Opini

PCINU sebagai Emissary: Menyimak Strategi Diplomasi Gus Yahya

Rab, 5 Januari 2022 | 20:15 WIB

PCINU sebagai Emissary: Menyimak Strategi Diplomasi Gus Yahya

Ketua Umum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya). (Foto: dok. NU Online)

Oleh Munawir Aziz

 

Sekiranya sejak dua tahun yang lalu, KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) sudah menyampaikan gagasan bagaimana PCI Nahdlatul Ulama sebagai special envoy atau Emissary, serta menjadi kepanjangan tangan PBNU untuk urusan luar negeri. Hal ini diungkapkan Gus Yahya ketika beliau masih sebagai Katib ‘Aam, jauh sebelum beliau terpilih sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.


Gus Yahya menyampaikan gagasan terkait pentingnya emissary dalam beberapa diskusi, baik yang diselenggarakan oleh berbagai institusi, lintas PCINU maupun berbagai diskusi dimana saya terlibat sebagai penyelenggara/organizer.


Bahkan, saya ingat betul, poin utama terkait PCINU pada Munas NU di Kota Banjar pada February 2019 lalu, juga menegaskan hal yang sama, bagaimana memberi 'tugas' yang terukur bagi kader-kader Nahdliyin yang sedang berkiprah di luar negeri. Gus Yahya secara jelas menyampaikan pentingnya peran PCINU sebagai Emissary, atau utusan khusus, bisa dianggap sebagai Duta Besar NU untuk luar negeri. 


Gagasan Gus Yahya terkait Emissary kemudian saya kejar lagi secara mendalam, dengan mengorganisasi sebuah diskusi bertema 'Diplomasi Gus Dur' yang kami selenggarakan pada 24 Desember 2020 lalu, kerjasama antara PCINU UK, KBRI London dan Gusdurian UK (rekaman youtube ada di TVNU). Pada agenda ini, kami mempertemukan Gus Yahya dengan Duta Besar RI di London, Dr Desra Percaya. Keduanya langsung nyambung untuk merumuskan gerakan bersama dalam konteks diplomasi, khususnya mengembangkan program yang decisive di Inggris dan Eropa.


Merujuk pada gagasan Gus Yahya, peran dan fungsi special envoy, menjadi sangat penting dan strategis, sekaligus membutuhkan perangkat dan skill set yang tidak sederhana. Tentu saja, perlu ada kecakapan diplomatik, negosiasi, networking, juga level mental yang cukup untuk melakukan mapping kondisi sekaligus mengeksekusi gerakan secara terkonsolidasi. Gampang dibicarakan, namun sulit dilakukan, bukan? Tapi, saya yakin, ada banyak kader Nahdliyin yang punya kemampuan ini.


Nah, apa itu Emissary? Secara jelas, emissary dalam definisi Cambridge, yakni: a person sent by one government or a political leader to another to take message or to take part in discussion. Jadi, emissary dalam konteks PCINU adalah, utusan khusus dari Nahdlatul Ulama untuk berbagai negara, dengan tugas diplomatik, kerjasama strategis sekaligus memberi laporan rutin ke PBNU terkait kondisi yang ada di masing-masing negara. Dalam mekanisme kerja, tentu saja bisa dibahas secara teknisnya secara detail dan terukur.


Dengan demikian, person atau pun tim yang ditunjuk sebagai Diplomat NU atau pun special envoy dari PBNU, menjalankan fungsi-fungsi diplomatik sesuai dengan arahan NU dan sekaligus terkoordinasi dengan Duta Besar dan KBRI/KJRI masing-masing negara. Koordinasi ini menjadi penting, agar masing-masing memahami ritme dan sekaligus saling menguatkan. 


Fungsi diplomatik menjadi saling melengkapi: antara state actor dan non-state actor. Bahkan, dalam konteks tertentu, tugas second-track diplomacy yang dikerjakan Nahdlatul Ulama akan semakin jelas sistem dan mekanismenya. Tentu, ini akan semakin menguatkan peran diplomasi Nahdlatul Ulama secara umum.


Lalu, apa tugas-tugas utama dari Emissary NU yang bisa dikerjakan?


Pertama, misi perdamaian dan konsolidasi dengan organisasi Muslim dan lintas agama di negara masing-masing. Ini sekaligus juga melembagakan dan menguatkan infrastruktur sosial dari mimpi Gus Yahya untuk 'Menghidupkan Gus Dur'.


Di antara mimpi dan misi Gus Dur yang belum selesai adalah urusan kemanusiaan dan perdamaian internasional. Secara khusus Gus Dur menyebut konflik Israel-Palestina sebagai hal penting. Dan pendekatan agama dalam penyelesaian konflik ini merupakan keniscayaan. Bahwa, pendekatan agama seharusnya efektif, tapi tertindih oleh pendekatan militer, politik dan ekonomi.


Para kader NU dan penggerak PCINU di berbagai negara memiliki komunikasi yang bagus dengan tokoh-tokoh agama di masing-masing negara. Teman-teman PCINU di Timur Tengah menjalin komunikasi sangat bagus dengan para syekh di negara masing-masing, bahkan lebih dari ikatan guru-murid. Kami di Inggris Raya juga berkomunikasi secara intensif dengan tokoh agama, baik Muslim dan non-Muslim, dalam rangka membangun kerja-kerja diplomatik dan perdamaian.


Kedua, optimasi peluang ekonomi. NU--seharusnya--tidak hanya menjadi penonton dalam industri dan pasar halal dunia. Dalam diskusi pra-muktamar PCINU beberapa pekan lalu, Ayang Utriza Yakin, Ph.D (ahli halal economy di Eropa), mengabarkan: ada potensi uang ratusan miliar rupiah tiap tahun, yang bisa dikelola NU, dari sumber sertifikasi halal dunia. Bahkan, jika industri halal juga dikelola secara terkonsolidasi, tentu angka menjadi ekspansif. Tentu saja, kerja ini benar-benar butuh manajer dan pemain handal, tidak sekedar pelatih).


Bahkan, Dr Teguh Dartanto (Dekan FEB Universitas Indonesia, alumni PCINU Jepang, serta ekonom muda Indonesia saat ini yang sedang naik daun), menyampaikan gagasan-gagasan bagaimana NU jangan sampai jadi penonton dalam perubahan besar dalam sirkuit digital economy. 


Berikutnya, Savic Ali (Direktur NU Online) menyampaikan kepada saya baru-baru ini, bahwa beliau sedang mengoptimasi NU Cash sebagai platform untuk menguatkan kemandirian ekonomi NU. Ada rencana mengkanalisasi dan sekaligus mengelola, uang 25 miliar per-bulan dari hasil dari iuran warga NU. Ini gagasan yang do-able, sangat bisa dikerjakan, meski butuh kerja keras dan daya tahan untuk mengelola ini. Saya sampaikan kepada beliau, PCINU UK akan mengkonsolidasi para data saintis dan data engineers--untuk menguatkan barisan pada project digital economy ini.


Ketiga, mengkonsolidasi sumber daya manusia dan experts dari diaspora santri. PCINU Jerman yang dikomando Gus Muhammad Rodlin Billah (Ketua PCINU Jerman) sudah mengawali menyiapkan platform untuk mendata—dan sekaligus mengkonsolidasi—santri-santri yang menjadi pakar-pakar dari berbagai bidang dalam level internasional.


Jika ada, taruhlah 1.000 experts santri yang ahli di berbagai bidang, terkoordinasi, dan terkonsolidasi, tentu menjadi think-thank sekaligus engineer untuk NU dan Indonesia. Kita butuh visi jelas dan orang-orang berdedikasi yang 'tahan banting' untuk mengawal program ini.


Apabila secara kelembagaan dan sistem, gagasan Emissary dari PCINU sebagaimana ide Gus Yahya bisa terlaksana dengan tugas dan manajerial yang solid, maka akan ada banyak peran besar dari NU yang berdampak ke publik secara lebih luas. 


Tentu saja, ini tugas kita semua untuk bersama-sama berkhidmah, bukan?


Penulis adalah Sekretaris PCINU United Kingdom