Waktu memang terasa begitu cepat berlalu. Tetiba saja lebaran sudah tinggal lagi seminggu. Masyarakat yang bermigrasi ke berbagai belahan daerah tengah menyiapkan perbekalan dan pengepakan barang apa saja yang akan dibawa pulang ke tanah kelahiran, lengkap dengan segala macam buah tangan. Beberapa di antaranya bahkan ada yang tengah berangkat atau bahkan telah tiba di kampung halaman.
Beragam cara dilakukan untuk tiba di lingkungan yang pernah mereka rasakan di masa lalu untuk beberapa bulan atau bahkan berbilang tahun ditinggalkan. Ada yang terbang menggunakan pesawat, meski cara ini semakin turun mengingat harga tiketnya yang berada di ketinggian pesawat saat sudah tinggal landas, dalam artian tak terjangkau.
Ada juga yang menggunakan kereta. Bagi yang jarak tempuhnya cukup lama dan punya uang lebih, bisa memilih kereta dengan fasilitas tidur lengkap. Di antara mereka juga ada yang memilih bus umum atau travel. Terkadang, kaula muda ingin mendapatkan pengalamannya touring menaiki sepeda motor bersama rekanannya dalam satu organisasi atau satu kampung untuk sampai tiba di kediaman masa kecilnya.
Pilihan-pilihan tersebut tentu disesuaikan dengan kebutuhan, kenyamanan, dan kocek masing-masing. Semua itu dilakukan demi satu tujuan, dapat terus menjaga hubungan persaudaraan dengan kawan-kawan, tetangga, dan handai taulan yang telah mengisi hari-harinya dengan saling memohon dan membuka pintu maaf satu sama lain.
Lebih dari itu, mereka juga dapat kembali merasakan air yang selama itu digunakan untuk minum dan kebutuhan hidup lainnya, mengkhidmati kembali atmosfer yang sempat hilang dari peredarannya, menikmati lagi masakan emak yang selalu juara ketimbang makanan yang disajikan hotel bintang lima, dan beragam hal lainnya.
Sebetulnya, mudik lebaran mengajarkan kita untuk mudik yang sesungguhnya, yakni pulang ke surga-Nya. Sebagaimana yang kita tahu, ayah dan ibu kita bersama, Nabi Adam AS. dan Siti Hawa, adalah dua manusia yang pada asalnya hidup di surga. Namun pada akhirnya diturunkan oleh Allah SWT ke bumi.
Hal tersebut Allah SWT kisahkan dalam Al-Qur'an surat al-Baqarah ayat 35-36. Dalam ayat tersebut, Nabi yang berjuluk ayah manusia dan istrinya itu diperintah oleh Allah SWT untuk tetap tinggal di surga dengan syarat ‘berpuasa’ dari satu pohon tertentu.
Banyak riwayat yang menyebutkan jenis pohon tersebut, mengingat Al-Qur’an tidak secara spesifik menyebutkannya. Imam Jalaluddin al-Suyuthi, misalnya, dalam Tafsir al-Jalalain menyebut pohon tersebut sebagai biji gandum, anggur, atau lainnya. Al-Sadiyu dari Abdullah bin Abbas, Said bin Jabir, al-Sya’bi, Ju’dah bin Hubairah, dan Muhammad bin Qais sebagaimana dikutip oleh al-Imam al-Hafidz Muhammad ibn Ismail ibn Katsir al-Dimasyqi dalam kitabnya,Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim, juga menyebutnya sebagai anggur dan masih banyak lainnya. Tetapi yang pasti, keduanya pada akhirnya makan sesuatu dari pohon tersebut karena hasutan iblis sehingga membuat mereka terusir dari surga ke bumi.
Oleh karena itu, untuk kembali ke sana, mestinya juga kita mulai dengan puasa. Puasa dari hal-hal yang diharamkan oleh-Nya. Hal tersebut sebagai bekal yang cukup agar selamat sampai Firdaus, tidak malah melenceng ke jurang Jahanam.
Maka Ramadhan betul-betul menjadi momentum introspeksi diri, evaluasi segala macam tingkah laku negatif untuk segera diganti dengan kegiatan positif dengan tingkat kuantitas dan level kualitas yang naik pada posisi berikutnya. Amal ibadah menjadi satu-satunya bekal yang dapat dibawa untuk mencapai tujuan bersama.
Bahkan, alangkah lebih baiknya pulang kampung membawa oleh-oleh. Saat kita masih dalam keadaan prima, tentu mesti memperbanyak berdoa untuk orang tua, guru, saudara, dan rekanan kita yang sudah lebih dahulu menghadap-Nya. Doa itu menjadi oleh-oleh bagi mereka kelak ketika sua. Sebab, kata Nabi, ada tiga hal pahala yang tidak terputus. Doa menjadi salah satunya, selain ilmu yang bermanfaat dan sedekah jariyah.
Kita mudik juga untuk memohon maaf. Pun mudik ke surga, kita perlu mendapat maaf dari pemiliknya. Karenanya, kita harus memperbanyak membaca istighfar sebagai sarana kita memohon kepada-Nya. Saban usai shalat, kita perlu lagi melatih untuk terbiasa beristighfar lebih dahulu. Tidak selesai salam terus langsung pergi begitu saja.
Hal yang tak kalah penting lagi adalah memperbanyak bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW. Pasalnya, hanya Nabi terakhir itulah yang dapat memberikan syafaat kepada kita kelak di hari kiamat nanti, terlebih bagi kita yang ‘sangat amat jarang sekali’ berpuasa dan membaca Al-Qur’an.
Ya, dua hal itu juga dapat menyafaati kita sebagaimana hadits Rasulullah SAW dari Ibnu Umar RA yang dikutip oleh Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitab Ithaf Ahlil Islam bi Khushusiyyatis Shiyam, bahwa “Puasa dan Al-Qur’an dapat memberikan syafaat bagi seorang hamba di hari kiamat. Puasa berkata: duh Tuhan, Engkau telah mencegahnya dari makanan dan syahwat pada siang hari, maka syafaatkanku padanya, sementara Al-Qur’an berkata: wahai Tuhan, Engkau telah mencegahnya dari tidur di malam hari, maka syafaatkanlah aku padanya. Maka keduanya pun menyafaati.” (H.R. Ahmad, al-Thabrani, al-Hakim, dan al-Baihaqi).
Sudahkah anda persiapkan bekal mudik ke surga?
Penulis adalah mahasiswa Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta, berkhidmat di Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama.
Terpopuler
1
Saat Jamaah Haji Mengambil Inisiatif Berjalan Kaki dari Muzdalifah ke Mina
2
Soal Tambang Nikel di Raja Ampat, Ketua PBNU: Eksploitasi SDA Hanya Memperkaya Segelintir Orang
3
Meski Indonesia Tak Bisa Lolos Langsung, Peluang Piala Dunia Belum Pernah Sedekat Ini
4
Belasan Tahun Jadi Petugas Pemotongan Hewan Kurban, Riyadi Bagikan Tips Hadapi Sapi Galak
5
Cerpen: Tirakat yang Gagal
6
Jamaah Haji Indonesia Diimbau Tak Buru-buru Thawaf Ifadhah, Kecuali Jamaah Kloter Awal
Terkini
Lihat Semua