Opini ISLAM NUSANTARA DI EROPA (4)

Sistem Islami di Negara Sekuler

NU Online  ·  Senin, 2 April 2018 | 23:00 WIB

Sistem Islami di Negara Sekuler

Sudut Kota Amsterdam. (Foto: pixabay.com)

Oleh Al-Zastrouw Ngatawi

Kami memiliki waktu luang setelah mengunjungi jamaah yang ada di Amsterdam, Belanda pada Kamis (29/3/2018). Kru kami menggunakan waktu luang ini untuk kordinasi teknis dengan teman-teman PCINU Belgia karena hari ini kami berangkat ke sana untuk pentas seni dan budaya.

Sebagian lagi mencari peralatan yang tidak disediakan oleh panitia. Alhamdulillah berkat kegigihan Mbak Sarah sebagai show manager dan kesabaran Mas Kiai Fikri dalam mengusahakan semua kebutuhan, akhirnya semua persoalan dapat teratasi.

Setelah mempersiapkan peralatan dan kordinasi, para anggota rombongan memiliki waktu untuk jalan-jalan di Kota Den Haag. Mereka bebas menentukan agenda sendiri. Ada yang dijemput teman dan saudara yang tinggal di Belanda kemudian diajak jalan-jalan dan mampir ke rumah mereka. Ada yang bareng-bareng mengunjungi mall dan tempat monumental sambil melihat suasana Kota Den Haag yang tenang dan tenteram.

Suasana Kota Den Haag memang berbeda sama sekali dengan Amasterdam dan Rotterdam yang menjadi kota bisnis dan industri. Sebagai ibu kota negara, suasana kota Den Haag lebih tenang, tidak banyak orang lalu lalang dan berkerumun seperti di Amsterdam maupun Rotterdam. Para pekerja lebih didominasi oleh para pejabat negara, pegawai kantor dan staf pemerintahan maupun lembaga internsional yang ada di Den Haag. Selebihnya para karyawan semisal penjaga toko, guru, dan sejenisnya.

Sebagai pusat parlemen kerajaan di Den Haag terdapat kantor pusat pemerintahan, gedung parlemen, serta pengadilan tinggi (supreme court). Di sini juga ada pusat Badan Peradilan PBB (International Court of Justice) berada di Vredespaleus, sebuah bangunan gedung administrasi hukum internasional yang terletak di Carnegieplein.

Selain menjadi kantor pusat peradilan PBB dan arbritase internasional di gedung ini juga terdapat kampus Hague Academy of International Law dan perpustakaan Peace Palace Library. Gedung yang dibangun tahun 1913 dengan arsitektur neo-renaissance ini sangat artistik dan unik. Pada tahun 2014 gedung ini mendapat penghargaan European Heritage Label. Gedung ini terbuka untuk umum sehingga layak dikunjungi sebagai obyek wisata.

Seperti halnya di Amsterdam dan kota-kota lain di Belanda, di Den Haag juga banyak museum yang jadi obyek wisata, misalnya Mauritshuis (Maurice House), Museum Panorama Mesdaq yang mengkoleksi lukisan panorama Hendrik William Mesdaq dan Gemeente Museum. Semua museum ini mengkoleksi seni lukis para pelukis Belanda.

Yang hobi mobil bisa mengunjungi museum mobil Louwman. Di museum ini menyimpan koleksi berbagai mobil antik. Selain museum beberapa anggota Ganjur juga mengunjungi Madurodam, taman miniatur Belanda, sejenis Taman Mini Indonesia Indah. Taman ini terletak di distrik Scheveningen, Den Haag.

Semua obyek wisata ini tertata dan terpelihara dengan baik. Suasana nyaman dan asri, tak ada sampah berserakan. Saya berpikir inilah penerapan syariat Islam yang nyata dalam menjaga lingkungan. Di sini tak ada tulisan annadhafatu minal iman tapi suasana lingkungan benar-benar bisa bersih dan rapi. Di sini juga tak ada kutipan ayat wal tandhur nafsun ma qaddamat lighad (perhatikan masa depanmu untuk hari esokmu (QS. Al-Hasyr: 18), tetapi kesadaran menjaga sejarah sangat tinggi.

Malam hari selepas jalan-jalan kami bertemu dengan beberapa orang Indonesia yang berprofesi sebagai pekerja kasar; kuli bangunan, tukang bersih-bersih rumah, pelayan restoran dan sejenisnya. Mereka menyatakan bahwa bekerja di sini sangat dijaga dan dilindungi.

Upah mereka diberikan sesuai perjanjian. Hampir tak ada masalah dengan gaji maupun keselamatan kerja. Di sini juga hampir tak pernah ada razia yang menguber para pekerja. Hak-hak kemanusiaan sangat diharagai dan dilindungi oleh negara, sekalipun pada pekerja kasar.

Saya terheran mendengar cerita mereka. Bagaimana mungkin negara kapitalis yang katanya sangat eksploitatif, materialis dan individualis justru bisa membuat nyaman para pekerja kasar. Bagaimana mungkin negara yang tidak mengenal hadits "bayarkan upah buruh sebelum kering keringatnya" justru bisa membayarkan gaji yang tepat waktu dan manusiawi?

Sementara di negara lain yang bertebaran ayat mengenai keadilan sosial, penegakan kemanusiaan dan sering mengutip ayat Tuhan saya justru sering mendengar kabar tentang pekerja yang dieksploitasi, diperkosa, dilecehkan, dan penuh luka akibat tindak kekerasan sang majikan.

Melihat semua ini saya jadi teringat pernyataan Muhammad Abduh tokoh Pembaharu Islam asal Mesir raitu Islam fil maghrib walakinna ma raitu muslim fil maghrib, wa raitu muslim fil masyriq walakinna ma raitu Islam fil masyriq (saya melihat Islam di Barat tapi saya tidak melihat orang Islam di sana. Sebaliknya, saya melihat orang Islam di Timur tapi tidak melihat Islam di sana).

Hari ini di Belanda, di negeri Barat, saya melihat dan merasakan apa yang diucapkan Abduh. Di sini, di negeri yang sekuler ini, nilai-nilai dan ajaran Islam tentang keadilan, kemanusiaan dan lingkungan justru bisa diterapkan secara nyata. Saya belajar dari kenyataan di sini, saat ini. God Zegene...!!!

Penulis adalah pegiat budaya, Dosen Sekolah Pascasarjana UNUSIA Jakarta. Tulisan ini merupakan catatan perjalanan Islam Nusantara Roadshow to Europe bersama Ki Ageng Ganjur.