Opini

Nilai-nilai Islami dalam Sepak Bola

Ahad, 18 Desember 2016 | 07:03 WIB

Oleh Ahmad Naufa Khoirul Faizun

Sepak bola selalu menarik perhatian jutaan manusia di muka bumi ini. Sampai-sampai, di luar negeri, khususnya negara-negara Eropa, sepak bola sudah seperti agama.

Di Indonesia sendiri, sepak bola menjadi salah satu cabang olahraga yang paling populer. Ia dimaninkan di gang-gang kumuh, sawah, halaman sekolah, halaman madrasah, dan atap gedung di Jakarta oleh anak-anak kecil, sampai dimainkan pemain profesional di GBK.

Menariknya, meski ini adalah sebuah olahraga, di dalam sepak bola ada nilai-nilai Islami yang patut kita pegangi. Seperti apakah nilai-nilai Islami dalam sepak bola itu? Berikut analisis dan penafsirannya.

Pertama, taat hukum atau aturan. Meski sepak bola bersifat lomba: tim mana yang paling bisa menyarangkan golnya terbanyak ke gawang lawan, dialah juaranya, tetapi tidak boleh semau-maunya. Hukum ini wajib ditaati oleh semua pemain, layaknya hukum agama harus ditaati pemeluknya atau hukum negara yang harus ditaati warganya.

Jika hukum ini dilanggar, maka wasit akan memberi sanksi: kartu kuning dan kartu merah yang berakibat diusirnya pemain dari lapanhan. Sangsi ini perlu untuk menegakkan peraturan, dengan tujuan semua pemain aman, tidak saling mencederai, dan demi kondusifitas permainan. Pun dalam Islam, hampir sama: semua hukumnya ada untuk menjaga harmoni manusia: akal, keturunan, jiwa, harta dan kehormatan.

Kedua, sportivitas. Dalam bahasa agama, sportif itu adalah kebajikan - mendekati sunnah, yaitu jika tidak dilakukan tidak apa-apa. Misalnya, ketika bola ada di kaki tim A, kemudian ada salah satu pemain tim B yang cidera, maka tim A akan membuang bola itu keluar lapangan. Ketika wasit memberikan bola itu ke tim B untuk memulai, maka demi sportifitas, bola tidak langsung dibawa oleh tim B, melainkan diberikan kepada tim A.

Contoh lagi. Apabila ada pemain yang menjatuhkan lawannya, maka ia mengulurkan tangannya, membantunya berdiri dan melanjutkan permainan. Sungguh, suatu pemandangan yang elok, bagaimana dengan musuh bisa menunjukkah sikap hormat, bertarung dengan terhormat.

Sportivitas ini, jika dipupuk menjadikan adil dalam bertindak dan bersikap. Bukankah ini cara yang dilakukan Shalahuddin Al-Ayyubi, Khalid bin Walid dan Thariq bin Ziyard dalam berbagai pembebasannya di medan laga? Dengan musuh pun masih bisa bijaksana.

Ketiga, keindahan. Dalam hadis disebutkan, innallaaha jamiilun yuhibbul jamaal (Allah Maha Indah dan suka dengan yang indah-indah). Lebih dari sekadar permainan dengan aturan, sportivitas dan menang-kalah, sepak bola menghadirkan keindahan. Keindahan sepak bola bisa karena cantiknya skema permainannya, penyelamatan kipernya, gocekan pemainnya - semisal Christiano Ronaldo - dan atau gol-golnya yang indah. Keindahan tak memiliki agama, ia bisa lahir dari mana saja, termasuk sepak bola. Jadi, sepak bola bisa juga dikatakan seni.

Keempat, bahasa universal. Sepak bola menjadi bahasa universal yang bisa menyatukan. Hal ini mengingat sepak bola tidak melihat dari Suku, Agama dan Ras (SARA), melainkan amalnya, perbuatannya, penampilannya, kontribusinya dan spiritnya. Bukan dari agamanya, sukunya apalagi kegantengannya.  Kita melihat bagaimana ukhuwwah basyariyyah (persausaraan sesama manusia), terjalin di sepak bola.

Konon juga, sepak bola ampuh untuk meredam konflik horisontal yang terjadi di masyarakat. Untuk hal ini, ada baiknya pemerintah khususnya menteri terkait perlu mencoba dalam menangani konflik-konflik, selain dengan ceramah, seminar dan lobi-lobi, yaitu dengan menggelar turnamen sepak bola di daerah konflik. Dengan digelarnya sepak bola, semua akan menyatu dan kembali jadi manusia, terutama ketika yang dinanti tiba: gooolll.

Kelima, menyehatkan badan. Al-'aqlus salim fil jismis salim, akal yang sehat itu terdapat dalam tubuh yang sehat. Dalam bahasa Latin, kita kenal ini dengan istilah men sana in corpore sano. Para pemain-pemain terbaik di Real Madrid, Chelsea, Dortmund, Menchester United, PSV Eindoven, Inter Milan sampai PSS Sleman itu, tentu selalu melatih fisik mereka untuk tetap fit, agar badan bugar dan penampilan di pertandingan maksimal.

Keenam, sejatinya tak ada juara. Khusus hal ini, kalaupun ada, tak bisa kekal. Kemarin, misalnya, Indonesia menang melawan Thailand di kandang sendiri, semalam tadi kalah di kandang Thailand. Juara hari ini belum tentu juara esok hari. Pun kalah hari ini bisa menang lusa nanti.

Dalam hidup, tak ada juara abadi. Generasi muda dan pesaing selalu datang silih berganti. Ini mengajarkan agar kita tidak boleh sombong ketika meraih sesuatu, karena sesuatu itu pada akhirnya akan hilang.

Pun demikian dalam Islam. Orang hidup di dunia ini selalu dinamis, tidak statis. Hari ini kafir, bisa jadi kelak mukmin, seperti fakta yang terjadi pada khalifah Umar bin Khattab. Juga sebaliknya, hari ini mukmin, shaleh, bisa jadi kelak berubah. Kisah Ki Barseso telah mengabarkannya. Harta, pangkat, jabatan, fisik dan apa yang kita punya, hakikatnya adalah titipan dari-Nya. Suatu saat akan diambil kembali oleh-Nya.

Ketujuh, misteri dalam sepak bola. Yah, misteri. Semua pemain bisa berusaha menciptakan gol. Tetapi, kadang dengan hanya sepersekian senti, bola itu melesat menjauhi gawang. Bahkan, sekelas pemain dunia pun pernah mengeksekusi penati gagal. Tak ada pemain yang merayakan gol sebelum ia menciptakan. Artinya, ia tidak tahu apakah tendangan atau sundulannya gol atau tidak, sebelum bola itu masuk ke gawang.

Di level yang terakhir ini, dalam term Islam kita mengenal dengan tawakkal. Sesudah berusaha, kita tak boleh memastikannya. Hanya Allah-lah yang dapat memastikannya. Ini mengapa, bila hendak janji - sebagai etika dan keyakinan - kita diajari untuk mengucapkan Insya Allah, jika Allah menghendaki. Karena, jika Allah belum menghendaki, apapun bisa terjadi. Pun sebaliknya: jika Allah berkehendak, ia bisa terjadi yang kadang dengan sebab yang tak terprediksi.

Penulis adalah kader muda NU, penikmat sepak bola.