Opini

Ramadhan di Tunisia, Menghidupkan Kemanusiaan Kita

Ahad, 10 April 2022 | 18:00 WIB

Ramadhan di Tunisia, Menghidupkan Kemanusiaan Kita

sesungguhnya Ramadan merupakan jembatan emas menuju kebermaknaan hidup. Tidak hanya menahan hawa nafsu, lapar, dan haus saja, tetapi bulan suci Ramadan ini harus menjadi momentum kita dalam meningkatkan ibadah ritual dan kesalehan sosial.

"Ramadan di Tunisia, menghidupkan kemanusiaan kita". Itulah yang dapat saya ungkapkan setelah menjalani dan memasuki tahun ketiga Ramadan di Tunisia. Walaupun tahun ini merupakan Ramadan pertama saya di Tunisia tanpa lockdown, tetapi nilai-nilai dan prinsip kemanusiaan warga Tunisia dalam mengisi bulan Ramadan tak pernah lapuk oleh hujan dan tak lekang oleh panas.


Bagi warga Tunisia, menjalani puasa Ramadan tidak boleh berhenti di titik menahan lapar dan haus saja. Melainkan rasa lapar dan haus yang kita rasakan selama berpuasa harus melahirkan sikap empati, peduli, dan menumbuhkan kepekaan terhadap lingkungan sekitar. Sehingga sikap tersebut dapat menghidupkan hati nurani dan mendorong kita agar dapat berbagi kepada sesama.


Pada Ramadan pertama saya di Tunisia, yang pada saat itu sudah memasuki masa pandemi, membuat pergerakkan manusia di seluruh dunia pun dibatasi. Tak terkecuali dengan saya dan teman-teman pelajar Indonesia di Tunisia.


Kami tidak bisa keluar rumah dengan leluasa, warung-warung dan pasar dibatasi, serta masjid-masjid pun ditutup. Tetapi, walaupun semua orang hampir tidak bisa ke luar rumah, kepedulian dan cahaya kasih sayang warga Tunisia dapat secepat kilat masuk ke dalam rumah kami, para pelajar Indonesia di Tunisia.


Ketika itu, setiap hari saya dapat berbuka puasa dengan makanan yang telah dimasak, dibungkus, dan diantarkan langsung ke rumah oleh dermawan asal Tunisia. Saya tidak mengenal mereka dan mungkin mereka pun tidak mengenal saya. Tetapi, perbedaan negara, suku, maupun ras tidak membatasi warga Tunisia untuk dapat berbuat baik kepada siapapun, khususnya kepada kami, warga Indonesia.


Bagi saya, hal ini merupakan nilai-nilai berharga yang harus senantiasa ditanamkan dalam menjalani kehidupan sebagai makhluk sosial. Yaitu menumbuhkan sikap empati, peduli, dan peka terhadap lingkungan sekitar. Karena sejatinya setiap manusia pasti membutuhkan orang lain untuk bertahan hidup. Oleh karena itu, aktivitas berbagi ini merupakan aktivitas mulia yang wajib dilestarikan demi tercapainya kemaslahatan dan kesejahteraan hidup.


Dalam waktu yang sama, fenomena berbagi ini pun mengingatkan saya kepada Indonesia, Tanah Air tercinta. Karena karakter gotong royong dan berbagi ini merupakan karakter asli orang Indonesia. Begitu terekam jelas dalam ingatan saya ketika orang tua memasak makanan di dapur, lalu tetangga yang mencium harum masakan tersebut harus juga merasakan kelezatan makanannya.


Begitupun sebaliknya, ketika tetangga saya memasak makanan yang harumnya tercium sampai ke luar, sudah otomatis mereka akan datang juga ke rumah saya untuk membagikan makanan yang telah dimasaknya. Sungguh ini merupakan pemandangan indah yang teduh, tenteram, dan harus terus dijaga.


Kembali ke Tunisia. Faktanya, kebaikan dan kepedulian warga Tunisia yang mereka wujudkan dengan berbagi senantiasa dapat saya rasakan. Begitupun pada Ramadan kedua saya dan Ramadan ketiga tahun ini di Tunisia. Kasih sayang mereka terhadap kami para pelajar Indonesia di Tunisia senantiasa mengalir, menemani kemuliaan bulan suci Ramadan yang segala pahala kebaikannya dilipatgandakan.


Ramadan tahun ini memang berbeda dari dua kali Ramadan sebelumnya. Pada bulan Ramadan kali ini saya dapat leluasa pergi ke luar rumah, membeli takjil untuk berbuka, belanja berbagai kebutuhan ke pasar, juga dapat dengan tenang mengikuti sholat tarawih di masjid-masjid.


Tetapi istimewanya, walaupun keadaan dunia berbeda dari tahun sebelumnya, prinsip dan nilai-nilai kebaikan warga Tunisia tidak pernah berubah. Sikap empati dan kepedulian yang mereka wujudkan melalui kesalehan sosialnya dapat saya rasakan di luar rumah, di pasar, maupun di jalanan.


Jangan kaget jika sedang berjalan di tengah pasar, lalu tiba-tiba ada warga Tunisia yang menghampiri dan memberikan buah atau makanan kepada kita dari apa yang telah mereka beli. Karena hal ini yang saya alami dan rasakan pada Ramadan tahun ini.


Inilah hakikat dari karakter seorang Muslim. Bahwasanya sesama umat Muslim itu bagaikan satu tubuh. Jika satu bagian tubuh sakit, maka seluruh tubuh pun akan merasakan sakit. Artinya, ketika ada saudara kita yang merasakan lapar, sudah seharusnya kita berempati dan berbagi kepadanya. Begitupun jika saudara kita senang, maka seyogianya kita merasakan senang. Sehingga karakter inilah yang menjaga persatuan dan persaudaraan antar sesama umat manusia.


Saya pun jadi teringat dengan ucapan Almarhum Gus Dur, ia menyampaikan bahwa, "Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya agamamu". Ungkapan Gus Dur ini menjadi pijakkan bagi kita agar dapat menebar dan menabur kebaikan kepada semua orang, kapan pun dan di mana pun.


Pada akhirnya, kebaikan dan kepedulian kita terhadap orang lain tidak boleh terbatas terbatas oleh ruang dan waktu. Sebagaimana kebaikan dan kepedulian warga Tunisia terhadap kami, warga Indonesia. Rasa cinta yang mereka wujudkan dengan berbagi telah mendarah daging dalam jiwa dan raganya. Kenyataan tersebut menjadi karakter dan budaya warga Tunisia yang senantiasa melekat dan memberi pelajaran bagi saya. Betapa puasa Ramadhan dapat melahirkan kepedulian terhadap sesama dan menghidupkan kemanusiaan kita.


Maka, sesungguhnya Ramadan merupakan jembatan emas menuju kebermaknaan hidup. Tidak hanya menahan hawa nafsu, lapar, dan haus saja, tetapi bulan suci Ramadhan ini harus menjadi momentum kita dalam meningkatkan ibadah ritual dan kesalehan sosial.


Nata Sutisna, Mahasiswa Universitas Az-Zaitunah, Tunisia