Opini

New Normal: Bingung-bingung Memikirkannya

Rab, 29 Juli 2020 | 14:15 WIB

New Normal: Bingung-bingung Memikirkannya

Ilustrasi sholat jumat di era new normal. (Foto: NU Online)

Apakah Anda termasuk orang yang bingung memikirkan korona? Apakah Anda termasuk yang khawatir keluar rumah? Apakah Anda merindukan suasana seperti sediakala tanpa beban was-was ketika beraktivitas? Kalau jawabannya “Ya”, berarti kita sama. Saya bagian orang yang bingung menanggapi dan menghadapi korona dari mulai pertama korona masuk Indonesia hingga sekarang.


Melihat di luaran sana, nampaknya ketakutan terhadap korona sudah mulai luntur, apalagi dengan merebaknya new normal, ada yang mengartikan kenormalan baru, kewarasan baru dan kebiasaan baru, pokoknya serba baru. Banyak yang mengatakan kepada saya dan menunjukkan sikapnya, tidak takut lagi—sudah masuk ketahapan new normal, artinya berperilaku dan beraktivitas seperti biasanya.


Ini sedikit-banyak saya khawatirkan, new normal disalahpahami—dibolehkannya kembali secara leluasa kehidupan normal seperti biasanya, bedanya hanya sekarang pakai masker, cuci tangan, dan jaga jarak. Bagi pikiran awam seperti saya, ada satu keanehan yang menggejala, seperti ada ketidaktepatan waktu keberanian ini muncul, awal mula korona masuk ke Indonesia hingga satu bulan ke depan, kita semua menyaksikan ketakutan akut yang ada di benak setiap orang Indonesia, waktu itu kita ingat, banyak warga, banyak desa, banyak kota, yang latah menyerukan lockdown dan seruan karantina wilayah menggema di mana-mana. Bukan berarti mengecilkan, padahal kasus positif per hari belum meledak seperti sekarang.


Hasrat lockdown menyebar ke berbagai penjuru, sekolah diliburkan, santri di pulangkan, jalan masuk desa di tutup, dan kebanyakan dari kita enggan beraktivitas, sampai-sampai di sebagian kota terjadi panic buying. Ketakutan itu tidak bertahan lama, hanya beberapa minggu atau bulan saja, setelah itu ketakutan kita menjadi surut.


Anehnya, kasus positif yang meningkat tajam dan kematiannya pun tinggi, banyak orang sudah hilang ketakutannya. Padahal penyebaran korona di Indonesia belum menunjukkan penurunan yang signifikan. Pertanyaannya, apakah keberanian kita sekarang di waktu yang tepat? Atau justru ketakutan kita yang harus ditambah, karena kasus semakin banyak? Logika awamnya, semakin banyak kasus, otomatis sebarannya meluas.


Dengan itu seharusnya kehati-hatian, kewaspadaan, dan penjagaan semakin gencar. Dari sini, saya sudah bingung memikirkannya. Saya mikir apakah pikiran awam saya yang salah? Saya menolaknya, berangkat dari argumen “semakin banyak kasus, kita harus semakin menjaga diri” tidak malah bereuforia di luaran sana dengan dalih new normal. Apalagi Indonesia ini belum bisa dipastikan, apakah saat ini sudah masuk puncak penyebaran, atau belum puncak, atau menuju puncak.


Bisa dilihat dari pergolakan kasus per harinya, satu daerah sudah mulai menurun, di tempat lain meningkat, bergantian, dan tetap tidak ada penurunan, terus meningkat secara nasional. Hal ini mudah dibantah, meningkatnya kasus karena test korona yang masif. Namun, kasus melonjak tetap tidak terbantahkan. Semakin banyak test korona, kemungkinan semakin menambah. Kesimpulan pendeknya, selagi kita tidak menahan diri, kita akan semakin lama keluar dari jeratan ini. Minimal kita bisa bersabar sampai penyebarannya terkontrol. Faktanya, belum maksimal.


Selebrasi new normal sudah merambah ke seluruh bagian, walaupun pemerintah dalam seruan dan aturannya akan menerapkan new normal secara bertahap dan di kota-kota tertentu yang kasusnya sudah menurun. Tapi faktanya, tidak semudah itu, masyarakat menangkapnya berbeda. New normal diartikan sebagai kemerdekaan baru. Wajar saja, ada salah persepsi—sosialisasi yang terpotong-potong. Kalau kata Karl R. Popper, “Setiap pengetahuan yang sudah diumumkan dengan sendirinya terlepas dari monopoli pengarang dan penggagasnya, masuk dalam dunia pengetahuan obyektif.” New Normal sekarang telah menjadi ide yang otonom dan penafsiran banyak orang tidak lagi menggantung pada pemerintah. Entah ini salah siapa.


Kesalahan pemerintah adalah terlalu terbuka dalam menggagas ide new normal di tengah masyarakat yang rindu akan kebebasan dan di tengah masyarakat yang sedikit mempunyai tradisi membaca tuntas, masyarakat semakin buas keluar ke sana-sini. Kalau kata Dahlan Iskan, “New normal kelihatannya sudah seperti new year. Yang ditunggu tinggal berapa yang kena ledakan mercon.” (semoga saja tidak)


(New normal) Ini salah kaprah, di tengah wabah yang grafiknya belum turun seharusnya ide new normal bisik-bisik saja, karena wacana ini mulai digenjot juga oleh media. Awalnya, media dengan berita bombastis selalu menakut-nakuti pembaca dan penontonnya, sekarang berubah seperti tidak terjadi apa-apa, new normal terus disebarkan, karena yang laku didagang sekarang adalah itu. Banyak orang sudah tidak lagi peduli jumlah penyebaran wabah, pokoknya new normal. Pemerintah dan media sukses dalam membentuk opini ini, bahwa Indonesia baik-baik saja. Hal yang paling saya rindukan yaitu meme “kaum rebahan adalah pahlawan”, sudah jarang muncul.


Pertanyaan yang mengganggu saya sekarang, sesungguhnya korona di Indonesia itu bagaimana? Dari berbagai ide kebijakan digagas pemerintah—terkesan gonta-ganti ide dalam menyelesaikan masalah ini, sebenarnya bagaimana? Apa yang dituju? Ekonomi? Kestabilan? Dinamisasi? Kesehatan? Atau apa? Dan yang jadi sasaran itu tujuan jangka pendek apa panjang? Entah, saya bingung memikirkannya. Kalau saya boleh mengutip kata-kata Lenin, “tidak ada tindakan-tindakan revolusioner tanpa teori-teori (ide-ide) revolusioner.”


Persoalannya tidak ada sikap pasti yang ditampilkan, nampak abu-abu. Logikanya begini saja, PSBB yang singkatannya Pembatasan Sosial Berskala Besar saja masih banyak yang melanggar, apalagi new normal. Mudik yang katanya dilarang, sudah dilarang loh, buktinya ada saja yang melanggar. Sekali lagi, apalagi new normal yang dipersepsikan masyarakat bukan sebagai aturan, tapi kebebasan. Bukannya ini lebih mengerikan?


Bagi saya, ide kebijakan di saat wabah ini yang seakan-akan memiliki tingkat penyelesaian yang sempurna tapi hasil gunanya masih penuh persoalan, sebaiknya dikaji ulang, dirumuskan ulang—mencari langkah yang tepat. Jangan hanya sekedar solusi “musiman” saja, lagi musim solusi ini, coba solusi ini, musim solusi itu coba solusi itu. Yang paling utama sekarang adalah kemampuan menatap ke akar masalah, bukan menambah masalah.


Kalau meminjam istilahnya Nurcholish Madjid, (bisa jadi) tepat disematkan di sini, tidak bisa dipungkiri sekarang kita pada posisi dilema, antara memilih stabilitas dan keutuhan (ekonomi-sosial) tapi tanpa perubahan (wabah tetap menyebar “mungkin” akan susah dikontrol) atau kedinamikaan (dinamis, tidak memaksakan kehendak bebas, banyakin di rumah saja) dan ada perubahan tapi tidak stabil. Dua pilihan yang tidak nikmat memang. Tapi kita harus ambil resiko untuk menatap ke depan. Karena jika new normal ini gagal, ongkosnya akan lebih gede lagi.


Untungnya, walaupun new normal telah menggema di mana-mana tapi belum merambah ke lini ruang-ruang belajar, seperti; kuliah belum masuk, sekolah belum dimulai (dan jangan dulu karena ada arus pulang-pergi setiap hari), tapi pesantren sudah mulai kembali—sedikit khawatir, tapi semoga semuanya berjalan dengan baik (selalu mendoakan yang terbaik), doa para Kiai akan menghancurkan korona ini. Saya percaya dengan protokol yang diterapkan pesantren, karena di pesantren semuanya pasti akan terjaga (sebelum korona ada, santri sudah biasa karantina), dan para santri (saya yakin) akan manut tidak melanggar aturan.


Sebagai penutup, ada harapan, semoga Indonesia tidak hanya “normal baru” tapi ini “baru normal”. Lebih enak bukan?


 

Aswab Mahasin, Dewan Pengasuh Pondok Pesantren Darussa’adah Kebumen, Jawa Tengah; pembaca setia NU Online