Opini

Orang Murtad Harus Dibunuh (?)

Sen, 22 Agustus 2011 | 06:53 WIB

Oleh Hairul Anam

Suatu hari, dosen saya pernah melontarkan anekdot terkait dengan konsep murtad dalam pandangan sebagian besar umat Islam. Anekdot tersebut saya akan jadikan pengantar dari artikel lepas ini. Tujuannya tiada lain agar para pembaca tidak terlalu tegang membaca tema yang cukup sensitif dalam tulisan ringan ini.<>

Adalah seorang Kristen yang penasaran dan ingin mempelajari ajaran Islam. Sebelumnya ia telah malang-melintang menelusuri ajaran ragam agama. Tapi, ia tidak menemukan kepuasan spiritual. Alih-alih kepuasan spiritual, justru ia mendapatkan kejanggalan dari ajaran agama yang ia pelajari secara mendalam: Kristen mengajarkan konsep Trinitas yang dalam pandangan historis patut diragukan otentisitas ajarannya, Budha mengandung ajaran kebatinan tapi sumbernya diragukan berasal dari Tuhan, dan begitu pula dengan ajaran lainnya yang kitab sucinya sangat potensial dicampuri tangan-tangan manusia.

Seorang Kristen tersebut amat kecewa dengan jerih payah usahanya yang menuai kehampaan. Namun ia sedikit terhibur karena mendengar masih ada agama yang belum ia jajaki. Agama itu bernama Islam. Dengan semangat menggebu, pergilah ia ke suatu tempat yang masyarakatnya terkenal relijius. Ia sangat berharap bakal menemukan muara dari pencariannya selama ini.

Di dalam desa itu berdiri pesantren besar yang diasuh langsung oleh ulama terpandang. Sekalipun ilmu agamanya luas, ulama tersebut dikenal keras dalam menindak santrinya yang berpikiran bebas atau liberal. Kitab-kitab yang diajarkannya adalah kitab-kitab yang beraliran keras. Saat ditemui oleh seorang Kristen yang ingin mempelajari Islam, ia menerimanya dengan hangat. Terjadilah perbincangan panjang yang kemudian berujung pada pertanyaan si Kristen berkenaan dengan cara masuk Islam.

“Sangat mudah. Anda cukup baca syahadat, maka Anda sudah diakui sebagai umat Islam,” jawab ulama yang ditakuti masyarakat itu. Jawaban tersebut ditimpali dengan pertanyaan tambahan tentang bagaimana kalau si Kristen tersebut tidak suka terhadap Islam dan ingin keluar darinya. Sang ulama menjawab dengan tegas bahwa darah orang yang keluar dari ajaran Islam (murtad) adalah halal. Akhirnya, dengan suara bergetar si Kristen mohon pamit dan mengurungkan niatnya masuk Islam. Ia tidak ingin menanggung resiko, khawatir ketika sudah masuk Islam hatinya berpaling keluar dari Islam.

*****

Terlepas dari benar-tidaknya anekdot di atas, ada satu hal yang perlu ditekankan dalam diskursus keislaman: Islam adalah agama perdamaian, Islam adalah rahmat bagi semesta alam, Islam adalah agama yang anti-kekerasan. Hanya orang-orang yang berbaju Islam-lah selama ini yang mengedepankan kekerasan. Hanya orang-orang yang bertopeng Islam-lah yang selama ini merusak wajah Islam yang ber-aura kedamaian. Hanya bertopeng, tapi hatinya penuh dengan gejolak untuk membunuh dan menebar kebencian.

Mengetahui hal itu, hati kita akan terasa miris dan kita pun patut mengelus dada atas ketimpangan pemahaman terhadap Islam yang masih menggurita di bumi persada ini.

Tentu tidak fair kalau sepenuhnya kita menyalahkan gerakan-gerakan yang dapat menggoncang keutuhan NKRI. Penulis-penulis besar di koran-koran dan media-media lainnya telah membeberkan bahwa hal itu tidak lepas dari lemahnya kepemimpinan di negeri tercinta ini. Bahkan, tak sedikit dari kalangan intelektual menyatakan bahwa Indonesia punya presiden, gubernur, bupati dan sebagainya, tapi bohong untuk menyatakan punya pemimpin.

Kendati demikian, kita tidak lantas layak membenarkan tindakan-tindakan yang mengarah pada penghancuran terhadap keutuhan berbangsa dan bernegara. Sebab, kita tahu, perjuangan untuk memerdekakan negara ini tidak hanya dilakukan oleh orang-orang Islam. Tak sedikit dari orang-orang non-Islam yang juga andil melawan penjajah. Maka, kita harus menghargai mereka dengan sikap terbuka. Tapi, selaku umat Islam kita boleh menggugat terhadap para Sejarawan di negeri ini karena telah mengabaikan sepak terjang pejuang-pejuang Islam dalam mengentaskan kebiadaban kolonialisme yang binatangisme.

Kembali pada persoalan konsep murtad, saya cukup sepakat dengan pernyataan Hodri Ariev—pemikir muda NU—bahwa membunuh orang murtad adalah membangun jarak dengan nilai-nilai kemanusiaan. Dengan catatan, orang murtad tersebut murni keluar dari Islam karena panggilan hatinya—bukan dalam rangka melecehkan agama Islam yang suci ini. Hidup ini adalah pilihan. Setiap pilihan pasti menuai konsekuensi. Dengan begitu, naif kiranya kalau kita menghalang-halangi orang lain dalam menentukan pilihannya.

Lantas, bagaimana dengan perintah dakwah dalam Islam? Kita dapat cermati bagaimana sepak terjang teladan kita, Muhammad SAW. Beliau menyampaikan semua perintah Allah tanpa mengeluh. Beliau menyebarkan agama Islam tanpa paksaan. Beliau melakukannya dengan mengedepankan kasih sayang untuk mengangkis manusia dari jurang kegelapan menuju alam yang terang benderang melalui sinar cahaya Islam. Tidak dengan kekerasan! Bukan dengan jalan paksaan, apalagi pembunuhan!

Saya akui, pembahasan tentang konsep murtad dalam tulisan ini masih jauh dari memadai. Anggap saja ini hanyalah pengantar dari pemikir muda yang masih berjarak dengan kesempurnaan. Saya yakin, para pemikir Islam yang sudah mendalam ilmunya tidak bakal berdiam diri manakala tulisan ini terdapat cacat yang mesti diobati. Bukan dengan kebencian, tidak pula dengan pencibiran! Melainkan, melalui sikap bijaksana dengan merajut karya yang bermakna. Wallahu a’lam.

*Santri sekaligus Ketua LPM Instika PP Annuqayah, Sumenep