Opini

Politisasi Masjid

Kam, 2 Maret 2017 | 07:30 WIB

Oleh Suwendi

Belakangan sejumlah masjid di bilangan DKI Jakarta memasang spanduk bertuliskan “Masjid Ini tidak Mensholatkan Jenazah Pendukung & Pembela Penista Agama”. Bahkan tersiar di media sosial, hasil Telaah Pusat Kajian Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII) dengan Nomor: 06/B-MAFATIHA/II/1438/2017 tentang Sanksi Agama bagi Pendukung Penista Agama dan Pemilihan Pasangan Calon Pemimpin Non Muslim.

Kajian DDII itu di antaranya memutuskan bahwa orang yang dengan sadar memilih calon pemimpin dari agama selain Islam dalam pemilihan di semua tingkatan pemilu termasuk munafik nyata (nifaq ‘amali/nifaq jahran), sehingga jenazah orang tersebut tidak boleh dishalatkan. Ironisnya, tidak sedikit pengurus masjid/takmir masjid yang kemudian ikut-ikutan atas seruan itu, meskipun baru mewacanakan, belum pada tindakan pemasangan spanduk di lingkungan masjidnya. 

Atas kondisi di atas, sejumlah organisasi seperti MUI (Majelis Ulama Indonesia), DMI (Dewan Masjid Indonesia), para pakar studi keislaman, hingga Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin memberikan tanggapan. Bahkan, Sandiago Uno, salah satu Cawagub dalam Pilgub DKI Jakarta, menyatakan turut prihatin atas fenomena larangan shalat jenazah bagi yang berbeda pilihan itu.  Tanggapan dari berbagai organisasi dan tokoh itu mengajak agar institusi masjid hendaknya dijadikan sebagai alat untuk membangun ukhuwah Islamiyah dan menegakkan identias keindonesiaan, bukan untuk pemecah belah umat yang disebabkan karena perbedaan pilihan politik. 

Perbedaan pilihan politik praksis tidak perlu untuk dibawa ke dalam institusi masjid, oleh karena masjid adalah milik umat dari berbagai aliran dan pilihan politik yang beragam. Masjid adalah tempat untuk merajut kebersamaan dari berbagai pandangan dan pilihan yang berbeda. Masjid bukanlah tempat untuk memaksa umat dan jamaahnya agar mengikuti pilihan politik pengurusnya. Masjid adalah tempat untuk mendapatkan kedamaian nurani, khusyu dalam beribadah, dan pemikiran yang jernih. Membenturkan institusi masjid untuk kepentingan politik praktis malah justeru itu upaya dari mengkerdilkan peran masjid. Sebab, ia hanya membatasi pada jamaah yang sealiran dengan pilihan politiknya, di samping tidak mendewasakan umat.

Sebenarnya, persoalan kegelisahan umat atas perilaku politik yang terbuka dalam ruang institusi ibadah itu telah lama didahului dengan fenomena maraknya para khatib Jumat dan penceramah agama yang menggiring audiens (jamaah) untuk diarahkan pada kepentingan politik-praksisnya. Tidak sedikit fenemona nyata yang menjelaskan tentang itu. Lebih-lebih para khatib Jumat pada dua hari pasca Pilkada DKI Jakarta yang meluapkan ‘amarah politiknya’ dalam forum ibadah itu, lantaran menurut hasil quick count didapati sang idola pilihannya terkalahkan. 

Forum khutbah Jumat yang semestinya bernilai sakral telah diisi dengan kepentingan yang bersifat profan-duniawi, lebih-lebih untuk kepentingan politis-praksis. Yang terjadi justeru jamaah tidak mendapatkan kedamaian dalam beribadah. Dalam konteks ini, gagasan untuk melakukan standarisasi khatib Jumat cenderung bisa difahami, setidaknya untuk mendorong semua elemen bangsa, termasuk takmir masjid dan para khatib, agar mawas diri dalam menempatkan fungsi khutbah jumat pada tempat yang selayaknya.

Fenomena politisasi masjid ini, baik melalui pemasangan spanduk maupun media khutbah Jumat atau ceramah agama, cenderung eskalasinya akan meningkat hingga setidaknya sampai pelaksanaan Pilkada, bahkan bisa jadi akan terus terjadi hingga pelaksanaan Pilpres 2019, dengan catatan fenomena itu dibiarkan saja, baik oleh pemerintah maupun oleh ormas moderat atau tokoh yang berwawasan kebangsaan dan keislaman yang memadai. Membenturkan institusi agama, dalam hal ini masjid, untuk kepentingan politik patut untuk menjadi perhatian bersama. 

Siapapun orangnya, apapun profesinya, perlu melek dan sadar akan fenomena ini yang menurut hemat penulis cenderung tidak baik bagi kelangsungan harmoni relasi agama dan negara yang kita cintai. Jangan sampai tragedi Masjid Dhirar (QS. Al-Taubah [9]: 107) yang dibakar di zaman Rasulullah SAW lantaran dijadikan sebagai tempat provokasi, adu domba, pemecah bela dan permusuhan, terulang lagi saat ini di Indonesia. Bahkan, lebih dari itu, jangan sampai perang saudara antar sesama muslim dan sesama warga bangsa terjadi secara masif di bumi pertiwi ini, sebagaimana kejadiannya di beberapa negara Timur Tengah.

Menyadari bahwa telah terjadi politisasi masjid dalam bentuk tidak melakukan shalat janazah bagi pembela penista agama bahkan telah dinyatakan sebagai seorang munafiq bagi muslim yang berbeda pilihan politiknya, merupakan semakin tegasnya akan benih ideologi-ideologi radikal yang telah berwujud secara nyata di ruang publik. Ideologi radikal yang semakin tumbuh subur kini telah langsung menyentuh di jantung pembinaan umat, masjid.

Dengan pemahaman tekstual dan kaku atas ayat-ayat keagamaan, tanpa mempertimbangkan kemaslahatan dan substansi agama sebagai rahmatan lil 'alamin, secara porak poranda memposisikan umat dihadapkan secara diametral. Dalam konteks ini, telah terjadi tindakan manusia biasa seolah-olah telah menduduki poisisi kewenangan Tuhan dalam menjustifikasi seseorang: muslim, munafik atau kafir. Tentu, ini merupakan di luar batas kewenangan manusia.

Bahkan, ideologi radikal menuntun pada keyakinan agama yang melupakan atas fakta empiris dalam konteks negara-bangsa yang pada gilirannya  tentu akan menciderai keharmonisan umat dan negara. Dalam pandangan ideologi radikal, negara adalah musuh agama, termasuk semua aparatur dan institusi negara. Apapun yang dinyatakan oleh negara itu tidak ada yang dipercayainya. Demikian juga dengan simbol-simbol negara yang tidak perlu lagi dihormati dan dikagumi. 

Bendera merah putih, lagu kebangsaan Indonesia Raya, dan sejumlah simbol-simbol negara lainnya dinyatakan tidak patut untuk diindahkan, bila perlu diharamkan untuk digunakan. Kenyataan sosiologis bahwa masyarakat itu majemuk dan beraneka ragam baik keyakinan maupun pandangannya kemudian dipaksakan harus mengikuti pendapat dirinya. Pendapat di luar dirinya dianggapnya musuh, setidaknya tidak perlu lagi dihormati. Jelasnya, ideologi radikal menafikan atas eksistensi negara dan fakta sosial dalam konteks kebangsaan.

Terkait semakin maraknya ideologi radikal yang telah mewabah di institusi masjid, ini perlu mendorong kepada kalangan moderat untuk bersuara dan bertindak secara damai sesuai prosedur dalam koridor hukum perundang-undangan. Ormas berbasis ideologi moderat melalui pemuka dan para tokohnya harus berani tampil ke masyarakat dan membimbing umat dengan santun dan rasional. 

Kalangan silent majority untuk tidak berdiam diri sebagai penonton, tetapi saatnya tampil sebagai pelaku. Demikian juga, institusi negara harus berani tegas untuk menyikapi dinamika politisasi masjid ini sesuai hukum yang berlaku. Dengan penuh wibawa dan penyikapan yang rasional, saatnya kita benahi dan bimbing umat demi kedamaian dalam beragama dan bernegara.

Penulis adalah Pendiri Pondok Pesantren Nahdlah Bahriyah Indramayu, Jawa Barat.