Opini ESAI RAMADHAN

Mungkinkah Pesantren Tanpa Sanad?

Sen, 10 April 2023 | 07:00 WIB

Mungkinkah Pesantren Tanpa Sanad?

Sanad menjadi semacam dokumentasi sekaligus garansi “watsiqah” (piagam) akan orisinalitas keilmuan yang terus dipelihara oleh umat Islam dari generasi ke generasi. (Foto ilustrasi: Dok. PP Sirojuth Tholibin Brabo)

Pada mulanya, istilah sanad popular dalam ilmu hadits, yaitu rangkaian perawi yang meriwayatkan hadits (matan), sehingga sampai kepada Nabi. Melalui sanad, kita menjadi tahu hubungan antara guru-murid yang sebenarnya. Melalui ilmu rijalul hadits, hubungan antara perawi sebelum dan sesudahnya dapat diketahui secara pasti, apakah mungkin atau tidak. Lebih dari itu, dalam sanad diketahui, dari mana seseorang mendapatkan pengetahuannya dan kepada siapa saja ia belajar. Dengan hubungan seperti ini, maka kita dapat melacak asal-usul keilmuan seseorang.

 

Karenanya, sanad memegang peranan penting dalam transmisi pengetahuan dalam Islam. Tanpa sanad, bagai burung tanpa sayap. Otoritas seorang ulama di antaranya ditandai dengan sejauh mana ia memiliki sanad keilmuan, sehingga, pesantren dengan kiai-pengasuhnya mendapat pengakuan. Rasanya tidak sah, pesantren tanpa sanad, kecuali kalau pesantren tersebut hanya sebatas mengajarkan ilmu seperti di pendidikan umum.

 

Melalui sanad inilah kemudian dalam sejarahnya para periwayat hadits melakukan rihlah mencari satu atau dua hadits dari para guru yang memiliki sanad tinggi (sanad ali). Khatib al-Baghdadi dalam al-Rihlah fi Thalab al-Hadits merekam sejumlah kisah tentang para pencari riwayat hadits yang berkelana mencari satu atau dua hadits dan memiliki hubungan sanad guru-murid dengan periwayat haditsnya.


Tantangan Pesantren

Ungkapan “sanad merupakan bagian dari agama. Andaikan tidak ada sanad, maka orang akan berbicara semaunya sendiri” memang bukan hadits Nabi saw. ia hanya sebuah maqalah alias pendapat yang dinisbatkan kepada Abdullah bin Mubarak (w. 797 M). Maqalah yang dinisbatkan kepada ulama ahli hadits kelahiran kota Merv, Turkmenistan, ini begitu masyhur dan kokoh. Ungkapan tersebut hendak menegaskan bahwa tradisi keilmuan dalam Islam hanya bisa terjaga melalui transmisi sanad.


Pada hakikatnya isnad merupakan salah satu hal yang menunjukkan betapa tingginya kedudukan ilmu bagi umat Islam. Sanad menjadi semacam dokumentasi sekaligus garansi “watsiqah” (piagam) akan orisinalitas keilmuan yang terus dipelihara oleh umat Islam dari generasi ke generasi. Melalui sanad, otoritas dan otentisitas keilmuan seseorang dapat dipertanggungjawabkan secara akademik.

 

Pesantren merupakan institusi pendidikan Islam garda terdepan yang mensyaratkan sanad keilmuan sebagai bagian dari mentransmisikan pengetahuan. Tradisi inilah yang kemudian menghubungkan sekaligus membentuk jaringan keilmuan antar satu pesantren dengan pesantren lainnya.  Pada gilirannya pesantren tidak dapat dipisahkan dengan tradisi transmisi pengetahuan melalui jalur sanad keilmuan.

 

Kendati sedemikian melekat dan kokohnya hubungan antara pesantren dan sanad keilmuan bukan berarti pesantren tidak mendapatkan “challenge” atau tantangan dari perkembangan zaman yang terus bergerak maju. Salah satunya adalah melalui teknologi informasi yang disediakan oleh internet. Di sisi lain, kemudahan mengakses informasi kian memanjakan siapa pun yang hendak mencari apa pun di internet, tak terkecuali persoalan-persoalan keagamaan.

 

Pertanyaannya, apakah belajar atau mengakses pengetahuan memang harus dengan cara transmisi sanad keilmuan? Harus berguru langsung kepada seorang guru?

 

Para ulama memakruhkan hukum seseorang yang belajar ilmu tanpa didampingi seorang guru. Baik itu dengan cara membaca kitab secara langsung atau dari teks-teks lainnya. Metode belajar tanpa disertai guru ini disebut dengan istilah al-tashif. Yaitu, seseorang mencomot teks dari buku hasil bacaannya lalu menuliskannya di sebuah shahifa/kertas dan ia mengubahnya. Karena dikhawatirkan akan adanya tashif-tashif seperti inilah, ijazah dan sanad keilmuan menjadi keharusan yang tidak bisa ditinggalkan. Hal ini terutama bertujuan untuk menjaga kesahihan ilmu-ilmu keislaman yang jauh dari penyelewengan (tahrif) dan kesalahan (aghlath).


Waryono Abdul Ghofur, Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kemenag RI