Opini

NU, Ekonomi, dan Politik Kemaslahatan

Kam, 16 Maret 2017 | 04:30 WIB

Oleh Fathan Subchi

Nahdlatul Ulama (NU) tidak lama akan memasuki satu abad. Tentu, sebagai organisasi sosial keagamaan, NU memang sepatutnya terus berinovasi. Jamiyah yang terkenal corak komunalnya dan identik dengan kaum sarungan ini harus kian akrab dengan isu-isu dan gagasan soal penguatan ekonomi warganya. 

Dalam menapaki usianya yang kian matang ini--satu rentang waktu yang terbilang cukup matang mestinya dalam mengarungi pahit getirnya kehidupan--tentu tuntutan warga menjadi satu keharusan yang terus diformulasikan oleh stakeholder, termasuk para pemangku kebijakan di berbagai daerah (eksekutif, legislatif, dll)  

NU memang sejatinya jelmaan Indonesia itu sendiri. Sebaran warganya yang di berada pelosok-pelosok desa, tradisi kulturnya yang menyatu dengan kehidupan sosial masyarakat, dan corak kegamannya yang terbuka dan menerima pandangan dari luar yang baik merupakan mozaik bangsa yang perlu dilestarikan oleh siapa pun, termasuk terhadap para penguasa. 

Namun, kendala yang kita hadapi memang sejatinya dari fase ke fase hampir sama, setidaknya  problem kesejahteraan yang melekat pada kelompok-kelompk warga yang tak punya akses pendidikan, miskin keahlian, dan memang tertinggal secara pemikiran. Perlu ada intervensi semacam tandzimul harakah melalui sebuah kebijakan negara.  

Sebaran mereka yang mengenyam pendidikan yang baik memang seberuntung daripada mereka yang pada masa-masa lampau telah menjauh dan tak mau bersentuhan dengan dunia  pendidikan, termasuk pendidikan keagamaan dan pesantren. Yang tersebar menjadi petani, nelayan, buruh, guru swasta, pegawai kontrak, pekerja informal tentu kian rumit untuk diurai tali dan relasi kesejahteraannya, apalagi tantangan zaman juga kian kompleks. 

Sebagai jamiyah, kontribusi NU dalam berbagai aspek dalam menjejak satu abad memang terlihat sudah amatlah luas. Yang terlihat dan bisa dirasakan secara kultural adalah: pertama, kontribusinya dalam menjaga daya ketahanan sosial masyarakat melalui berbagai sarana persemaian nilai-nilai budaya dan tradisi-tradisi seperti yang menjadi langgam dakwah Wali Songo. 

Kedua, kontribusi secara tarbiyah bisa dilacak menjadi konsistensi NU dalam mengelola pesantren dan madrasah sebagai implementasi pendidikan keagamaan. Nilai-nilai keagaman yang disemai kalangan pesantren dan kiai NU jauh lebih bias diterima masyarakat luas, dan menjadi inspirasi pengetahuan keagamaan dan sumber-sumber kajian akademik di tengah oase padang tandus kerasnya aliran dan paham-paham radikal yang kian mulai berembus. Apalagi, secara jelas dunia sedang menggejala intoleransi.  
    
Nahdlatut Tujjar sebagai Gerakan 
Ada tiga pilar utama sebagai pondasi bagi tegaknya organisasi NU yaitu, Nahdlatul Wathan (Gerakan Cinta Tanahair), Tashwirul Afkar (Gerakan Intelektual dan Pemikiran) dan Nahdlatut Tujjar (Gerakan Ekonomi). Ketiga pilar ini menjadi bagian terpenting dalam perjalanan NU dalam membangun bangsa ini. Ketiga pilar tersebut pada mulanya adalah sebuah organisasi yang masing-masing didirikan oleh ulama-ulama dari kalangan NU sendiri. Tahun 1914 berdiri Nahdlatul Wathan sebagai manisfestasi dari kebangkitan berbangsa dan bernegara yang merdeka, bebas dari pengaruh penjajahan. 

Kemudian Tashwirul Afkar pada 1918 sebagai ikon dari pengembangan dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan. Dan pada tahun yang sama berdiri pula Nahdlatut Tujjar sebagai perwujudan dari pengembangan ekonomi umat. Ketiga menjadi cikal bakal NU dan sekaligus sebagai pondasi fundamental NU. 

Nahdlatut Tujjar adalah narasi sejarah yang dilukis oleh para pendahulu-pendahulu NU. Nahdlatut Tujjar harus bisa dihadirkan kembali, apalagi secara jelas Raisul Akbar, Hadratussyaikh KH Hasyim Asyari dengan kata-kata mutiaranya tentang “Pak Tani itulah penolong negeri”. 

Kata-kata mutiara itu diambil dari cuplikan tulisan beliau, “Pendek kata, bapak tani adalah goedang kekajaan, dan dari padanja itoelah Negeri mengeloearkan belandja bagi sekalian keperloean. Pa’ Tani itoelah penolong Negeri apabila keperloean menghendakinja dan diwaktoe orang pentjari-tjari pertolongan. Pa’ Tani itoe ialah pembantoe Negeri jang boleh dipertjaja oentoek mengerdjakan sekalian keperloean Negeri, jaitoe diwaktunja orang berbalik poenggoeng (ta’ soedi menolong) pada negeri; dan Pa’ Tani itoe djoega mendjadi sendi tempat  negeri didasarkan.” (artikel F. Rahman-NU, Online, 1/1/2017) 

Sesungguhnya banyak hal yang menyebabkan perlunya didirikan organisasi ini. Satu hal yang terpenting adalah keprihatinan ulama terhadap kondisi masyarakat Indonesia yang terbelakang baik secara mental maupun sosial ekonomi hingga persoalan kebangsaan dan keagamaan. Sebagai bangsa yang berada di bawah kungkungan imperialisme bangsa barat pada saat itu bangsa Indonesia mengalami kondisi yang memperihatinkan. Dan di sinilah Nahdltut Tujjar dihidupkan. Saudagar ulama-santri konsolidasi dan lahirlah organisasi ini sebagai wahana dakwah yang kemudian bisa membesarkan jamiyah untuk lebarkan kekuatan anti-kolonial barat.   

Sebagai embrio gerakan saudagar ulama-santri, Nahdlatut Tujjar bisa letakkan dalam konteks hari ini di mana kita menyadari bahwa warga NU masih jamak yang berada dalam lapis sosial yang tertinggal, mereka masih perlu diintervensi kesejahterannya. 

Mereka menjadi "miskin" secara intelektual dan ekonomi. Dua jalur yang sama-sama perlu diikhtiarkan, yaitu Intelektualisme dan ekonomi. Dua hal pokok kehidupan yang dapat menjadi awal keterbelakangan atau kemajuan suatu bangsa. NU sebagai ormas keagamaan lahir untuk membangkitkan bangsa Indonesia dari tidur lelapnya.  

Strategi Cluster 
Sejak awal peran Nahdlatut Tujjar dalam memberdayakan ekonomi umat mendapat dukungan dari para pendiri NU yang kebanyakan adalah para pedagang atau sekurang-kurangnya mempunyai unit produksi yang membuat mereka bisa mandiri secara ekonomi.

Diakui atau tidak, mayoritas penduduk Indonesia berada dalam kemiskinan dan mayoritas dari itu adalah warga Nahdliyin yang berada di pedesaan. 

Dalam kondisi masyarakat seperti ini, pengembangan ekonomi menjadi satu hal terpenting. Karena sabda Rasul SAW yang artinya "kefakiran akan mendekatkan pada kekufuran". Ini mencerminkan bahwa dalam ekonomi islam pemenuhan kebutuhan dasar (basic needs) akan sangat mempengaruhi keimanan dan keislaman seseorang. Memberdayakan ekonomi umat bisa dimulai dari mana saja. Pergerakannya berbanding lurus dengan konsistensi dan fokus yang menjadi sasaran pasarnya. Ada beberapa strategi yang bisa dilakukan, di antaranya dengan model cluster : 

Pertama, pesantren sebagai cluster utama bagi NU. Formulasi gerakannya dititik tekankan pada studi kebutuhan dan kelayakan usaha, serta akses permodalan, kecakapan SDM, dan ketekunan induknya dalam melakukan pembinaan dan pengawasan. Pesantren sesungguhnya sudah tak asing dengan gerakan ekonomi, produk-produk pesantren seperti Kopontren pada masa lampau termasuk produk yang kita banggakan bersama.

Saat ini, Pesantren bisa lebih agresif memfasilitasi santrinya pada bentuk misalnya pendidikan entrepreneur, pemagangan, dan lain-lain. Dan itu, bisa kami koneksikan dengan para pemangku kebijakan di pemerintahan. Dan PKB sudah merintis itu. 

Kedua, cluster warga berbasis pada Pedesaan. Dalam kontek ini, PCNU dan MWCNU bisa mengenali warganya yang telah menekuni pada bidang-bidang tertentu. Mereka yang menjadi petani, nelayan, pengrajin, peternak, pelaku UKM, bisa didata sehingga betul-betul bisa dijadikan acuan untuk menyalurkan bantuan dan bentuk-bentuk dukungan lainnya, seperti akses pelatihan, permodalan, dan lain lain. 

Ketiga, cluster jenis usaha. Lahirnya UU Desa yang memberikan perhatian penuh pada pembangunan di pedesaan, termasuk adalah soal pemberdayaan masyarakat berbasis Bumdes (Badan Usaha Milik Desa). MWCNU bisa memetakan dan membuat satu formulasi Bumdes-Bumdes yang bisa dirancang untuk kesejahteraan warganya. Tentu Hal ini bisa ditempuh dengan membuat semacam pilot project, sehingga jenis-jenis usaha yang dikembangkan, tidak berdasar atas tren, tapi memang sudah menjadi penguasaan para ahli.    
  
Dalam rangka ikhtiar membangun ekonomi umat yang kuat, dan tak mudah tergoyah oleh pengaruh global, maka landasan yang perlu ditanamkan saat ini bagaimana warga NU sejahtera, dan memiliki aset tak ternilai. Salah satu juga yang patut dirintis ulang- bagaimana dulu juga pernah dirintis oleh guru kita, Gus Dur—yaitu model bank Nusumma—yang menghadirkan sistem pembiayaan usaha mikro kecil yang bias berdampingan beriringan dengan kelompok masyarakat marjinal, seperti nelayan, petani, buruh, guru honorer, pekerja kasar, dan lain-lain. 

Lokomotif ekonomi menjadi tantangan tersendiri ketika stakeholder NU kini sudah merambah di berbagai jalur kekuasaan; eksekutif dan legislative. Kaum mudanya –yang terpelajar—harus bias diintegrasikan ke dalam model pengelolaan ekonomi pembiyaaan mikro tadi. 

Kita sungguh masih memiliki beban sejarah yang belum selesai. Setidaknya ini terekam dalam statuennya NU (AD/ART) Fatsal 3 poin f yaitu: "mendirikan badan-badan oentoek memadjoekan oeroesan pertanian, perniagaan dan peroesahaan jang tiada dilarang oleh sjara' Agama Islam". Di sini sangat jelas bahwa NU harus memperhatikan sektor-sektor penggerak ekonomi. Orientasi politik yang sangat kuat dari sebagian besar kaum Nahdliyyin harus dibarengi orientasi pengembangan ekonomi umat yang bermuara pada kesejahteraan warga. 

Inilah politik kemaslahatan NU yang perlu dirancang dan diimplementasikan segera, apalagi pasar dan Negara kian terbuka dengan model pendekatan NU yang terbuka. Kita memiliki gambaran bahwa 10-20 tahun ke depan adalah medan dari sebuah pilot projek yang amat strategis, bagaimana mengetengahkan politik ekonomi warga lebih dekat dengan bandul politik kemaslahatan NU.

Ibarat gadis cantik, NU seringkali hanya seksi di perebutan pesta lima tahunan. Mudah-mudahan ini menjadi kesadaran dan beban historis yang segera harus kita urai bersama.  

Penulis adalah anggota DPR RI FPKB. Ketua IKAPMII DKI Jakarta.