Opini

Puasa Mudik

Rab, 12 Mei 2021 | 07:30 WIB

Puasa Mudik

Ilustrasi. (Foto: Pinterest)

Oleh Soleh Abwa

 

Lebaran idul fitri 1442 H tahun ini terasa berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, karena pemerintah dengan tegas melarang umat Islam mudik lebaran ke kampung halaman. Pandemi Covid-19 menjadi alasan pemerintah melarang tegas kepada seluruh umat Islam untuk tidak mudik lebaran ke kampung halaman. Larangan ini sebagai ihktiar untuk memutus tali rantai penyebaran pandemi Covid-19 yang sampai Senin, 10 Mei 2021 pukul 12.00 lalu bertambah sebanyak 4.891 orang (kompas.com).


Mudik lebaran bagi umat Islam minimal ada tiga (3) makna berharga yang bisa diunduh umat Islam dalam membentuk karakter atau budaya berbangsa, yakni budaya silaturrahmi, saling membantu atau berbagi, dan budaya saling memaafkan. Islam tidak mengenal budaya atau tradisi mudik lebaran, mudik lebaran juga tidak bisa dikatakan bidah apalagi bid’ah dholalah (bid’ah sesat), kalau toh disebut bid’ah, masuk pada kategori bidah hasanah (bid’ah baik). Dikatakan bid’ah hasanah karena dibalik itu banyak manfaatnya bagi keharmonisan umat, baik sesama muslim, sesama manusia dan sesama warga negara bangsa Indonesia.


Islam tidak mengenal tradisi mudik lebaran, yang ada adalah “hijrah” berasal dari kata hajara artinya pindah, pindah dari satu tempat ke tempat lain. Hijrah bermakna pindah dari perbuatan negatif, pindah kepada perbuatan positif. Tradisi mudik lebaran adalah pindah seseorang ke kampung halaman untuk bertemu keluarga, saudara atau orang tua. Mudik lebaran menjadi tradisi umat Islam yang positif.


Pertama, Silaturrahmi. Silaturrahim adalah menjalin atau menyambung tali persaudaraan. Mudik lebaran telah menjadi tradisi tahunan bagi umat muslim Indonesia. Mudik lebaran sebagai media membangun silaturrahmi antar anak dengan kedua orang tua, saudara dan teman. Tradisi mudik lebaran ini merupakan tradisi baik yang harus diinternalisasikan dalam diri kita sebagai bagian keluarga, masyarakat dan bangsa. Silaturrahmi ini diharapkan akan berdampak harmonisasi dan ketukan suara yang indah ketika antar-keluarga terjadi komunikasi manis dan humanis. Begitu juga harmonisasi komunikasi yang santun dan ahsan harus dibangun dengan sesama manusia anak bangsa yang multikultur, ras, bahasa dan suku.


Mudik lebaran menjadi bagian dari membangun komunikasi antar keluarga, masyarakat dan antar warga negara. Mudik lebaran menjadi media komunikasi, walau terjadi dalam satu tahun sekali. Mudik lebaran ungkapan rasa kangen warga yang merantau di kota kepada kampung halaman dan waktu yang tepat di saat lebaran idul fitri, karena sebagian warga yang merantau meluangkan khusus pulang kampung saat idul fitri 1 syawal.


Umat Islam Indonesia lebih familiar bahasa mudik lebaran, dibanding silaturrahmi, sementara dalam Islam dikenal dengan bahasa silaturrahmi. Tradisi silaturrahmi akan memberikan dampak positif bagi orang yang melakukannya. Orang yang membiasakan silaturrahmi akan diberikan reward panjang umur, tambah rezeki. Nabi bersabda; Dari Anas bin Malik, Rasulullah bersabda; Barang siapa yang ingin panjang umurnya, dan tambah rezekinya, maka berbuat baik (al-birru) kepada kedua orang tuanya, dan silaturrahmi. Mudik lebaran sebagai bentuk tradisi silaturrahmi di bumi nusantara. 


Kedua, Nyekar atau ziarah kubur. Nyekar merupakan tradisi sebagian besar bangsa Indonesia untuk ziarah kubur kepada kedua orang tua, nenek, dan kakek yang sudah meninggal. Budaya nyekar menjadi tradisi baik yag sudah ditanamkan sejak dini oleh kedua orang tuanya. Nyekar sebagai bentuk silaturahmi seorang anak terhadap orang tuanya, kakek dan nenek yang sudah meninggal. Idul fitri 1 syawal atau lebaran menjadi tradisi tahunan untuk bersilaturahmi dengan orang tua yang sudah meninggal. Nyekar mempunyai pembelajaran yang bermakna bagi orang yang melakukan nyekar, sebagai warning datangnya kematian seseorang, tinggal waiting list. Nyekar atau sebagai usaha orang yang masih hidup, baik sebagai anak, saudara atau sesama muslim  memohonkan ampun dan berdoa kepada Allah Swt. untuk arwah orang yang sudah meninggal.


Ziarah ke makam orang tua, kakek dan nenek ada budaya menabur bunga sebagai simbol keindahan, dan harum semerbak dengan harapan kubur menjadi raudhah min riyadhil jannah di alam kubur. Budaya tabur bunga yang dilakukan sebagian umat Islam Indonesia sebagai amalan hadis Nabi Muhammad Saw, dimana dalam satu riwayat Nabi melewati kebun kurma. Dalam kebun kurma ada dua makam yang keduanya sedang mendapat siksa kubur.


Nabi meminta kepada sahabat untuk mengambil pelepah kurma basah dan membelahnya menjadi dua lalu Nabi tancapkan pelepah kurma tersebut, sebelah untuk satu makam dan sebelahnya untuk makam lainnya dengan harapan dapat meringankan siksa kubur. Nabi mengajarkan pelepah kurma sebagai syafaat siksa kubur. Sebagian umat Islam Indonesia menancapkan di atas kuburan orang tua, nenek, kakek dan umat Islam dengan irisan daun pandan, bunga melati dan lain sebagainya dengan harapan yang sama apa yang dicontohkan baginda Nabi Muhammad Saw, mengharumkan, memberikan keindahan, menjadi syafaat dan mengurangi siksa kubur.


Budaya tahlil atau kirim doa juga menjadi tradisi ziarah kubur yang dilakukan sebagian besar umat Islam Indonesia pada idul fitri 1 syawal. Budaya ini menjadi ungkapan terimakasih sekaligus mohon ampun kepada Allah Swt untuk orang tua, nenek, kakek dan umat muslim yang telah meninggal. Dulu di kampung tradisi tahlil di makam umum, biasa dilakukan secara berjamaah dan dipimpin oleh seorang kyai kampung. Doa yang dipanjatkan untuk orang tua, nenek, kakek, para ustaz, kyai dan juga untuk umat muslim yang sudah meninggal.


Tradisi tahlil atau berdo’a (tahlilan) di makam yang sudah mentradisi sebagian besar umat Islam ini sejalan dengan sabda Rasulullah Saw., Nabi bersabda ; “Bainama ana jaalisun inda Rasulullah Saw. iz jaahu rajulun min al-anshor faqola; Ya Rasulallah, hal baqiya min birri abawayya syaiun ba’da mautihima abarruhuma bihi? Qaala; na’am hisholun arba’atun ; assholatu alaihima, wal istighfaru lahuma, wainfidzu ahdihima waikromu shadiqihima, wasilaturr rahmi allati laa rahima laka illa min qoblihima fahuwa al-lazi baqiya alaika min birrihima ba’da mautihima”, Saat saya duduk disamping Rasulullah Saw, datang seorang laki dari sahabat Anshor, bertanya kepada Rasululah, Ya Rasulullah, masih adakah sesuatu untuk berbuat baik (al-birru) kepada kedua orang tua setelah keduanya meninggal dunia? Rasulullah menjawab, iya, ada empat macam, yang pertama mendo’akan keduanya, memohon ampunan untuk keduanya, memenuhi janjinya dan memuliakan teman-temanya, menjalin tali silaturrahmi yang telah dijalin sebelumnya dan itu semua merupakan sisa kebaikan (al-birru) berbakti anda dari berbakti kepada kedua orang tua setelah keduanya meninggal. 

Ketiga, Perputaran Ekonomi. Budaya mudik memberikan dampak positif bagi perputaran ekonomi masyarakat kecil. Budaya mudik lebaran menjadi seremonial tahunan umat Islam Indonesia mempunyai makna yang mendalam. Budaya mudik mampu membantu menggeliat kegiatan ekonomi masyarakat kecil dan tidak mampu. Dengan mudik ke kampung halaman akan membawa oleh-oleh dan uang dari kota yang akan di belanjakan di kampung halaman. Mudik mampu menggeser perputaran ekonomi dari kota ke kampung. 

Ekonomi masyarakat kecil sedikit terbantu di saat orang-orang mudik ke kampung. Sepanjang perjalanan mudik ke kampung, kegiatan perdagangan masyarakat kecil bergerak karena para pemudik di saat istirahat ia melakukan transaksi, entah membeli minum atau makanan dan oleh-oleh. Jual beli atau transaksi terjadi antara pemudik dengan pedagang, sehingga pelaku pedagang kecil sedikit terbantu karena adanya konsumsi yang dilakukan para pemudik. Terbukti dengan adanya puasa mudik, perputaran perekonomian Jakarta di era pandemi cukup menggeliat dan membaik (kata Diana Dewi ketua Kadin DKI Jakarta)


Pemerintah lebaran tahun 1442 H sangat keras melarang umat muslim melakukan tradisi mudik lebaran. Tradisi mudik lebaran mempunyai banyak nilai positif yang dapat membangun kualitas beragama dan bermu’amalah pada diri umat muslim, tetapi pandemi Covid-19 menjadi alasan untuk melarang mudik lebaran. Larangan tidak mudik ini untuk mengutamakan kesehatan dan keselamatan bagi orang banyak. Larangan tradisi mudik lebaran oleh pemerintah sejalan dengan kaidah usul fiqih “dar’ul mafasid muqaddamun ala jalbil mashalih” (meninggalkan kemafsadatan harus didahulukan daripada mengambil kemaslahatan).


Puasa artinya menahan diri untuk tidak makan dan minum dimulai dari fajar sampai magrib. Puasa mudik berarti menahan diri untuk tidak pulang kampung, agar penyebaran pandemi covid-19 terputus. Dengan demikian aktifitas kehidupan masyarakat akan kembali normal seperti sebelum pandemi Covid-19. Puasa mudik sebagai ikhtiar hamba dalam memerangi penyebaran pandemi Covid-19 yang sampai hari ini bangsa Indonesia belum mampu memotong 100% tali rantai penyebaran Covid-19. Diharapkan puasa mudik mampu sebagai alternatif cerdas dan obat mujarab preventif penyebaran pandemi Covid-19.


Dengan demikian Islam sangat mendahulukan keselamatan jiwa raga seorang hamba daripada mendahulukan tradisi mudik lebaran sebagai ajaran agama dalam silaturrahmi, ziarah kubur dan melepas kerinduan secara langsung atau tatap muka dengan keluarga, saudara dan teman. Kemajuan teknologi melalui smartphone, android yang ada ditangan kita menjadi media cerdas mudik lebaran cepat dan tepat untuk silaturrahmi, halal bi-halal, ziarah kubur, doa (tahlil) dan temu kangen dapat dilakukan dengan virtual yaitu voicenote, vidio call atau zoom meet. Model daring atau virtual ini tidak mengurangi makna dalam bersilaturrahmi, melepas kangen serta berbagi kerinduan seorang anak kepada orang tua, nenek dan kakek yang masih hidup, dan kirim do’a untuk yang sudah meninggal.


Era digital sekarang juga bisa berbagi baik dalam bentuk materi bisa disampaikan melalui media gosend atau via transfer. Semoga ikhtiar ini menjadi pemangkas jitu dalam memotong pandemi Covid-19 demi keberlangsungan umat manusia dan regenerasi bangsa berjalan sesuai sunatullah, sekaligus tidak mengurangi nilai tali silaturrahmi. Selamat Hari Raya Idul Fitri 1442 H. Taqabbalallahu minna waminkum taqabbal ya karim, minal aidin wal faizin, mohon maaf lahir dan batin. Wallahu a’lam bisshowab.


Penulis adalah Wakil Sekretaris LP Ma’arif PBNU, Sekretaris SAKO Ma’arif NU Pusat, dan Pengawas Madrasah