Opini

NU dan Kewajiban Terlibat dalam Perdamaian Dunia

Ahad, 8 Maret 2020 | 14:30 WIB

NU dan Kewajiban Terlibat dalam Perdamaian Dunia

Ketimbang terlibat konflik yang kian memperbesar masalah, NU lebih memilih pada ikhtiar mewujudkan perdamaian.

"Pak Taha, kenapa ya bila saya lihat NU saat ada berita tentang pembantaian umat Islam di negara lain seperti kurang respons. Seperti tidak ada simpati, malah kadang (terkesan) meremehkannya. Seperti yang sekarang sedang viral di India," demikian chat tajam seorang teman perempuan via WhatsApp.

 

Penulis kira, bukan hanya ia seorang yang berasumsi miring seperti itu. Bahkan mungkin ada banyak nyinyiran dan hujatan yang beterbangan di berbagai platform media sosial.

 

 

Tegas penulis sampaikan bahwa konflik-konflik di berbagai belahan dunia seperti yang terjadi pada komunitas Uighur di China dan minoritas Muslim di India mengandung unsur politik yang sangat kental.

 

Contoh kasus Uighur China. Orang-orang yang terlalu “bersemangat” menghakimi tak pernah mau tahu bahwa NU—demikian pula ulama internasional seperti Habib Ali al-Jufri—selalu melihat kompleksitas masalah sebenarnya. Mulai dari latar belakang, pihak-pihak yang sengaja menyulut konflik dan justru mengambil keuntungan darinya, dan faktor-faktor lain yang seringkali tidak terekam di media. Bahkan semua yang tampak di media belum tentu mewakili persoalan seutuhnya. Apalagi sekadar grup WA yang tidak jelas anggotanya.

 

Sejauh persinggungan penulis dengan beberapa kiai NU, baik di forum-forum resmi seperti Munas Alim Ulama dan Konferensi Besar NU, maupun di pertemuan-pertemuan informal, diketahui bahwa NU tahu benar bagaimana konflik politik-ekonomi di skala internasional. Tapi tidak semua yang diketahui disampaikan ke media dan kepada seluruh warga NU.

 

Namun demikian, NU memilih sikap untuk mendamaikan dan meminimalisasi konflik di dunia, daripada sikap justru ikut memperbesar dan memperluas konflik yang ada. Meski dengan pilihan ini NU kadang tidak lepas dari tuduhan sebagai antek asing, bully, cacian, dan cercaan dari oknum-oknum sesama Muslim sendiri.

 

Inilah sikap resmi organisasi, memilih untuk mencari solusi perdamaian, daripada justru melibatkan diri dalam pusaran konflik yang tak diketahui ujungnya.

 

Sebagaimana Keputusan Bahtsul Masail Komisi Maudhuiyah Munas dan Konbes NU di Kota Banjar 23 Jumad al-Akhirah/28 Februari 2019—di mana penulis terlibat sebagai peserta dan perumusnya bersama KH Miftahul Akhyar, KH Sa'id Aqil Siroj, KH Yahya Cholil Staquf, KH Abdul Ghofur Maimoen dan para kiai lainnya—yang secara tegas memutuskan:

 

"Dalam konteks ini NU memandang bahwa upaya memperjuangkan perdamaian dunia merupakan kewajiban agama karena merupakan upaya untuk mengakhiri fitnah. Sedangkan melibatkan diri ke dalam konflik berarti memperbesar fitnah ... Karena itu terhadap konflik yang terjadi di belahan dunia, NU memilih sikap untuk memperjuangkan perdamaian." (Keputusan Bahtsul Masail Maudhu’iyah Munas NU tentang Negara, Kewarganegaraan, Hukum Negara dan Perdamaian Dunia di PP Miftahul Huda Al-Azhar Citangkolo Kota Banjar Jawa Barat, 27 Februari -1 Maret 2019).

 

Bukankah memperjuangkan perdamaian juga bagian dari sikap adil yang menjadi perintah Al-Qur'an, meskipun terhadap orang yang dibenci?

 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآَنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ. (المائدة: ٨)

 

“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap satu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah , karena adil iu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS Al-Maidah: 8).

 

 

Bukankah melibatkan diri, memperbesar dan memperluas konflik berarti memperbesar fitnah?

 

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَتَاهُ رَجُلَانِ فِي فِتْنَةِ ابْنِ الزُّبَيْرِ فَقَالَا: إِنَّ النَّاسَ صَنَعُوا وَأَنْتَ ابْنُ عُمَرَ وَصَاحِبُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَمَا يَمْنَعُكَ أَنْ تَخْرُجَ؟ فَقَالَ: يَمْنَعُنِي أَنَّ اللَّهَ حَرَّمَ دَمَ أَخِي فَقَالَا: أَلَمْ يَقُلْ اللَّهُ: وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ. فَقَالَ: قَاتَلْنَا حَتَّى لَمْ تَكُنْ فِتْنَةٌ وَكَانَ الدِّينُ لِلَّهِ وَأَنْتُمْ تُرِيدُونَ أَنْ تُقَاتِلُوا حَتَّى تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ لِغَيْرِ اللَّهِ. (رواه البخاري)

 

“Diriwayatkan dari Ibnu Umar radiallahu anhuma, datang kepadanya dua orang laki-laki terkait fitnah yang menimpa Ibnu Zubair. Mereka berkata: ‘Sesungguhnya orang-orang telah berbuat sesuatu kepada Ibnu Zubair, sementara engkau adalah Ibnu Umar dan sahabat Nabi. Apa yang menghalangimu untuk turut serta dalam masalah ini? Ibnu Umar menjawab, ‘Yang mencegahku adalah bahwa Allah telah mengharamkan darah saudaraku (Muslim)’. Mereka kembali bertanya: ‘Bukankah Allah berfirman …dan perangilah mereka sehingga tidak ada fitnah lagi’. (QS. Al-Baqarah [2]: 193). Lantas Ibnu Umar menjawab, ‘Kami telah berperang agar tidak ada lagi fitnah dan agama ini menjadi milik Allah. Sementara kalian berperang agar menimbulkan fitnah dan agama ini menjadi milik selain Allah” (HR al-Bukhari).

 

Dari sini menjadi sangat jelas bahwa sikap NU memilih memperjuangkan solusi perdamaian bagi berbagai konflik yang terjadi di belahan dunia, mulai Taliban di Afghanistan, Uighur di China, konflik di India, dan di belahan bumi lainnya, adalah sikap yang penuh tanggung jawab, berdasarkan Al-Qur'an dan hadits, sesuai tradisi keilmuan Ahlussunah wal Jama'ah. Sikap yang tegas, jelas dan lugas disertai kedewasaan dan penuh tanggungjawab. Wallahu a'lam.

 

 

Ahmad Muntaha AM, Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur