi juga muamalah. Kesalehan tidak hanya diukur secara personal, namun juga sosial. Kesalehan sosial, menuntut manusia untuk menciptakan produk pemikiran, penemuan, dan berbagai bid'ah yang bisa menjawab problematika keummatan.

Pertanyaannya kemudian, mengapa kejayaan intelektual, saintis dan filosofis abad pertengahan kini seakan hilang tak terwariskan? Inilah pertanyaan sulit yang sampai kini seakan tak terpecahkan.

Ayat-ayat dihafal, namun seakan kehilangan konteks dan relevansinya dalam menjawab realitas zaman. Padahal, hampir semua umat Islam hafal dan selalu berdoa: "Rabbana aatina fid dunya hasanah, wa fi al-aakhirati chasanah wa qiena 'adzabannar". Namun, pemaknaan dan improvisasi ayat tersebut seakan langsung dipotong kepada "fi al-aakhirati hasanah", dengan melewati "fiddunya hasanah".

Umat Islam Nusantara juga punya jargon: "al-muhafaadlatu ala al-qaadimi as-shaalih wa al-akhdlu bi al-jadid al-ashlah", melestarikan nilai lama yang baik dan mengambil nilai baru yang lebih baik lagi". Namun demikian, melestarikan nilai lama yang baik yang masih mendominasi, belum banyak bengambil nilai-nilai baru, apalagi memunculkan dan menggagas nilai dan penemuan baru.

Pasca-runtuhnya "negara-negara Islam" di Timur Tengah karena perang saudara, seyogyanya Indonesia menjadi pusat pengembangan pengetahuan muslim dunia. Hal ini bisa dicapai dengan meninggalkan problem khilafiyah-receh yang selama ini melekat dalam wacana dan menjadi arus-utama dinamika umat Islam Indonesia.

Produktivitas Islam pada masa Khalifah Umar bin Khattab yang banyak memberi solusi dan meciptakan bid’ah bermanfaat harus dikembalikan dengan kekuatan semangat membangun pengetahuan. Di masa Bani Abbasiyah, semangat juga dimiliki oleh seorang Khalifah bernama Al-Rasyid dengan membuat Baitul Hikmah yaitu Rumah Pustaka dan mengantarkan pada masa keemasan Islam (the golden of Islam) pada masa Al-Makmun. Para cendikiawan dan inetelektual muslim yang menterjemahkan tulisan-tulisan filsuf Yunani, Romawi kedalam bahasa arab mendapat penghargaan yang sangat tinggi dari Al-Makmun.

Mendirikan Perpustakaan Besar

Salah satu kekuatan Islam terbesar dunia, Nahdlatul Ulama sebenarnya mulai bergerak ke arah itu: kemajuan teknologi dan sains. Hal ini ditandai dengan gencarnya pembangunan universitas dan sekolah dilingkungan NU. Namun demikian, pergerakan itu masih relatif lambat, jika dilihat dari fakultas atau prodi yang yang dibuka masih banyak berkutat soal agama dalam arti yang sempit. NU perlu menggagas jurusan-jurusan ilmu eksak yang ke depan diharapkan mampu menjawab realitas dan problematika keummatan.

Selain itu, akan sangat menarik dan mengagumkan, jika NU memilki perpustakaan besar yang menyajikan pelbagai referensi pengetahuan secara komprehensif. Organisasi sebesar NU, sepertinya sudah saatnya memiliki itu, sebagai upaya membangun “Baitul Hikmah” yang baru.  Pengadaan dan penerjemahan buku dari yang lokal sampai dunia, klasik sampai kontemporer, islam sampai pelbagai agama, khususnya ilmu-ilmu eksakta yang akan banyak membantu penelitian dan pengembangan intelektual.

Perpustakaan besar itu akan menjadi “Baitul Hikmah” ala Al-Rasyid di Indonesia yang mendewasakan pengetahuan, menghasilkan berbagai penemuan dan rujukan referensi-referensi yang bisa diakses siapa saja. Seperti kita tahu, perkembangan dunia Islam mengalami perkembangan yang sangat pesat ketika abad pertengahan dengan ilmu pengetahuan. Baitul Hikmah telah mendorong perubahan yang sangat luar biasa di dunia Islam, seperti Ilmu Mantik, kedokteran, Fisika, ilmu sosial-humaniora dll.

Dengan pengupayaan perpustakaan itu, usaha untuk mengembalikan kejayaan Islam abad pertengahan ke masa sekarang, atau menjadikan Islam Nusantara sebagai rujukan Islam dunia, setapak-demi setapak kemudian akan menemukan momentumnya. Ini bukanlah wacana yang muluk-muluk, mengingat kepustakaan yang dimiliki berbagai lembaga pendidikan formal baik dilingkungan NU maupun pesantren masih sangat minim. Setidaknya, ada perpustakaan besar yang mampu menjadi pusat pengetahuan warga Nahndliyyin khususnya, masyarakat pada umumnya dan bahkan dunia.

Dengan nahkoda Ketua Umum hasil Muktamar ke-33 di Jombang KH Said Aqil Siroj, yang berjanji akan fokus pada visi pengembangan kualitas umat, pengembanngunan ekonomi dan tidak akan ikut-campur dalam urusan politik praktis, sepertinya wacana pembangunan perpustakaan besar bukanlah hal yang muluk-muluk. Semoga, mimpi itu kelak akan terwujud, syukur-syukur sudah berdiri megah ketika NU memasuki satu abad: tahun 2026. Jika itu terwujud, tentu akan menjadi sejarah dan kado terindah.


Ahmad Naufa Khoirul Faizun, Santri Pondok Pesantren An-Nawawi Berjan Purworejo, Wakil Ketua PW IPNU Jawa Tengah.