Nasional

Soal Tambang Nikel di Raja Ampat, Ketua PBNU: Eksploitasi SDA Hanya Memperkaya Segelintir Orang

NU Online  ·  Selasa, 10 Juni 2025 | 10:30 WIB

Soal Tambang Nikel di Raja Ampat, Ketua PBNU: Eksploitasi SDA Hanya Memperkaya Segelintir Orang

Ketua PBNU H Syafi Alielha. (Foto: dok. NU Online)

Jakarta, NU Online

Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Mohamad Syafi' Alielha (Savic Ali) menyoroti praktik eksploitasi sumber daya alam (SDA) yang selama ini hanya memperkaya segelintir orang.


Menurutnya, pemerintah harus berpikir mengurangi ketergantungan pada eksploitasi SDA karena dampaknya merusak lingkungan tanpa membawa kesejahteraan nyata bagi rakyat.


"Sudah puluhan tahun kita mengeksploitasi sumber daya alam, lingkungan, hutan dan bumi tapi Indonesia enggak juga menjadi negara kaya. Kita mestinya menaruh energi lebih besar untuk meningkatkan sumber daya manusia (SDM) kita," kata Savic kepada NU Online Selasa (10/6/2025).


Pernyataan ini disampaikan menyusul temuan aktivitas tambang nikel dan hilirisasi di Pulau Gag, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya yang diungkap Greenpeace beberapa waktu lalu. Temuan itu dinilai mengancam ekosistem di kawasan yang dijuluki Surga Terakhir dari Timur.


Savic menyebut, praktik eksploitasi SDA bukan lagi arah yang relevan dengan perkembangan dunia saat ini. Menurutnya, negara harus mengarah pada pengembangan teknologi hasil kreativitas manusia. Ia menegaskan bahwa eksploitasi SDA hanya akan menguntungkan atau memperkaya segelintir orang.


"Indonesia mesti berjalan ke arah sana, bukan terus menggantungkan pada eksploitasi SDA yang sepertinya hanya memperkaya tidak lebih dari satu persen penduduk Indonesia," tegas Savic.


Ia menekankan bahwa Raja Ampat merupakan salah satu aset penting Indonesia yang tak tergantikan. Segala bentuk aktivitas yang berpotensi merusak kawasan tersebut, termasuk pertambangan, semestinya tidak diberi izin.


Reaksi publik terhadap kasus ini, menurut Savic, menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat terhadap dampak buruk pertambangan semakin meningkat.


"Di sini, pemerintah mesti memoratoriumnya. Tidak ada wilayah di Indonesia yang seperti Raja Ampat Papua. Kalau ekosistem di sana rusak, tak ada yang bisa menggantikannya," ujarnya.


Savic mengatakan skala kerusakan yang ditimbulkan oleh bisnis pertambangan serta penolakan publik atas praktik-praktik bisnis yang merusak lingkungan menjadi dasar kuat pemerintah perlu melakukan langkah moratorium di sejumlah wilayah.


"Sejumlah kawasan mesti di-review ulang, melibatkan para ahli dan masyarakat terkait dampak di masa yang akan datang," kata Savic.


Savic menyebut pertambangan memang sudah menjadi salah satu penggerak mesin industri modern tetapi juga harus mempertimbangkan resiko bagi generasi mendatang.


"Kita juga harus waspada dengan kerugian dan konsekuensi yang ditanggung oleh generasi Indonesia berikutnya," tegasnya.


Raja Ampat tercatat lautannya merupakan pusat dari segitiga karang dunia dengan lebih dari 553 spesies karang (75 persen dari seluruh spesies dunia), 1.070 spesies ikan karang, dan 699 jenis moluska. Di darat, terdapat 874 spesies tumbuhan (9 endemik), 114 spesies herpetofauna (5 endemik), 47 spesies mamalia (1 endemik), dan 274 spesies burung (6 endemik). Potensi wisata alamnya telah menjadi tujuan wisata kelas dunia.


Sebelumnya, Greenpeace melaporkan bahwa aktivitas tambang nikel di Pulau Gag, Kawe, dan Manuran telah membabat lebih dari 500 hektare hutan, memicu sedimentasi yang mengancam ekosistem terumbu karang dan kehidupan bawah laut. Dalam video yang dirilis, tampak pembukaan lahan besar-besaran yang diduga sebagai lokasi tambang aktif. Pulau lain yang ikut terancam ialah Batang Pele dan Manyaifun.


Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Papua juga menyebut bahwa tiga dari empat Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel di wilayah Papua berada di pulau-pulau kecil kaya keanekaragaman hayati di kawasan Raja Ampat, yakni Pulau Gag, Kawe, dan Manuran.


Aktivitas ini dinilai melanggar Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 juncto UU Nomor 1 Tahun 2014 pasal 35 huruf k, yang tegas melarang pertambangan di pulau kecil apabila merusak lingkungan atau merugikan masyarakat secara ekologis, sosial, maupun budaya.


Pulau Kawe yang hanya seluas kurang dari 50 km² diperkirakan bisa hilang dalam waktu 15 tahun jika eksploitasi nikel terus dilakukan. Sementara di Pulau Gag, dampak lingkungan mulai terasa: air laut tercemar, ikan-ikan menghilang, dan warga takut berenang karena risiko penyakit kulit.


"Selain kerusakan dasar laut, pada saat angin kencang dari selatan mulai bulan Juni hingga September, debu material nikel beterbangan ke arah permukiman penduduk. Hujan debu menyebabkan warga dengan mudah terserang batuk,” tulis Walhi dalam keterangan resminya.


Tagar #SaveRajaAmpat pun mencuat di media sosial sebagai bentuk penolakan terhadap aktivitas tambang. Pemerintah akhirnya menghentikan sementara operasi tambang sambil menunggu hasil verifikasi lapangan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).


Langkah pemerintah

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menemukan sejumlah pelanggaran aturan lingkungan oleh beberapa perusahaan tambang, di antaranya PT Gag Nikel, PT Kawei Sejahtera Mining, PT Anugerah Surya Pratama, dan PT Mulia Raymond Perkasa.


"Penambangan di pulau kecil bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014. Jika ditemukan pelanggaran, kami akan ambil langkah hukum,” kata Menteri LH Hanif Faisol Nurofiq dilansir laman KLHK.


KLHK menyatakan tidak akan ragu mencabut izin lingkungan jika perusahaan terbukti merusak ekosistem.


"Penambangan di pulau kecil merupakan bentuk pengingkaran terhadap prinsip keadilan antar generasi,” tambah Hanif.


Sekretaris Kabinet (Seskab) RI Teddy Indra Wijaya memastikan bahwa pemerintah bergerak cepat menindaklanjuti persoalan tambang nikel di wilayah Raja Ampat, Papua Barat Daya.


"Sudah langsung ditindaklanjuti. Pak Menteri ESDM dan Pak Menteri Lingkungan Hidup sudah mengambil langkah yang diperlukan untuk saat ini," kata Teddy dilansir Antara.


Ia juga menambahkan bahwa koordinasi lintas kementerian dilakukan secara cepat dan intensif begitu informasi terkait persoalan tersebut diterima.


“Tadi langsung kita hubungi dan saling berkoordinasi. Segera kita selesaikan," katanya.


Sementara itu, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia telah menghentikan sementara aktivitas tambang nikel PT Gag Nikel di Raja Ampat menyusul penolakan dari aktivis lingkungan dan masyarakat sipil karena dinilai mengancam ekosistem.


"Untuk sementara kegiatan produksinya disetop dulu, sampai menunggu hasil peninjauan verifikasi dari tim saya,” kata Bahlil dalam konferensi pers di Kantor Kementerian ESDM.