Opini

Nilai Spiritual di Balik Mudik

Sab, 24 Juni 2017 | 12:05 WIB

Oleh Dhilla Nuraeni Azzuhri
Fenomena khas dan unik dalam setiap pengujung bulan Ramadhan salah satunya adalah mudik. Menjadi sesuatu yang khas karena memang fenomena ini menjadi semacam ritual tahunan dan kebiasaan sebagian masyarakat Indonesia yang melekat dalam setiap momentum perayaan hari raya Idul Fitri.

Setahun sekali, mereka yang tinggal di perantauan berduyun-duyun pulang ke kampung halamannya pada hari-hari terakhir di bulan Ramadhan dengan niat untuk bertemu dan berkumpul kembali bersama dengan sanak famili dan orang-orang yang tersayang.

Mengingat sejarahnya, dahulu mudik menjadi kegiatan untuk membersihkan makam leluhur disertai upacara adat dan diiringi doa yang dipersembahkan untuk dewa-dewa dengan harapan agar para perantau diberi keselamatan dan keluarga yang ditinggalkan selalu ada dalam perlindungan. Lambat laun akhirnya tradisi yang sudah membudaya itu terkikis ketika Islam masuk ke tanah Jawa.

Meski demikian, peluang kembali ke desa pada momen setahun sekali ini kembali muncul melalui momentum Hari Raya Idul Fitri.

Dalam konteks kekinian, mudik menjadi salah satu ajang untuk saling melepas rindu. Dan akhirnya tereduksi menjadi nilai-nilai primordialisme yang bersifat positif atau dalam istilah Emha Ainun Najib mudik adalah sebagai upaya memenuhi tuntutan sukma untuk bertemu dan berakrab-akrab dengan asal-usul mereka.

Tetapi, karena tradisi mudik tahunan ini selalu identik dengan kehadiran Idul Fitri, maka maknanya tidak hanya sekadar peristiwa biologis yakni pelepasan rindu kampung halaman, melainkan juga memiliki makna esensi spiritual yang begitu sangat dalam.

Setelah lamanya bergelut dengan hiruk-pikuk kehidupan ibu kota yang begitu keras, selanjutnya maka bersua dengan keluarga, sungkem kepada orang tua, bertegur sapa dan berbagi rasa dengan tetangga menjadi sebuah kesempatan berharga untuk merestorasi spiritualitas yang terkikis seiring dengan makin ketatnya kompetisi.

Dalam hal ini prosesi mudik menjadi semacam transformasi spiritual untuk mewujudkan solidaritas terhadap sesama yang dibelenggu oleh kemiskinan, kebodohan, dan ketertinggalan di tengah peradaban modern.

Dalam hal ini, spiritualitas mudik setidaknya mengingatkan kita akan keluhuran manusia yang masih memiliki semangat asal. Karena melalui mudiklah, kita sebenarnya diingatkan kembali pada awal kejadian kita, di mana untuk pertama kalinya kita melihat dunia. Merenungi saat berada di kandungan ibu, yang kita tahu kandungan disebut pula sebagai rahim. Tuhan pun diseru dengan sebutan ya rahim. Wahai yang memberikan kasih sayang. Kasih sayang Tuhan mewujud pada kasih sayang (rahim) ibu.

Dengan demikian, mudik jangan dijadikan semacam ritual tahunan yang hanya bersifat konsumtif. Hal-hal seperti berbagi rezeki atau yang lebih kita kenal dengan sebutan THR, menyambung tali silaturahmi, mengakhiri permusuhan, dan memohon maaf pada kedua orang tua jauh lebih bermakna.

Dalam makna esensj yang lebih luas, mudik seharusnya mendorong kita mewujudkan nilai-nilai transenden untuk kemudian sedikit demi sedikit meluruhkan belenggu hedonisme-materialisme yang tercipta di tengah peradaban modern.

Selamat mudik,
Selamat berbagi kasih dengan orang-orang terkasih.


*) Mahasiswi Pascasarjana Uninus Bandung. Tulisan ini ditulis saat menikmati jalanan Bandung-Garut yang macet karena arus mudik Lebaran 2017.