Opini

Negara Islam dan Kitab Ahkamus Shulthaniyah

Kam, 7 Januari 2016 | 10:03 WIB

Oleh Ahmad Nur Kholis
--Dalam  literatur ilmu Ushul Fiqh berjudul As-Sullam dan Al-Bayan disebutkan bahwa makna Fiqh secara istilah adalah Al-Ilmu bil Ahkamis Syar’iyyah allati Thariquha Al-Ijtihad. Pengetahuan tentang hukum-hukum syariah dengan jalan ijtihad. Hal ini menunjukkan bahwa fiqih adalah hasil interpretasi para ulama terhadap pesan yang disampaikan Allah dalam syariatnya melalui sumber utama yakni Al-Qur’an dan Hadits.<>

Syariat tidaklah boleh berubah. Siapapun tidak boleh dan tidak berhak untuk mengubah apapun dari Al-Qur’an dan Hadits. Barang siapa yang melakukan hal ini maka ia akan secara otomatis keluar dari Islam.

Akan tetapi, dalam masalah fiqih, karena hal ini berkaitan dengan interpretasi akal manusia, maka boleh saja berbeda satu sama lain. Bahkan Islam menyatakan bahwasanya perbedaan di lingkungan ummat Islam itu adalah salah satu rahmat. Hal ini disebabkan sumber pendapat dari keduanya (syariah dan Fiqh) adalah berbeda. Syariah pesan-pesan dari Tuhan dan Rasulnya, sedangkan Fiqh adalah kemampuan berpikir para Ulama. Sehingga otoritas keduanya jelas saja berbeda.

Dalam kalangan “Islam-Politik” tema yang sering dibicarakan dan menjadi tema utama adalah masalah penegakan hukum Islam melalui institusi negara. Mereka menganggap bahwa sebuah Imperium yang menaungi seluruh umat Islam adalah wajib hukumnya untuk didirikan. Hal ini berkaitan dengan kewajiban untuk menegakkan hukum Allah di muka bumi. Dan Institusi pemerintahan adalah jalannya dan kewajiban menegakkan institusi ini mengikat bagi semua kalangan umat Islam.

Kalangan “Islam-Politik” seringkali mendasarkan pendapat-pendapatnya terhadap hasil-hasil karya para ulama terdahulu untuk membenarkan pendapatnya. Mereka berargumen bahwasanya dalam ‘fiqih siyasah’ ada dalil-dalil syar’i. Kita umat Islam harus tunduk pada dalil tersebut.

Hal demikian ini dalam pandangan penulis adalah cerminan dari ketidakpahaman kelompok tersebut akan definisi (ta’rif) dari fiqih itu sendiri sebagaimana penulis jelaskan di atas. Bahwa kita harus tunduk pada dalil syariah, itu adalah benar adanya. Akan tetapi pernyataan bahwa kita harus tunduk kepada dalil fiqih hasil pemikiran para ulama itu adalah keliru, karena pemikiran ulama dalam bidang keilmuan adalah tentatif. Kebenaran yang bisa saja berubah.

Dalam dunia ilmiah, sebuah kebenaran yang dihasilkan dari ijtihad seseorang sifatnya adalah kebenaran sementara. Bisa saja sebuah kebenaran di suatu masa dianggap sebagai ‘benar’ namun di masa dan generasi yang berbeda bisa saja ‘disalahkan’. Sebuah kebenaran juga bisa tidak lagi dianggap kebenaran dalam ‘konteks yang berbeda’.

Adalah sebuah kenyataan sejarah bahwa Islam pernah berkuasa sebagai peradaban. Dan para ilmuwan dan ulama di masa itu sudah banyak dilahirkan. Siapapun, bahkan Barat sendiri tidak memungkiri hal ini. Bahkan mereka (Barat) masih menaruh penasaran yang tinggi bagaimana Islam sebagai agama mampu membawa peradaban.

Pemikiran-pemikiran tentang politik adalah termasuk diantara cabang ilmu yang berkembang dalam Islam. Beberapa karya seperti Ahkamus Shultaniyah oleh Jalaluddin As-Shuyuthi dan lainnya dengan judul yang sama banyak pula dihasilkan. Dan biasanya kitab-kitab inilah yang dirujuk kelompok ‘Islam Politis’. Dalam hal ini, maka haruslah kita meluruskan pikiran supaya tidak terjadi kerancuan dalam beragama. Sehingga tidak terjadi apa yang dinamakan “salah kaprah” dengan menjadikan hal yang sebenarnya teknis (fiqih) sebagai prinsip (Syariah) dan sebaliknya.

Lalu, bagaimana kita bersikap terhadap karya para ulama semacam Ahkamus Shulthaniyyah itu?

Sebelumnya kita harus mengerti bahwa kedua kitab itu adalah kitab fiqih yang sifatnya adalah ‘tawaran’, bukan sebagai kitab suci yang harus dilaksanakan. Ibaratnya Imam Jalaluddin As-Shuyuthi memiliki konsep tata negara dan dibukukan serta ditawarkan kepada kaum muslimin. Dengan demikian, namanya juga tawaran, maka boleh diterima dan boleh juga tidak.

Hadlratussyaih KH M Hasyim Asy’ari dalam kitabnya Risalah Ahlussunnah wal Jamaah mengatakan kurang lebih demikian: ‘Bahwasanya Al-Qur’an dan Hadits adalah pedoman dan rujukan bagi kaum muslimin, hal itu adalah benar adanya. Namun memahami Al-Qur’an dan Hadits tanpa mempertimbangkan pendapat para ulama adalah sulit atau bahkan tidak bisa.’

Pendapat demikian ini menunjukkan bahwa Hadlratussyaikh memposisikan kitab para ulama sebagai sebuah tawaran untuk dipertimbangkan, bukan sebagai nash yang harus dilaksanakan. Pola pikir demikian ini dipakai pula oleh para ulama setelahnya dan sampai saat ini ketika diadakan musyawarah dalam forum Bahtsul Masail. Yakni menempatkan pandapat Ulama sebagai sebuah tawaran untuk dipertimbangkan.

Ketika masa penjajahan Belanda berlangsung, para ulama Nahdlatul Ulama memberikan status Indonesia (Hindia Belanda) sebagai Negara Islam (Darul Islam) dengan peritmbangan bahwa pada zaman sebelum penjajahan, di sana telah ada kerajaan-kerajaan Islam. Hal ini sebagaimana terdapat dalam Kitab Bughyatul Mustarsyidin dan menurut pula kategori dari Ahkamus Shulthaniyah. Sebuah keputusan yang diambil berdasarkan pertimbangan, bukan?