Opini

NU dan Tantangan Abad Kecerdasan Buatan

Kam, 9 Februari 2023 | 07:40 WIB

NU dan Tantangan Abad Kecerdasan Buatan

PBNU menggelar puncak resepsi 1 abad di stadion Delta Sidoarjo. (Foto: NU Online/Elik Ragil).

Oleh Thobib Al Asyhar

Siapa yang pernah menduga ditemukannya smart toilet (toilet pintar) di Jepang yang diselipkan dengan teknologi artificial intelligence (kecerdasan buatan). Saat banyak orang tua merasa bangga anak-anaknya kuliah di fakultas kedokteran. Saat ukuran kesuksesan pimpinan perguruan tinggi dapat membuka fakultas kedokteran. 

 

Smart toilet didesain selain untuk keperluan bebersih secara simpel dan praktis, juga dapat mendeteksi kondisi tubuh dan penyakit setelah seseorang BAK atau BAB melalui indikator digital yang terhubung dengan telepon seluler. Munculnya smart toilet ini jelas mendisrupsi keberadaan dokter, yang tugasnya mendiagnosa penyakit dan melakukan treatment penyembuhan.

 

Saat yang sama, kita telah memasuki era 5.0 yang mengandalkan teknologi jaringan 5G. Sebuah teknologi jaringan seluler generasi kelima yang menawarkan kecepatan internet 1.000 kali lebih cepat dari generasi sebelumnya. Sebagai gambaran, jika saat ini teknologi 4G bisa mengunduh film Hollywood membutuhkan waktu sekitar 1 atau 2 jam, dengan teknologi 5G cukup hanya 1 detik film tersebut sudah tersimpan dalam technology devices kita. 

 

Teknologi temuan Michael Lemke, saintis asli Jerman ini jelas akan "merevolusi" sangat besar terhadap kemajuan teknologi komunikasi. Kelebihan teknologi tersebut di antaranya adalah konektivitas lebih luas, nyaris tidak memiliki delay, dan hemat energi yang mampu mengurangi konsumsi energi sebesar 10 persen dengan cara mengurangi trafik data. 

 

Bahkan baru-baru ini, pendiri Microsoft, Bill Gates, mengungkapkan akan adanya teknologi yang bisa menggantikan smartphone yaitu tato elektronik, yang saat ini sedang dalam tahap pengembangan oleh perusahaan berbasis bioteknologi Chaotic Moon. Tato elektronik bertujuan untuk menganalisa dan mengumpulkan informasi dari tubuh manusia yang mampu mendeteksi informasi medis dan olahraga. Bill Gates juga berkeinginan teknologi tersebut bisa menggantikan smartphone yang lebih simpel, praktis, cepat, dan efektif. 

 

Menilik perkembangan teknologi super dahsyat di atas, lalu tantangan apa yang dihadapi NU di usianya yang ke-100 tahun atau 1 abad? Isu apa saja yang perlu dijadikan catatan Harlah 1 abad NU sehingga menjadi momentum besar bagi bangkitnya kesadaran massif warga NU akan "dunia" yang sangat berubah karena kemajuan teknologi informasi? 

 

Ada beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian NU untuk menyikapi hal tersebut sebagai berikut: 

 

Pertama, pengelolaan jamaah. Selama ini, kekuatan NU disebut memiliki kekuatan pada jumlah komunitas (jamaahnya) dibandingkan ormas keagamaan lain yang konon hingga mencapai sekitar 150 juta penduduk negeri ini. Artinya, mayoritas penduduk bangsa ini adalah warga NU (Nahdliyin). Bahkan ada yang mengklaim sebagai ormas keagamaan terbesar di dunia. Dengan kekuatan jumbo jamaah NU ini sering menjadi "obyek" perebutan pengaruh oleh kekuatan politik yang secara faktual membutuhkan dukungan kuantitatif.

 

Namun, sebagaimana kita tahu bahwa saat ini kita sedang berada pada apa yang disebut sebagai digital society (masyarakat digital), yaitu komunitas maya di mana setiap orang terhubung oleh teknologi dengan prinsip borderless (tanpa batas). Setiap kekuatan yang tidak nampak saling mempengaruhi antara satu dengan yang lain. Dalam posisi ini, komunitas maya benar-benar "real" yang mampu mempengaruhi semua lini kehidupan, baik politik, ekonomi, keyakinan, ideologi, budaya, tradisi, keilmuan, dan lain sebagainya.

 

Fakta di dunia maya yang sangat cair ini, di mana penguasaan lawan akan informasi dapat menggerus secara otomatis kekuatan jamaah secara nyata. Artinya, jika NU "terlena" oleh kebanggaan jumlah jamaah tanpa dikelola membangun kesadaran secara massif dan pentingnya infrastruktur untuk melakukan transformasi digital, memanfaatkan ruang maya untuk konsolidasi, serta kemampuan mengkreasi secara besar-besaran betul-betul menjadi ancaman nyata bagi jamaah itu sendiri. Bahkan hal ini sudah mulai nampak di mana banyak jamaah NU di dunia maya semakin sulit diidentifikasi karena pengaruh "buzzer" ekstrem yang merebut hati nahdliyyin melalui berbagai kemasan dan strategi informasi.

 

Kedua, formulasi jam'iyyah. Kekuatan jamaah yang sangat cair di era "kecerdasan buatan" juga mengharuskan perubahan formulasi pengelolaan jam'iyyah (organisasi). Sebagaimana kita lihat bahwa sifat dari "digital society" sangat cepat berubah dalam banyak hal karena keberlimpahan informasi tanpa jeda selama 24 jam. Titik kritis jamaah begitu terasa yang dibuktikan dengan minimnya loyalitas pada doktrin, identitas kelompok, bahkan keyakinan itu sendiri. Sesiapa yang mampu mempengaruhi "langit informasi" dan kenyamanan manusia dengan teknologi, maka dia lah yang mampu men-direct kepentingan.

 

Relasi budaya warga NU yang sangat khas dibangun melalui kedekatan emosial santri-kiai dan pondok pesantren. Posisi kiai (ulama) menempati tahta tertinggi yang dihubungkan dengan dimensi spiritual atas keyakinan konsep "barokah" atau berkah. Relasi tersebut telah mempengaruhi pada formulasi pengelolaan jam'iyyah itu sendiri dimana kiai menjadi titik sentral bagi semua keputusan organisasi.

 

Pada saat yang sama, melalui teknologi informasi "tahta ke-kiai-an" secara pelan tapi pasti telah digerus dan cenderung digeser oleh peran-peran teknologi, seperti Youtube, Instagram, WhatsApp, Twitter, dan lain-lain. Figur-figur ke-kiai-an digempur oleh figur maya yang hadir di dunia maya. Figur-figur baru mereka lebih berani, lebih simpel, dan menarik di mata netizen, meskipun dengan penguasaan keilmuan tidak sebanding dengan kiai-kiai NU.

 

Saat yang sama, penduduk maya didominasi oleh kalangan muda yang memiliki karakteristik simpel, cepat, mudah dicerna, dan praktis. Data BPS memprediksi pada tahun 2035 jumlah penduduk muda berusia 15-39 sekitar 40 persen dari total penduduk 305,6 juta penduduk. Dari jumlah tersebut dipastikan generasi muda NU menjadi bagian dari anak-anak muda yang perlu diorganisir sesuai dengan karakteristik mereka.

 

Tanpa harus mengubah pola relasi budaya, NU perlu "menyesuaikan" dalam mengelola organisasi yang didukung dengan keseluruhan sistem modern dengan sifatnya yang ajeg, terstruktur, manajebel, terukur, dan profesional. Salah satu contohnya adalah bagaimana mengikat jamaah agar "setia" menjadi bagian dari jam'iyyah (organisasi NU) dan mereka tetap "terafiliasi" secara maya. Ikatan maya yang terikat dalam sistem akan memudahkan identifikasi keanggotaannya secara jelas. Bahkan dengan mudah pula ketika melakukan upaya-upaya pemberdayaan dengan memanfaatkan "financial technology" dalam meningkatkan kinerja organisasi. 

 

Ketiga, penjagaan dan pelestarian tradisi dan ajaran ahlussunnah wal jamaah. Sebagai jam'iyyah yang memiliki watak ajaran wasathiyah atau moderat dan sangat lekat dengan budaya asli harus terus diupayakan tetap terjaga dengan baik di tengah gempuran ajaran-ajaran lintas negara (transnasional). Keberadaan NU adalah parameter NKRI sehingga kita punya kewajiban menjaga ajaran NU ini.

 

Sejalan dengan tema Puncak Resepsi 1 Abad NU: "Mendigdayakan Nahdlatul Ulama Menjemput Abad Kedua: Menuju Kebangkitan Baru" akan sangat relevan jika NU juga konsen dengan pelestarian tradisi dan ajaran di era 5.0 ini. Munculnya berbagai rekaan teknologi yang disisipkan oleh kecerdasan buatan dipastikan akan menimbulkan kompleksitas keagamaan, sehingga sering menjadi tantangan nyata bagi eksistensi tradisi dan ajaran Aswaja. Kontekstualisasi ajaran Aswaja atas perkembangan zaman yang terus berubah menjadi sangat mendesak dilakukan.

 

Keempat, pengembangan SDM. Satu isu pokok peradaban masa depan adalah soal kesiapan SDM yang mumpuni dan memiliki karakter kuat atas budaya dan tradisi keagamaan. Luasnya pengaruh teknologi AI yang telah dan akan terus melahirnya inovasi-inovasi tak terduga sangat dibutuhkan SDM yang "nyambung" atau SDM yang siap dengan kebutuhan lapangan.

 

Anak-muda NU belakangan ini telah membuktikan diri mampu eksis, bahkan menjadi pionir dalam banyak lini kehidupan. Sedemikian banyak sarjana NU yang berkecimpung di level nasional maupun global. Hanya saja, momentum satu abad harus lebih membuka ruang lebih lebar akan kesempatan para santri, kalangan muda Nahdliyyin untuk.mengambil kesempatan demi harumnya bangsa ini. Yakinlah, kader-kader muda NU memiliki ketangguhan ideologi kebangsaan sekalian keulamaan yang mampu menopang dunia.

 

Penulis adalah Alumni Pesantren Futuhiyyah, Mranggen Demak, Dosen SKSG Universitas Indonesia, Kasubdit Kelembagaan dan Kerjasama DIKTIS.