Opini

Relasi Perempuan dan Lelaki itu Kemitraan, Bukan Balas-membalas

Ahad, 26 Januari 2020 | 15:30 WIB

Relasi Perempuan dan Lelaki itu Kemitraan, Bukan Balas-membalas

Akibat pengondisian domestikasi, perempuan seringkali mesti memiliki peran ganda. Satu bekerja, satunya “asisten rumah tangga”.

Bukan kutipan Erick S Gray--yang menurut Muhammad Ishom: Erick F. Gray--yang mengagetkan, melainkan tulisan yang ia tulis tempo hari yang lebih mengagetkan. Judul tulisan itu “Balasan Perempuan Lebih Besar dari Apa pun yang Diberikan Laki-Laki” dimuat di NU Online pada 22 Januari 2020.

 

Dalam esai listicle itu, Ishom memuat tafsir subjektifnya terhadap perkataan Erick S Gray, seorang novelis kulit hitam asal Amerika, tentang daya besar yang dimiliki perempuan. Saya kutip utuh perkataan sang novelis:

 

Whatever you give a woman, she will make greater. If you give her sperm, she’ll give you a baby. If you give her a house, she’ll give you a home. If you give her groceries, she’ll give you a meal. If you give her a smile, she’ll give you her heart. She multiplies and enlarges what is given to her. So, if you give her crap, be ready to receive a ton of sh*t!

 

Jika kita perhatikan betul, kutipan di atas memiliki maksud untuk memperlihatkan hubungan kemitraan antara laki-laki dengan perempuan.

 

Sebagaimana kita ketahui, budaya patriarki selama ini membuat perempuan berada pada kursi nomor dua setelah laki-laki. Seakan tanpa lelaki, perempuan tak bisa menentukan jalan hidupnya sendiri.

 

Lalu, Erick S Gray muncul dengan kutipan itu. Ia memperlihatkan bahwa perempuan juga punya daya tawar yang tidak main-main yang itu muncul dari dalam diri keperempuanannya sendiri. Bahwa bukan hanya perempuan yang tak bisa hidup tanpa lelaki, tetapi lelaki juga tak bisa hidup tanpa perempuan. Jelas betul kutipan Gray begitu kental dengan kampanye kesetaraan, kemitraan.

 

Hingga semua itu rusak dan luluh lantak seketika saat tulisan Ishom muncul pada Rabu lalu. Kampanye kemitraan Erick S Gray ia tafsirkan sedemikian rupa sehingga bukannya mengafirmasi kampanye kesetaraan, malah membudidayakan domestikasi perempuan.

 

Peran Ganda dan Domestikasi

Peran ganda perempuan adalah suatu situasi di mana perempuan dikondisikan untuk melakukan peran domestik sekaligus peran publik secara bersamaan. Wahbah Zuhaili menyentil fenomena ini dengan kalimat: “Selain ia harus menggoncang ayunan dengan tangan kanannya, ia juga harus mengais nafkah dengan tangan kirinya di luar rumah,” (Al-Qur'an al Karim: Bunyatuhu at-Tasyri'iyyah wa Khashaishuhu al-Hadlariyyah, 1993: hlm. 140).

 

Pada era Orde Baru, peran domestikasi perempuan disempurnakan dengan lahirnya Panca Dharma Wanita. Isinya apalagi selain tuntutan peran perempuan yang harus memprioritaskan urusan dapur, sumur, kasur belaka. Bahwa perempuan yang taat suami adalah perempuan yang beradab.

 

Perempuan, sebagaimana manusia pada umumnya, juga membutuhkan ruang publik sebagai penunjang eksistensinya. Namun, akibat pengondisian domestikasi perempuan, mereka mesti memiliki peran ganda. Satu bekerja, satunya “asisten rumah tangga”.

 

Ishom, dalam tulisannya, berkali-kali menafsirkan kutipan Erick S Gray dengan konfirmasi peran ganda dan domestikasi perempuan itu. Tiap paragrafnya begitu kental menginginkan perempuan tunduk di bawah lutut lelaki dan hanya tinggal di rumah. Terkhusus soal domestikasi, saya mencatat ada empat poin yang dikampanyekan Ishom.

 

Pertama, pada paragraf keenam, Ishom mengatakan bahwa tugas perawatan bayi hingga dewasa adalah tugas utama perempuan. Argumen ini adalah tafsir subjektifnya terhadap kutipan Erick S Gray diktum pertama berbunyi: If you give her sperm, she'll give you a baby.

 

Dengan jelas kita dapat mengerti bahwa maksud dari she’ll give you a baby hanyalah ungkapan dari sebuah realitas keperempuanan, yakni fakta biologis bahwa bayi lahir dari rahim perempuan. Sudah, cukup sampai di situ. Ishom malah mendistorsinya dengan tambahan “kewajiban memelihara bayi hingga dewasa”. Padahal, kerja sama yang egaliter antara suami dan istri merupakan bentuk harmonisnya suatu keluarga. Dalam hal ini, bukan hanya perempuan yang punya kewajiban merawat bayinya, melainkan bersama-sama dengan suami.

 

Kedua, pada paragraf kedelapan, Ishom mengatakan bahwa perempuan mencurahkan seluruh tenaga, pikiran, dan waktunya untuk memberikan layanan bagi seluruh anggota keluarga. Hal ini didasarkan pada diktum: If you give her a house, she’ll give you a home.

 

Kata home dalam tafsir Ishom adalah pelayanan penuh sang istri. Padahal, home yang diberikan istri merupakan sebuah simbol bahwa kenyamanan rumah tangga dapat diraih dari kerja sama suami-istri yang seia-sekata. Kenyamanan itu bukan hanya diberikan oleh suami, melainkan tumbuh dari campur tangan sang istri. Ini kemitraan, bukan perbudakan.

 

Ketiga, pada paragraf sembilan, Ishom menciptakan kembali sebuah stigma klise yang mengatakan bahwa tanpa sentuhan sang istri, rumah akan cenderung kotor, semrawut, dan bahkan berbau.

 

Dengan lantangnya ia mengatakan kalau tanpa istri, rumah menjadi semrawut dan berbau. Apakah suami mesti sedemikian malasnya?

 

Argumen konyol ini juga secara tak langsung menekan perempuan untuk dapat merawat rumah. Padahal, tak semua perempuan dapat melakukannya. Hal ini malah akan merawat stigma buruk terhadap perempuan yang kebetulan saja tak pandai menyapu, misalnya.

 

Keempat, pada paragraf ke-11, Ishom mengatakan kalau tugas perempuan adalah memasak. Saya tak mau bertele-tele soal ini. Saya yakin, Ishom lupa kalau koki-koki dan chef ternama dunia kebanyakan laki-laki. Artinya, laki-laki juga tak menutup kemungkinan untuk memasak.

 

Pada paragraf ini Ishom juga memuat ajaran toxic masculinity. Katanya, lelakilah yang memberikan uang belanja, sedangkan perempuan yang memasaknya. Ajaran ini tak memiliki daya guna sama sekali selain hanya akan membuat lelaki yang kebetulan berpenghasilan rendah, bahkan tak punya penghasilan, berada dalam tekanan ekspektasi gender yang bisa saja membuat mereka stres dan kehilangan kepercayaan diri.

 

Seluruh argumen kurang pergaulan itu kemudian ditambahi dengan argumen yang tak kalah mengerikannya. Dalam tulisannya itu, Ishom mengatakan bahwa mahar yang diberikan lelaki, akan dibalas dengan penyerahan seluruh tubuh perempuan beserta seluruh jiwa yang menyertainya.

 

Demikianlah Ishom. Ia telah turut campur urusan ketuhanan terkait kepemilikan makhluk. Barangkali ia lupa kalau seluruh manusia, termasuk perempuan, hanyalah milik Allah semata. Perempuan bukan milik lelaki, begitu pula lelaki bukan milik perempuan. Saya kira, lebih bijak jika perempuan menyerahkan seluruh tubuh beserta jiwanya hanya semata-mata kepada Allah, alih-alih kepada lelaki.

 

Lebih ekstrem lagi, ada satu paragraf yang mengatakan kalau kebaikan perempuan sangat tergantung kepada baik-buruknya lelaki. Apakah memang perempuan benar-benar sekunder terhadap lelaki sampai-sampai kebaikannya pun ditentukan oleh lelaki?

 

 

Salah Paham Ayat Penciptaan

Terkait posisi sekunder perempuan ini, Ishom memuat hadits Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa salam berbunyi:

 

وَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا، فَإِنَّهُنَّ خُلِقْنَ مِنْ ضِلَعٍ، وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْئٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلاَهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهُ كَسَرْتَهُ، وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ، فَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا..

 

Artinya: “Dan berlakulah yang baik kepada wanita sebab mereka diciptakan dari tulang rusuk, dan tulang rusuk yang paling bengkok adalah bagian atasnya. Jika engkau meluruskannya, maka engkau mematahkannya dan jika engkau biarkan, maka akan tetap bengkok. Oleh karena itu, berlakulah yang baik kepada wanita” (HR al-Bukhari).

 

Jika ditanya apakah hadits di atas shahih? Ya, shahih. Namun, cara Ishom dalam memaknai hadits inilah yang tak shahih. Katanya, karena terbuat dari rusuk lelaki, kebaikan perempuan sangat bergantung pada sikap lelaki.

 

Kiai Faqih Abdul Kodir dalam esainya “Perempuan dan Tulang Rusuk dalam Perspektif Mubadalah untuk Kebahagiaan Pasutri” mengatakan bahwa tak ada satupun ayat dalam Al-Qur'an yang menyatakan kalau perempuan atau Siti Hawa 'alaihassalam diciptakan dari tulang rusuk laki-laki.

 

Kiai Faqih mengatakan bahwa dalam Al-Qur’an, manusia itu diciptakan dari unsur air (QS. 25: 54) dan tanah yang kemudian menyatu dalam sperma dan indung telur (QS. 23: 12-14). Pada intinya, sistem penciptaan manusia, baik laki-laki maupun perempuan, adalah sama (QS. 4: 1).

 

Terkait hadits di atas, Kiai Faqih mengatakan bahwa makna literal “diciptakan dari tulang rusuk” dalam hadits tersebut adalah bermakna “seperti tulang rusuk”. Artinya, hadits itu bukan berbicara mengenai penciptaan manusia, melainkan sifat-sifat manusia.

 

Jika menggunakan perspektif mubadalah, maka kita akan mencapai pengertian bahwa hadits itu juga dapat bermakna “lelaki itu seperti tulang rusuk yang paling bengkok”.

 

Apabila menggunakan makna ini, maka kita akan memahami bahwa hadits ini memuat nasihat Rasulullah akan sikap saling mengerti satu sama lain.

 

Dalam suatu rumah tangga, baik suami atau istri, bisa saja rapuh dan mudah patah layaknya tulang rusuk yang bengkok. Untuk itu, agar terjadi keharmonisan keluarga, maka dikatakanlah “berlakulah yang baik kepada wanita (maupun lelaki)”.

 

Kemudian, apakah dengan pemaknaan di atas berarti kita telah menyalahi hadits Nabi? Tentunya tidak. Kiai Faqih menawarkan hadits lainnya yang memiliki substansi yang kurang lebih sama dan sama-sama shahih:


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: المَرْأَةُ كَالضِّلَعِ، إِنْ أَقَمْتَهَا كَسَرْتَهَا، وَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا اسْتَمْتَعْتَ بِهَا وَفِيهَا عِوَجٌ

 

Artinya: Dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Istri itu (terkadang) seperti tulang rusuk (yang bengkok dan keras). Jika kamu luruskan, kamu bisa mematahkannya. Jika kamu (biarkan, dan tetap) menikmatinya, maka kamu menikmati seseorang yang ada kebengkokan (kekurangan) dalam dirinya” (HR al-Bukhari).

 

Dalam dua hadits di atas, terdapat dua teks yang berbeda. Hadits pertama mengatakan “diciptakan dari”, sedangkan hadits kedua mengatakan “seperti”. Lalu mana yang patutnya kita ikuti? Mudah saja. Dalam metodologi tafsir, suatu makna yang berlawanan dengan teks sumber harus ditarik menjadi makna kiasan. Artinya, hadits yang memuat makna literal “diciptakan dari” dapat kita mafhum sebagai sebuah majaz yang maksudnya bermakna “seperti”.

 

Dengan demikian, dengan berat hati saya mesti katakan bahwa penggunaan dalil yang dilakukan oleh Ishom adalah tidak tepat sama sekali. Hadits yang ia muat tidak dapat dijadikan dasar untuk mendomestikasi perempuan dan mengatakan bahwa perempuan itu sekunder terhadap lelaki. Sama sekali tak bisa.

 

Me-liyan-kan manusia

Apa yang dituliskan oleh Ishom merupakan sebuah fenomena yang pernah dikatakan oleh Simone de Beauvoir, bahwa identitas perempuan tidak lahir dari perempuan itu sendiri, melainkan ditanamkan secara paksa oleh patriarki. Maka itu, bukan suatu kebetulan kalau identitas perempuan selalu didasarkan pada identitas laki-laki.

 

Hal ini yang disebut de Beauvoir sebagai liyan (the other). Perempuanlah yang menjadi liyan itu. Ia tak dapat menjadi dirinya sendiri dan selalu dianggap makhluk “yang lain”, asing. Laki-laki menjadi ukuran standar untuk mendefinisikan kodrat perempuan. Dengan begitu, perempuan tidak diukur dari kualitas yang dimilikinya sendiri, melainian dari otak lelaki.

 

Pemikiran dikotomis macam ini oleh Gatens disebut dengan prinsip phallusentrisme, di mana kebenaran suatu konsep didasarkan pada kebenaran konsep lainnya dengan acuan relatif akan kebenaran dirinya sendiri.

 

Pemikiran phallusentris ini juga dianut oleh para filsuf misoginis macam Aristoteles, Kant, Francis Bacon, atau St. Thomas. Aristoteles pernah mengatakan bahwa sifat perempuan adalah suatu ketidaksempurnaan alam, sedangkan Kant bilang bahwa perempuan tidak mampu menggunakan aspek kognitifnya.

 

Bacon tak kalah negatif. Katanya, perempuan adalah penjara bagi kaum lelaki, ia membawa pengaruh buruk kepada para laki-laki. Kalau St. Thomas kutipan misoginisnya cukup kita kenal. Katanya, perempuan adalah “laki-laki yang tak sempurna”. Perempuan adalah “makhluk yang tercipta secara tak sengaja”.

 

Entah mengapa para tokoh itu begitu sentimentil terhadap perempuan. Padahal, mereka tidak lahir dari lubang manapun selain rahim ibunya.

 

Sekarang, para pemikir misoginis itu melanjutkan tradisinya melalui tangan Ishom. Betapa menakutkannya.

 

Terakhir, untuk Ishom. Nama sang novelis yang benar itu Erick S Gray, bukan Erick F. Gray.

 

Salam damai.

 

Penulis adalah admin @pikiranlelaki_ dan dapat ditemui di @fahrihill.