Opini

Quraish Shihab dan Islam Nusantara

Jumat, 24 Juli 2015 | 07:01 WIB

Oleh Fathurrahman Karyadi
Kita patut bangga memiliki ulama pakar tafsir Al-Qur’an terkemuka alumnus Al-Azhar Mesir. Ia tak lain adalah Prof. Dr. M. Quraish Shihab. Selama bulan Ramadan kemarin, setiap hari menjelang imsak dan berbuka puasa ia tampil di saluran televisi swasta untuk menerangkan isi kandungan Al-Qur’an. Buku biografinya berjudul Cahaya, Cinta dan Canda M Quraish Shihab baru di-launching di Jakarta pada Rabu 8 Juli 2015.  
<>
Selain itu, Pak Quraish juga kerap mengisi ceramah agama di berbagai masjid. Penulis pernah mengikuti ceramahnya beberapa hari yang lalu. Awalnya, penulis mengira bahwa penyusun Tafsir Al-Mishbah itu akan menerangkan tafsir Al-Qur’an sebagaimana di layar kaca, ternyata tidak. Dengan sangat memukau, mantan menteri agama RI itu mengemukakan pandangannya terkait tema yang sedang hit belakangan ini, yaitu “Islam Nusantara”.

Menurut Pak Quraish, istilah “Islam Nusantara” bisa saja diperselisihkan. Terlepas setuju atau tidaknya dengan istilah tersebut, ia lebih terfokus pada substansi. Islam sebagai substansi ajaran. Islam pertama turun di Makkah lalu tersebar ke Madinah dan ke daerah-daerah lain, Negara Yaman, Mesir, Irak, India, Pakistan, Indonesia dan seluruh dunia. Islam yang menyebar itu bertemu dengan budaya setempat. Pada mulanya, Islam di Makkah bertemu dengan budaya Makkah dan sekitarnya. Akulturasi antara budaya dan agama ini—sebagaimana di tempat lain kemudian—oleh Islam dibagi menjadi tiga. 

Pertama, adakalanya Islam menolak budaya setempat. Pak Quraish mencontohkan budaya perkawinan di Makkah. Kala itu ada banyak cara seseorang menikah. Salah satunya, terlebih dahulu perempuan berhubungan seks dengan 10 laki-laki lalu kalau hamil, si perempuan bebas memilih satu dari mereka sebagai suaminya. Ada kalanya juga dengan cara perzinaan yang diterima masyarakat kala itu. Dan, ada lagi pernikahan melalui lamaran, pembayaran mahar, persetujuan dua keluarga. Nah, yang terakhir inilah yang disetujui Islam, sedangkan budaya perkawinan lainnya ditolak. Ini pula yang dipraktikkan Rasulullah SAW ketika menikahi Khadijah RA. 

Kedua, Islam merevisi budaya yang telah ada. Lebih lanjut, Pak Quraish memberi contoh, sejak dahulu sebelum Islam orang Makkah sudah melakukan thawaf (ritual mengelilingi Kakbah). Namun, kaum perempuan ketika thawaf tanpa busana. Alasan mereka karena harus suci, kalau mengenakan pakaian bisa jadi tidak suci, maka mereka menghadap Tuhannya dengan apa adanya alias “telanjang”. Kemudian Islam datang tetap mentradisikan thawaf akan tetapi merevisinya dengan harus berpakaian suci dan bersih, serta ada pakaian ihram bagi yang menjalankan haji dan umrah. 

Ketiga, Islam hadir menyetujui budaya yang telah ada tanpa menolak dan tanpa merevisinya. Seperti budaya pakaian orang-orang Arab, yang lelaki mengenakan jubah dan perempuan berjilbab. Oleh Islam budaya ini diterima. 

Alhasil, kesimpulannya ialah jika ada budaya yang bertentangan dengan Islam maka ditolak atau direvisi, dan jika sejalan maka diterima. Inilah prinsip Islam dalam beradaptasi dengan budaya. “Jadi Islam itu bisa bermacam-macam akibat keragaman budaya setempat. Bahkan adat, kebiasaan dan budaya bisa menjadi salah satu sumber penetapan hukum Islam,” tutur Pak Qurasih.

Melihat pemaparan Pak Quraish ini kita bisa menilai, jika memang ada budaya di bumi Nusantara yang bertentangan dengan Islam maka dengan tegas kita harus menolaknya seperti memuja pohon dan benda keramat, atau meluruskannya seperti tradisi sedekah bumi yang semula bertujuan menyajikan sesajen untuk para danyang diubah menjadi ritual tasyakuran dan sedekah fakir miskin. Dan, jika ada budaya yang sesuai dengan syariat Islam maka kita terima dengan lapang dada, seperti ziarah kubur dalam rangka mendoakan si mayit, meneladaninya serta dzikrul maut (mengingat mati).  Inilah wajah Islam Nusantara.  

Jilbab dan Langgam Jawa

Ada hal yang menarik dalam ceramah Pak Quraish itu. Beberapa jamaah mengkritisi pemikiran Pak Quraish terkait jilbab dan membaca Al-Qur’an dengan langgam Jawa, seperti yang terjadi di Istana Negara tak lama ini. 

Menanggapi hal itu, Pak Quraish balik bertanya, “Anda pernah lihat foto istri Ahmad Dahlan, istri Hasyim Asy’ari, istri Buya Hamka, atau organisasi Aisyiyah? Mereka pakai kebaya dengan baju kurung, tidak memakai kerudung yang menutup semua rambut, atau pakai tapi sebagian. Begitulah istri-istri para kiai besar kita. Apa kira-kira mereka tidak tahu hukumnya wanita berjilbab? Pasti tahu. Tapi mengapa mereka tidak menyuruh istri-istrinya pakai jilbab?”

Kritikan mengenai jilbab bagi ayah Najwa Shihab itu bukan hal yang baru. Pada tahun 2009, dalam sebuah talkshow bertajuk Lebaran bersama Keluarga Shihab di sebuah saluran televisi, Pak Quraish mengemukakan pendapatnya yang dinilai cukup kontroversial. Ia juga menulis buku tentang pendapatnya itu dengan judul Jilbab, Pakaian Wanita Muslimah: Pandangan Ulama Masa Lalu & Cendikiawan Kontemporer.  

Sebagaimana diketahui, soal pakaian wanita muslimah, para ulama berbeda pendapat setidaknya ada tiga pandangan. Pertama, seluruh anggota badan adalah aurat yang mesti ditutupi. Kedua, kecuali wajah dan kedua telapak tangan. Ketiga, cukup dengan pakaian terhormat. Dalam hal ini, Pak Quraish lebih condong pada pendapat yang terakhir. 

Seorang pakar tafsir Al-Qur’an di Jawa Timur, KH A Musta’in Syafi’i pernah menulis artikel menarik tentang hal ini. Ia menuturkan, memang jilbab itu berasal dari budaya, tapi sudah ditetapkan menjadi syari’at. Ia lebih melihat sisi aksiologis, di balik pesan nash yang tidak sekedar bertafsir seputar teks, melainkan memperhatikan pula efek hikmah dan tujuan pensyari’atan jilbab atau tutup aurat itu. “Apakah pendapat Pak Quraish itu jawaban nurani keagamaanya atau sekedar membela diri?” ungkapnya. 

Pak Quraish tak pernah merasa bosan menanggapi pertanyaan seputar jilbab, bahkan sesudah melampaui tiga dekade, ketika ia dicap sebagai cendekiawan yang membolehkan wanita muslimah tak berjilbab. Jika ada waktu luang, ia dengan senang hati memenuhi undangan diskusi atau seminar seputar jilbab. “Dan, pendapat saya seputar itu tak berubah, atau belum berubah,” tegasnya dalam buku Cahaya, Cinta dan Canda M Quraish Shihab (hal.255).

Mengenai membaca Al-Qur’an dengan langgam Jawa, Pak Quraish berpandangan boleh. Menurutnya, membaca Al-Qur’an boleh pakai lagu mana saja asal huruf dan tajwidnya benar.  “Anda boleh pakai langgam Jawa, Sunda, sedangkan saya pakai langgam Bugis misalnya, silakan saja karena itu yang Anda anggap enak dan sedap didengar orang,” paparnya. 

Rahmat Bukan Laknat

Sebagian hasil ceramah Pak Quraish di atas penulis share di media sosial Facebook. Banyak tanggapan pro dan kontra terkait hal itu. Seorang teman yang kini sedang study di Al-Azhar berkomentar, “Quraish Shihab habis dibantai ketika di Mesir. Tak usah dibanggakan, ngatur anak sendiri aja nggak becus. Kecerdasan seseorang diukur bukan dari cara dia lolos dari perdebatan. Dia pandai di depan orang awam belum tentu lolos debat dengan sesama ulama apalagi di depan Allah. Beragamalah yang benar sesuai tuntunan Rosul. Ahmad Dahlan dan Hasyim Asy'ari keduanya bukanlah Rosul”. 

Maka dengan berusaha santun meredam emosi penulis menanggapi; (1) Saya dan kami semua tetap membanggakan Pak Quraish, ahli tafsir negeri ini. Masalah dibantai karena pendapat itu wajar. Ia sudah berijtihad, bukankah orang yang berijtihad kala benar dapat dua pahala dan kala salah dapat satu pahala. Beliau banyak jasanya, bayangkan ayat-ayat Al-Qur’an seluruhnya diterjemah-ditafsiri. Mengapa hanya karena segelintir pendapatnya yang berbeda dengan kita lantas dimusuhi, dibenci? Kalau pun Anda membenci ya bencilah pendapatnya yang itu saja, bukan semua pendapatnya, apalagi orangnya. Tuhan melarang kita saling benci. (2) Nggak becus membina anak? Ingat Pak Quraish manusia biasa. Jangankan dia, anak Nabi Nuh AS saja tidak beriman, itu sederajat nabi. Justru kalau Pak Quraish selalu benar itu tidak wajar, bisa jadi beliau malaikat bukan manusia? intermezoo (3) Kita tidak mungkin bisa kenal Rasul SAW tanpa bantuan ulama-ulama kita. Toh, Nabi bersabda ulama adalah pewarisnya. Contoh mudahnya, kita tidak mungkin bisa berhaji-umrah tanpa bimbingan ketua rombongan, kalau berangkat sendiri bisa-bisa nyasar dan salah ritual. 

Salah seorang famili Pak Quraish, Amna Alatas, menuturkan kepada penulis “Ami (demikian dia menyebut Pak Quraish) memang sepertinya sudah kebal dengan komentar-komentar miring tentang dirinya. Taushiyah Ami bukan untuk semua kalangan, banyak orang yang belum bisa terima karena tidak tahu persis esensinya. Kalau diambil sepotong-potong tanpa penjelasan selanjutnya memang artinya bisa jadi kontroversi”.  

Di negeri kita tampaknya memang sering terjadi perbedaan pendapat dalam keislaman, mulai hal kecil sampai besar, termasuk istilah “Islam Nusantara” yang digaungkan oleh Nahdlatul Ulama dan istilah “Islam Berkemajuan” oleh Muhammadiyah. Belum lagi, ormas-ormas lain di luar keduanya. 

Maka, sebagaimana Pak Quraish, kita sepakat tidak perlu berkutat pada istilah, namun lebih pada substansi. Dengan demikian, umat Islam di negeri ini akan lebih saling menerima, dan menjadikan perbedaan sebagai rahmat bukan laknat. Wallahu A’lam. 
* Editor dan Alumnus Pesantren Tebuireng, Jombang.