Opini

Sains dalam Islam, Antara Logis dan Rasional

Rab, 3 Agustus 2016 | 06:00 WIB

Oleh Ananta Damarjati

Istilah logis dan rasional sangat tidak asing. Dua kata tersebut setidaknya dalam satu hari punya porsi sendiri untuk masuk ke telinga atau mata baca kita. Terkesan memang tidak ada perbedaan, sama persis barangkali. Versi kamusnya, kalau kita mencari kata logis; benar menurut penalaran, sedangkan rasional; cocok dengan akal. Tipis sekali.

Namun saya rasa penting untuk membuat kapling tersendiri dalam membahas perbedaan kata ini. Paling tidak kita dapat mengetahui posisi sains menurut sudut pandang Islam serta keseimbangan porsinya dalam hidup di dunia. Penjelasan tentang perbedaan kata ini dapat kita temukan secara lebih rinci dalam buku Prof. Dr. Ahmad Tafsir (Filsafat ilmu; 2004).

Kurang lebihnya pembedaan tersebut diawali dengan teori Kant, yang menyatakan bahwa rasional itu adalah kebenaran akal yang diukur dengan hukum alam. Atau dengan kata lain, rasional adalah pemikiran yang baru disebut masuk akal, jika tolak ukurnya hukum alam.

Salah satu penjelasannya akan kita dapati dari cerita Nabi Ibrahim yang tidak hangus dibakar api. Menurut hukum alam hal tersebut tidak rasional karena Nabi Ibrahim termasuk materi yang hangus jika dibakar. Di lain sisi, kita dapati fakta tentang pesawat terbang yang tetap bisa menjulang tinggi ke langit walaupun beratnya ratusan ton. Ya, karena telah dirancang sesuai dengan hukum alam, dan itu rasional.

Dapat ditegaskan lagi, bahwa akal pastinya diukur dengan hukum alam, dan kebenaran rasional tersebut sangat terikat dengan hukum alam.

Sementara itu tentang logis, kebenarannya dibagi menjadi dua. Yang pertama logis-rasional seperti telah diuraikan tadi, yang kedua logis-supra-rasional. Untuk yang kedua ini titik tolaknya bukan pada hukum alam, tetapj pada argumen. Bila argumennya masuk akal, maka dapat diterima. Dengan kata lain, ukuran kebenaran logis-supra-rasional adalah logika dalam susunan argumen yang bersifat abstrak, meskipun melawan hukum alam, yang karena logis tetap sah dan autentik untuk diterima.

Kasus Nabi Ibrahim jelas tidak rasional. Tetapi apakah otomatis bakar-bakaran itu juga termasuk tidak logis, dalam arti supra-rasional?Sedikit mengurai mata rantai objeknya dalam kejadian ini. Sebagaimana kita tahu, api terdiri dari dua substansi, yaitu wujud apinya dan sifat panasnya. Api tersebut dibuat Tuhan, Allah SWT.Sifat panasnya juga dibuat oleh Tuhan. Jikalau bukan Tuhan, harus ada uraian yang sangat kuat untuk menjelaskannya.

Dengan argumen tersebut, maka sah saja bagi Tuhanmengubah sifat api dari panas menjadi dingin, untuk menyelamatkan utusan-Nya. Dalam hal ini, berlaku kebenaran logis-supra-rasional, karena logika untuk menyusun argumennya sangat jelas, bahkan mungkin tidak bisa dibantah.

Jadi, sejauh ini kita dapati bahwa (1) Yang logis adalah masuk akal, (2) Yang logis itu mencakup rasional dan supra-rasional, (3) Yang rasional adalah masuk akal sesuai dengan hukum alam, (4) Yang supra-rasional adalah masuk akal, sekalipun tidak sesuai dengan hukum alam.

Dari gambar besar ini kiranya kita dapat menyimpulkan, bahwa sains dan objek penelitiannya sangat terbatas pada rasionalitas dan hukum alam. Dan di luar itu bukanlah menjadi wilayah sains. Maka harus digarisbawahi, kurang tepat jika disebut sains itu logis, karena hal logis sendiri memiliki cakupan lebih lebar.

Atau jika ditarik akumulasi titik tengahnya, sains tidak dapat menangkap kebenaran logis di luar penggunaan pancaindera.Bagi sebagian, pernyataan ini ditepis oleh mereka yang menganggap akal dan metodologi mencari kebenaran dalam sains adalah segalanya.Yang paling ekstrim, mereka tidak percaya dengan ide-ide penciptaan, agama dan Tuhan.

Bagi mereka, itu pilihan paling tepat, objektif dan faktual. Tapi bagi keseimbangan logika serta bleberannya, jelas tidak sehat. Karena kalau kita berpretensi lebih terhadap asumsi-asumsi sains, maka kita harus pula selalu mempertanyakan siapa pencipta sesuatu yang lain itu secara terus-menerus (adinfinitum), dan menurut logika, ini tidak dimungkinkan.

Maka dari itu penting mengimbangi rasionalitas-empiris dengan logikasupra-rasional. Tujuannyauntuk mengetahui hasil yang prosesnya tidak dipahami oleh sains, penyebab yang paling asal, Yang Maha Esa. Hal tersebut dapat dipahami dengan rasa, Kant menyebutnya akal praktis. Sedang Ibn Sina menyebutnya qalb, dzawq, kadang-kadang sirr, dengan metode riyadlah.

Bukan berarti mendiskreditkan posisi sains, dan menjadikannya pilihan nomor sekian, dalam memutuskan sesuatu misalnya. Harus ada keseimbangan antara wahyu dengan sains, rasional dengan supra-rasional, akal dengan hati.Dalam arti lain, posisi sains harus proporsional dipahami bahkan dalam kegiatan paling subtil sekalipun.

Dalam Al-Quran jelas bahwa biologi, kimia, fisika, dengan matematika sebagai ilmu alatnya adalah kunci penting mempelajari ayat-ayat kauniyah, nonliterer. Bersamaan dengan ituharus juga disertakan pemahaman terhadap ayat-ayat qauliyah, karena tidak semua hal dapat dijelaskan dengan sains.

Penulis adalah alumni Pondok Pesantren Kedunglo, Kediri; anggota aktif Lingkar Studi “Matakuhati” Semarang