Opini

Pendidikan Seks, Tabu atau Keharusan

Sab, 26 Juli 2003 | 11:38 WIB

Oleh HM. Rozy Munir, SE, MSc*

Pertama, marilah kita kaitkan pendidikan seks dengan arti kesehatan reproduksi, yaitu keadaan sehat jasmani, rohani dan sosial dalam diri seorang pria atau wanita dalam melakukan fungsi mereka melanjutkan keturunan (reproduksi). Fungsi ini diterapkan dalam suatu ikatan perkawinan yang sah, yang nantinya akan menghasilkan kehamilan yang berencana dan berlangsung dengan aman sampai terjadinya persalinan.

<>

Sebagai penunjang ke arah itu diperlukan ketersediaan informasi dan pelayanan yang memadai serta pengetahuan mengenai infomasi mengenai seks  dan cara menghindari perilaku seks yang beresiko. Kemudian dalam Islam disebutkan dalam Al Qur’an, surat An-Nisā ayat 9, yang artinya :“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang kalau saja meninggalkan di belakang mereka anak cucu yang lemah  dan mereka sendiri khawatir akan kesejahteraan hidup mereka di kelak kemudian hari, oleh karena itu, bertakwalah kepada Allah dan berkatalah yang benar”.

Karenanya dalam konteks ini kaitkan pula akan perlunya membina keluarga yang berguna dan senantiasa mendatangkan kebaikan bagi lingkungan dan alam sekitarnya (rahmatan lil ‘alamiin) sesuai dengan ridho Allah swt. Ada 5 unsur kemaslahatan keluarga menurut Imam Ghazali yang harus dipelihara, yaitu untuk keselamatan agama, akal pikiran, jiwa dan kehormatan, keselamatan nasab atau keturunan serta keselamatan harta benda.

Pengetahuan serta sikap dan pemahaman atas hal ihwal reproduksi sehat khususnya usia remaja yaitu 10-24 tahun menjadi penting karena usia ini pada gilirannya akan memasuki perkawinan. Berarti pendidikan seks menjadi hal yang diperlukan. Masalahnya tinggal bagaimana mengemasnya, model materi yang diajarkan untuk tahapan pembinaan remaja serta wahana penyampaiannya.

Contoh yang pernah dilakukan oleh NU melalui lembaga yang bernama LKKNU untuk pendidikan seks ini dikaitkan dengan cover yang lebih luas, yaitu mewujudkan keluarga maslahah. Dimulai dengan pentingnya pendidikan kependudukan, KB, HIV-AIDS dan pendidikan seks yang dikaitkan dengan reproduksi sehat. Dibahas pula akan arti keluarga maslahah. Beberapa buku panduan diterbitkan dan beberapa diskusi digelar di kalangan pesantren dan murid serta ustad/ustadzah di sekolah-sekolah atau madrasah di kalangna maarif NU. Diantara mitra dalam hal ini adalah IKIP, UNFPA, The Pathfinder Fund, Ford Foundation dan AUSAID.

Selain LKKNU aktif pula beberapa institusi di bawah NU yang juga memperluas akan materi dalam konteks kesejahteraan keluarga di komunitas dan wilayah binaannya, seprti RMI (Rabhitah Maahid Islamiyah = Asosiasi Pesantren NU), Fatayat, Muslimat dan IPPNU. Pembahasan yang memerlukan fatwa dibicarakan dalam Forum Munas Alim Ulama dan Muktamar NU.

Mengapa remaja sebagai sasaran dalam pendidikan seks ini ?

1. Jumlah remaja terus bertambah sesuai dengan piramida penduduk. Piramida penduduk masih ekspansif, artinya model dari penduduyk usia muda.
2. Remaja adalah generasi penerus dan mereka harus sehat karena merupakan pimimpin masa depan.
3. Adanya globalisasi dan modernisasi
4. Komitmen pada ICPD, MDG, dimana Indonesia sebagai bagian dari PBB.

Kalau ditanyakan apakah pendidikan seks perlu, yang jelas memang diperlukan agar remaja menyiapkan diri secara mantap dalam memasuki jenjang pernikahan. Selain itu supaya mereka matang dalam mempersiapkan perkawinan pada usia yang mantap, serta siap dalam mengasuh anak anaknya agar menjadi anak yang sholeh dan solihah dalam keluarga maslahah.

Disamping itu dalam pergaulan sehari-hari yang sangat bebas, dapat terhindarkan dari “kecelakaan” yang akan membawa pengaruh buruk dalam kehidupannya, dsb.

Pertanyaan berikutnya apakah tabu berbicara tentang seks? Rasanya saat ini tidak tabu lagi karena pengaruh media baik cetak atau elektronik demikian pesat, Paling-paling ada di sana-sini perasaan ragu atau malu dari orang tua karena pengetahuan tentang alat reproduksi orang tua yang terbatas.

Tetapi kalau ditanyakan apakah pendidikan seks satu keharusan, nah disinilah kita harus hati-hati. Siapa yang mengharuskan, siapa yang membiayai fasilitas pengajaran pendidik seks, siapa yang membuat peraturan atau undang-undang tentang hal tersebut. Kalau tidak mematuhi apa sanksinya.

Upaya untuk membuat pilot proyek diperlukan baik untuk materi pendidikan formal maupun non formal. Diskusi dan dialog dikalangan institusi masyarakat perlu dilakukan. Senyampang dengan adanya keinginan mengam